sehari jelang Lebaran....
Bapak adalah mahluk yang paling sibuk di dunia. Pagi-pagi buta ia sudah ke pasar untuk membeli daun kelapa yang akan digunakan untuk membungkus lapa-lapa, makanan khas Lebaran di kampung. Setelah itu, bapak mengajakku ke Pasar Wameo beli ayam. Susah pilih ayam karena rata-rata mahal dan banyak pembeli. Bapak memilih ayam jantan yang besar, kemudian kubawa pulang.
Tiba di rumah, ayam itu tidak langsung diikat di kandang. Aku bawa ayam itu untuk diadu dengan ayam-ayam lainnya. Teman-teman lainnya juga membawa ayamnya keliling. Kami saling adu ayam, sampai-sampai ayamku luka-luka. Saat dibawa pulang ke rumah, bapak marah-marah. Luka ayam itu dilumuri dengan minyak gosok, lalu dimasukkan dalam kandang.
Seharian bapak sibuk memotong-motong daging sapi yang dibeli dari La Ode Banya, yang sudah lama menggeluti bisnis daging sapi. Sampai-sampai, kami menjuluki anak-anaknya dengan panggilan “sapi”. Bapak memotong daging dengan cara menjepit pisau dengan ibu jari. Mata pisau diarahkan ke atas, kemudian daging digeser-geser hingga terpotong. Daging itu akan dibuat sate, ada juga yang digoreng, serta untuk daging masak.
Setelah memotong daging, bapak akan memarut kelapa. Banyak benar kelapa yang harus diparut. Usai parut kelapa, mama lalu mengambil kelapa itu untuk diperas menjadi santan. Ampas kelapa itu lalu dipakai bapak untuk mengepel seisi rumah hingga bersih dan mengkilat.
Sementara mama sejak pagi sudah bangun. Ia memasak lapa-lapa selama seharian penuh supaya makin enak. Lalu masak sup, daging, dan bikin tape. Meski penuh kesederhanaan, mama berusaha menyajikan yang terbaik. Ia memasak yang terenak. Meski aku jauh merantau hingga Makassar dan Jakarta, tak kutemukan makanan seenak buatan mama.
Mama memintaku potong ayam. Aku lalu membawa ayam itu ke Bapaknya Iin yang ada di depan rumah. Usai dipotong lehernya, ayam itu akan dilempar hingga menggelepar-gelepar. Tugasku selanjutnya adalah mencabut semua bulu ayam itu bersama kakak. Kami melakukan itu dengan penuh semangat.
Di kampungku, ayam adalah makanan yang paling dinantikan. Setiap hari kami makan ikan, dan hanya pada momen-momen tertentu kami makan ayam. Membayangkan makan ayam adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Indahnya Lebaran karena membayangkan akan pakai baju baru, makan enak bersama-sama, serta dapat uang saku dari bapak.
Saat malam Lebaran...
Bapak mengajakku bakar lilin di kuburan kakek di Wameo. Di sana, kuburan berhias dengan lilin sehingga seperti keramaian. Biasanya, kuburan sepi. Tapi pada malam puasa dan malam Lebaran, kuburan itu berhias dengan lilin hingga terang. Kata bapak, ini adalah tradisi yang sudah lama di kampung. Pulang dari kuburan, bapak juga bakar lilin di depan rumah. Hampir semua rumah di kampung membakar lilin di depan rumah. Ini adalah tradisi untuk menyambut Lebaran.
Pulang ke rumah, aku mengambil kembang api. Kunyalakan kembang api itu melalui api lilin di depan rumah. Kemudian, aku kegirangan ketika berlari sambil memegang kembang api. Teman-temanku berdatangan. Semuanya senang karena sama-sama membakar kembang api. Beberapa teman menyalakan kembang api dan melemparnya ke pohon. Indah sekali seperti melihat pohon natal.
