Pilih Mana: Segera Menikah Atau Telat?

MENGAPA perempuan lama menikah? Barusan saya ngobrol dengan teman perempuan yang dekat dengan saya saat kuliah dulu. Ia memberi info bahwa banyak teman-teman perempuan yang belum menikah. Saya terkejut dan terheran-heran. Perkiraan saya usia teman-teman adalah sekitar 32 tahun. Jika saat ini belum menikah, bukankah itu agak telat?

Di masyarakat Bugis-Makassar, usia 30-an tahun bagi perempuan dan belum menikah, sudah disebut telat. Ini mungkin bisa disebut ketidakadilan gender. Sebab lelaki dalam usia segitu belum menikah, dianggap sebagai hal yang biasa. Beda dengan perempuan. Biasanya, sang perempuan dan keluarganya mulai gelisah dan sibuk mencarikan jodoh bagi anak gadisnya tersebut. Malah, di beberapa tempat, situasi demikian bisa menjadi aib sebab seolah sang perempuan dianggap tidak “laku.“ Itulah masyarakat kita yang kadang aneh dalam memberikan penilaian.

Mungkinkah ada kecenderungan bagi perempuan di kota besar untuk menunda pernikahan? Mungkin juga. Saya banyak membaca liputan media tentang fenomena seperti itu. Namun, saya mengenal teman-teman saya tersebut. Saya tidak terlalu yakin kalau mereka punya niatan untuk menunda pernikahan. Saya yakin mereka adalah tipe perempuan yang ingin mensegerakan pernikahan. Mereka adalah tipe perempuan baik-baik yang berjilbab dan tidak banyak terseret oleh laju modernisasi. Bahkan, beberapa teman saya tersebut tidak pernah mengenal apa yang disebut pacaran. Lantas, mengapa? “Bukan berniat menunda. Tapi hingga saat ini belum ada lelaki yang datang,” kata seorang teman perempuan tersebut.

Jika itu soalnya, barangkali ada sesuatu dalam kebudayaan kita yang menghalangi mereka untuk segera menemukan jodoh. Perempuan dibesarkan dengan tata krama dan etika yang kukuh yang tidak banyak memberikan ruang bagi mereka untuk berkenalan secara lebih dalam dengan lelaki. Tatkala orang tua memberikan aturan yang tegas tentang jam malam, serta disiplin agar anak perempuannya selalu ke rumah pada jam tertentu, maka itu sama saja dengan mempersulit sang perempuan. Akhirnya, sang anak perempuan tidak terbiasa bersosialisasi atau bergaul dengan sesamanya. Yang terjadi kemudian, sang perempuan jadi minder dan hanya menunggu saja seorang pangeran yang kelak akan datang ke rumah untuk melamarnya. Trus, sampai kapan hendak menunggu?

Saya melihat perempuan dalam posisi yang dilematis. Ada begitu banyak nilai-nilai yang mengungkung mereka. Boleh jadi, itu adalah doktrin teologis yang menempatkan mereka dalam posisi sebagai sumber petaka bagi lelaki. Ketika teman-teman saya belum menikah dan gelisah, mereka seakan tak berdaya mengekspresikan kegelisahan tersebut. Saat saya menawarkan gagasan untuk membantu mereka dengan menjodohkan, tawaran itu diterima dengan senang hati. Ada harapan kalau solusi itu bisa menjadi jalan keluar bagi mereka. Namun saya kira, hal mendesak yang harus dilakukan adalah segera mendekonstruksi kebudayaan kita yang membuat perempuan terkungkung. Biarkan mereka bersosialisasi dengan penuh etika. Jangan kungkung mereka dalam rumah dengan doktrin dan etika...(*)



0 komentar:

Posting Komentar