Tahun Baru, Pesta Seks, dan Ritual Nikmat


ilustrasi


TAHUN baru tak hanya identik dengan terompet, karnaval, pesta tengah malam, serta kembang api. Di beberapa negara, tahun baru juga identik dengan pesta seks. Kini, pesta seks ini ikut menjadi wabah di tanah air kita. Entah sejak kapan dimulai, dan entah siapa yang membawanya. Yah, meskipun pahit, inilah fakta yang tengah melanda generasi kita hari ini.

***

SEBUAH pesan terkirim ke nomor ponsel saya. Seorang sahabat yang berprofesi sebagai pengusaha mengirimkan pesan untuk ketemuan di malam tahun baru. Saya tak terlalu bersemangat menanggapi. Di saat bersamaan, saya punya acara sendiri dengan teman kantor. Sahabat itu kembali kirim pesan, “Kamu rugi kalau tak datang. Saya lagi punya pacar ABG. Dia akan ajak teman-temannya untuk ikut party.”

Saya dan teman itu punya hubungan panjang. Selain kami sama-sama berasal dari Sulawesi, kami juga pernah bekerja di tempat yang sama. Hanya saja, saya memilih hengkang karena berbagai alasan. Dirinya tetap konsisten di jalur itu, dan selanjutnya berhasil menjadi kaya-raya.

Saya tak mengerti apa maksud pesannya hari ini. Kami baru ketemuan lagi beberapa hari lalu. Ia sudah bikn sahabat yang dulu. Ia sudah menjadi pria metropolis. Pakaiannya nampak mahal. Rambutnya disisir rapi. Aroma tubuhnya sangat khas aroma parfum berkelas. Pembicaraannya selalu tentang bisnis. Ia menyebut investasi, produk, dan juga marketing (pemasaran). Saya lebih suka mendengarkannya ketimbang ikut berbicara.

Beberapa tahun silam, ketika dirinya masih pengusaha kecil, ia pernah memanggil saya untuk merayakan tahun baru di satu diskotik, yang kini telah ditutup oleh Ahok. Saya menyaksikan berbagai minuman di atas meja. Hampir semua bermerek impor. Teman itu menggelar pesta dengan sejumlah pramugari sebuah maskapai. Ia serupa raja minyak yang dikelilingi gadis cantik.

Saya memandang gadis-gadis itu. Semuanya muda dan cantik. Semuanya seksi. Mereka larut dalam pesta yang diiringi musik berdentam-dentam. Di tempat itu, tak ada dialog. Hanya ada tawa cekikikan serta suara denting gelas yang beradu ketika hendak diminum. Beberapa orang menari untuk mengikuti musik. Entah kenapa, di tengah hingar-bingar itu, saya tak menemukan di mana letak kenikmatannya.

Melihat saya terdiam, teman itu lalu mendekat. Ia berbisik, “Jangan pulang dulu. Seteah pesta, akan ada pesta seks.” Saya bisa merasakan aroma minuman terpancar kuat. Saya lalu melirik ke arah gadis-gadis itu. Saat itu, entah kenapa, perasaan saya sangat tidak nyaman. Saya memilih pulang dan beristirahat.

Apakah gerangan yang dicari oleh mereka yang sedang berpesta itu? Terhadap teman saya, analisis sosiolog Daniel Bell paling pas menjelaskannya. Kata Bell, kapitalisme memiliki kontradiksi dalam drinya. Kapitalisme memaksa manusia untuk menjadi pekerja keras di siang hari, dengan mematuhi semua hukum ekonomi yakni efisiensi, sedikit pengorbanan, demi meraih hasil besar. Akan tetapi di malam hari, manusia akan menjadi dirinya. Aspek budaya akan menuntut pemenuhan. Manusia akan ‘dipaksa’ untuk seboros mungkin demi memenuhi naluri pesta dan kebahagiaan.