Akupun ingin ikut melakukannya. Usai bakar kembang api, kulempar tinggi-tinggi ke pohon supaya menyala di pucuknya. Ternyata kembang api itu meluncur jauh dan jatuh di atap rumahnya La ifin. Menyala di sana. Teman-teman menakut-nakutiku kalau rumah itu akan terbakar. Aku lari terbirit-birit dan sesekali menoleh ke atas kalau-kalau ada api yang membumbung tinggi. Ternyata tidak ada. Aku selamat.
Usai bermain-main, aku lelah dan ingin tidur. Tanpa mandi dan cuci kaki, langsung tidur di kamar. Di luaran, azan takbir mendayu-dayu. Aku lelap....
Bapak adalah mahluk yang paling sibuk di dunia. Pagi-pagi buta ia sudah ke pasar untuk membeli daun kelapa yang akan digunakan untuk membungkus lapa-lapa, makanan khas Lebaran di kampung. Setelah itu, bapak mengajakku ke Pasar Wameo beli ayam. Susah pilih ayam karena rata-rata mahal dan banyak pembeli. Bapak memilih ayam jantan yang besar, kemudian kubawa pulang.
Tiba di rumah, ayam itu tidak langsung diikat di kandang. Aku bawa ayam itu untuk diadu dengan ayam-ayam lainnya. Teman-teman lainnya juga membawa ayamnya keliling. Kami saling adu ayam, sampai-sampai ayamku luka-luka. Saat dibawa pulang ke rumah, bapak marah-marah. Luka ayam itu dilumuri dengan minyak gosok, lalu dimasukkan dalam kandang.
Seharian bapak sibuk memotong-motong daging sapi yang dibeli dari La Ode Banya, yang sudah lama menggeluti bisnis daging sapi. Sampai-sampai, kami menjuluki anak-anaknya dengan panggilan “sapi”. Bapak memotong daging dengan cara menjepit pisau dengan ibu jari. Mata pisau diarahkan ke atas, kemudian daging digeser-geser hingga terpotong. Daging itu akan dibuat sate, ada juga yang digoreng, serta untuk daging masak.
Setelah memotong daging, bapak akan memarut kelapa. Banyak benar kelapa yang harus diparut. Usai parut kelapa, mama lalu mengambil kelapa itu untuk diperas menjadi santan. Ampas kelapa itu lalu dipakai bapak untuk mengepel seisi rumah hingga bersih dan mengkilat.
Sementara mama sejak pagi sudah bangun. Ia memasak lapa-lapa selama seharian penuh supaya makin enak. Lalu masak sup, daging, dan bikin tape. Meski penuh kesederhanaan, mama berusaha menyajikan yang terbaik. Ia memasak yang terenak. Meski aku jauh merantau hingga Makassar dan Jakarta, tak kutemukan makanan seenak buatan mama.
Mama memintaku potong ayam. Aku lalu membawa ayam itu ke Bapaknya Iin yang ada di depan rumah. Usai dipotong lehernya, ayam itu akan dilempar hingga menggelepar-gelepar. Tugasku selanjutnya adalah mencabut semua bulu ayam itu bersama kakak. Kami melakukan itu dengan penuh semangat.
Di kampungku, ayam adalah makanan yang paling dinantikan. Setiap hari kami makan ikan, dan hanya pada momen-momen tertentu kami makan ayam. Membayangkan makan ayam adalah hal yang paling menyenangkan bagiku. Indahnya Lebaran karena membayangkan akan pakai baju baru, makan enak bersama-sama, serta dapat uang saku dari bapak.
Saat malam Lebaran...
Bapak mengajakku bakar lilin di kuburan kakek di Wameo. Di sana, kuburan berhias dengan lilin sehingga seperti keramaian. Biasanya, kuburan sepi. Tapi pada malam puasa dan malam Lebaran, kuburan itu berhias dengan lilin hingga terang. Kata bapak, ini adalah tradisi yang sudah lama di kampung. Pulang dari kuburan, bapak juga bakar lilin di depan rumah. Hampir semua rumah di kampung membakar lilin di depan rumah. Ini adalah tradisi untuk menyambut Lebaran.
