HARI-hari terakhir ini, berita media massa dipenuhi berita tentang model Indonesia yang seolah tersandera di negeri Malaysia. Model bernama Manohara Odellia Pinot tiba-tiba menjadi pesohor karena isu kekerasan yang dialaminya. Namun, apakah benar itu sebuah kekerasan, hingga kini belum ada kejelasannya. Hampir semua media telah memvonis bahwa dirinya menerima perlakuan yang buruk dari suaminya, sang putra mahkota Kesultanan Kelantan.
Bagaimanakah menjelaskan Manohara? Saya kira penjelasan beragam teori komunikasi cukup memadai untuk kasus ini. Bahwa pada mulanya adalah sebuah isu, yang kemudian dikemas menjadi sensasi yang bombastis oleh media. Sebuah isu awalnya ibarat api kecil yang kemudian dikipasi sehingga berbiak menjadi besar hingga menghanguskan apa-apa yang di sekelilingnya. Pada akhirnya kita tak pernah tahu sejauh mana kebenaran isu ini sebab batas antara yang benar dan yang salah sudah kabur. Benar dan salah jadi tidak penting. Media butuh sensasi dan menisbikan kebenaran. Kita menerima sensasi sebagai sebuah fakta, tanpa benar-benar diajari untuk tetap kritis terhadap isu-isu demikian.
Iklim jurnalistik kita belakangan ini dikejutkan oleh hadirnya infotainment. Kehadiran infotainment telah melanggar rambu-rambu penting tentang kaidah jurnalisme tentang mana yang bisa disebut sebagai berita, dan mana yang bukan berita. Infotainment hanya berbahasa satu yaitu sensasi dan isu yang dikipas-kipasi hingga besar. Tak pernah saya dengar ada infotainment yang kukuh menjaga kode etik jurnalistik. Makanya, demikian banyak berita infotainment yang tak punya narasumber jelas. Hanya mendengar gossip dari seseorang, infotainment langsung menayangkannya, sambil mencari konfirmasi berupa orang lain yang akan membenarkan kisahnya. Infotainment telah merusak iklim jurnalisme di tanah air dan menghancurkan segenap rambu-rambu dalam peliputan berita.
Infotainment ibarat anak haram dalam tradisi jurnalistik di tanah air. Kita susah menolaknya sebab masyarakat justru menyenanginya. Masyarakat kita adalah masyarakat yang senang dengan segala sesuatu yang berbau gossip. Masyarakat kita begitu gampang menvonis sesuatu, tanpa harus ada ikhtiar untuk menyingkap sesuatu itu secara jelas. Dalam kultur seperti ini, kehadiran infotainment ibarat berita gembira yang bagi masyarakat kita. Pada akhirnya, infotainment kemudian mengklaim dirinya seolah-olah jurnalistik. Padahal, sepengetahuan saya, para wartawan di Jakarta justru tidak terlalu senang dengan sensasi ala infotainment. Banyak wartawan yang teteap kukuh memegang asas-asas jurnalistik, meskipun banyak juga yang berlaku ala infotainment.
Dalam situasi seperti ini, saya kira mesti ada semacam media literacy atau gerakan untuk membuat masyarakat makin sadar bermedia. Masyarakat harus diingatkan untuk waspada dengan tayangan-tayangan yang tampil di media massa. Kesadaran itu bisa dipupuk dalam kampanye media literacy yang mengingatkan semua orang untuk tetap kritis dan waspada dengan media. Setahu saya, beberapa lembaga di Jakarta telah menyusun peringkat, mana tayangan yang berbahaya, dan mana yang tidak berbahaya. Dengan kampanye media literacy, kita memfasilitasi masyarakat agar tidak menyerah menjadi bulan-bulanan beragam isu media semacam infotainment. Agar masyarakat tetap kritis dan waspada tentang bahaya media massa. Saya kira demikian. Cukup sekian.(*)
0 komentar:
Posting Komentar