Hari-hari yang dilalui teman saya adalah bekerja. Ia seorang pekerja keras yang setiap hari mengejar client agar bersedia bekerjasama. Uang laksana menempel dengannya. Sekali proyeknya berhasil, ia punya dana segar untuk berpesta selama beberapa bulan. Di siang hari ia pekerja keras yang amat irit belanja, namun di malam hari, ia menjadi seorang pemboros yang meminum bir jauh lebih banyak dari kebiasaannya minum air putih.

“Gimana? Jadi ikut gak? Kasih kabar dong”

Kembali pesannya masuk ke ponsel. Sekian tahun berlalu, ia masih memiliki hobi yang sama. Saya membayangkan bahwa kali ini pesta yang akan digelarnya memiliki skala yang lebih besar. Di saat cuma jadi pengusaha kelas teri, ia sudah bisa menggelar party dengan para pramugari. Pasilah kali ini pestanya lebih berkelas.

Saya lalu memperhatikan beberapa pemberitaan media. Harian Tribun Timur di Makassar memberitakan tentang mahasiswa yang tinggal di pondokan, sebutan lain untuk rumah kos mahasiswa, yang mem-booking banyak kondom. Lalu sebuah haran nasional memberitakan kelangkaan kondom di Bekasi karena telah diborong.  Saya juga liputan tentang fenomena pesta seks di kalangan ABG pada malam tahun baru. Seorang teman apoteker juga meniyakan kalau penjualan kondom akan mencapai titik tertinggi saat valentine dan pesta tahun baru.

Nampaknya, pesta seks menjadi semacam ritual yang dilakukan setiap jelang tahun baru. Seingat saya, ritual seperti ini kerap dilakukan di kota-kota di Korea dan Jepang. Lantas, sejak kapan generasi hari ini ikut-ikutan menggelar pesta seks? Saya hanya bisa menduga. Mungkin ini adalah sisi lain dari kemajuan. Sisi-sisi lain dari kemajuan di Korea dan Jepang merasuk bersama industri budaya populer. Kaum muda kita adalah kaum yang paling rentan dalam menghadapi berbagai invasi budaya itu.

Rupanya, masyarakat kota di tanah air kita telah bertransformasi menjadi seperti masyarakat kota-kota besar yang melalui tahun baru dengan lendir terhambur. Anak-anak muda kita terlanjur memaknai kemajuan sebagai bertingkah sebagaimana mereka yang di sana, lalu mengabaikan segala tatanan nilai yang dibangun di rumah dan sekolah. Tapi, benarkah tatanan nilai diperkenalkan dengan baik di rumah dan sekolah? Tidakkah kesibukan orangtua untuk mengejar uang bisa berujung pada hak-hak anak, termasuk bagaimana mengenalkan nilai dan etika di dalam rumah?

Entah. Yang pasti, fenomena seks bebas ini tak melulu pada anak remaja dan anak kuliahan. Bahkan mereka yang sudah bekerja dan sukses, sebagaimana teman saya, juga melakukannya. Harusnya momen tahun baru menjadi momen reflektif. Semua pihak mesti melihat ulang ke belakang dengan jernih, mengakui berbagai problem yang muncul hari ini, lalu bersama-sama menemukan formulasi dan solusi terbaik untuk hari esok.

Di saat merenungi banyak hal, kembali ponsel saya berbunyi. Teman tadi kembali mengirim pesan lewat Whatsapp. Kali ini ia mengirimi gambar seorang gadis yang muda yang amat cantik, serupa wajah bintang sinetron. Saya tak tahu hendak berkata apa. Tak lama kemudian, kembali ia mengirim pesan.

“Gimana? Mau nggak sama dia?”



2 komentar:

Catcilku mengatakan...

Semakin mengerikan ya... khawatir juga kalau pada akhirnya tulisan di badan mikrolet yang pernah saya baca akan benar2 terjadi

Unknown mengatakan...

Generasi makin edan.....

*sangat memprihatinkan!!!

Posting Komentar