Pulang ke rumah, aku mengambil kembang api. Kunyalakan kembang api itu melalui api lilin di depan rumah. Kemudian, aku kegirangan ketika berlari sambil memegang kembang api. Teman-temanku berdatangan. Semuanya senang karena sama-sama membakar kembang api. Beberapa teman menyalakan kembang api dan melemparnya ke pohon. Indah sekali seperti melihat pohon natal.
Akupun ingin ikut melakukannya. Usai bakar kembang api, kulempar tinggi-tinggi ke pohon supaya menyala di pucuknya. Ternyata kembang api itu meluncur jauh dan jatuh di atap rumahnya La ifin. Menyala di sana. Teman-teman menakut-nakutiku kalau rumah itu akan terbakar. Aku lari terbirit-birit dan sesekali menoleh ke atas kalau-kalau ada api yang membumbung tinggi. Ternyata tidak ada. Aku selamat.
Usai bermain-main, aku lelah dan ingin tidur. Tanpa mandi dan cuci kaki, langsung tidur di kamar. Di luaran, azan takbir mendayu-dayu. Aku lelap....
Saat Lebaran......
Aku bangun pagi karena teriakan bapak yang menyuruh bangun. Langsung menuju kamar mandi. Di sana, adik sedang amndi. Aku harus menunggu. Habis mandi, keluarkan baju yang terbaik dan dikenakan. Di luar, semua orang sudah siap-siap untuk ke tanah lapang. Di kampungku, ada tiga tempat untuk salat Idul Fitri yaitu di Stadion Betoambari, Lapangan Lembah Hijau, dan Masjid Keraton. Biasanya kami sekeluarga pergi ke Stadion Betoambari. Tapi, bapak sering mengajakku ke Masjid Keraton. Meski kapasitas masjid itu sempit, kami menggelar sajadah di luaran.
Usai sembahyang, pulang ke rumah. Banyak tetangga berdatangan dan bermaaf-maafan. Aku menunggu mama. Lalu bermaaf-maafan dengan bapak dan mama serta semua saudara. Bapak lalu pergi ke Wameo untuk siram kubur. Semalam kami sudah bakar lilin di kuburan Uma (Kakek). Sekarang, kami kembali menyiram kubur di situ. Aku sih senang-senang saja dengan rutinitas ini.
Usai siram kubur, bapak mengajak ke rumah ibunya (nenek). Aku memanggil Ibunya Bapak dengan sapaan Nenek Hani. Saat kami datang, nenek Hani akan sangat senang dengan kedatangan itu. Meskipun bukan Lebaran, bapak rajin sekali mengunjungi Nenek Hani. Seingatku, setiap bapak datang dari Baruta –tempatnya mengajar--, ia akan langsung mengunjungi nenek Hani. Ia menikmati saat-saat ketika berdialog tentang apa saja. Mulai gosip tentang keluarga, sampai cerita tentang anak-anaknya.
Pulang ke rumah, bapak siap-siap ke rumah Bapak Musa Awi, kepala SMA 2, mantan atasannya dulu. Sementara aku mulai dengan agenda sendiri. Biasanya yang kulakukan adalajh jalan-jalan ke keraton. Sekitar tiga kilometer aku berjalan kaki demi mencapai keraton. Tapi, aku melakukannya dnegan riang. Pakai baju baru, kantong penuh dengan uang. Selain itu, aku membayangkan di sana akan ketemu dengan banyak teman-teman sebaya. Senangnya!
2 komentar:
saya selalu ingin kembali ke bau-bau saat membaca tulisanta...seperti mantra saya dapat merasakan getaran magisnya...terima kasih k' yus...mohon maaf lahir dan bathin...
hehehehe... saya jadi geer nih. padahal tulisan itu biasa saja. but,.. thanks yaaa
Posting Komentar