Wajah Retak Pendidikan Kita

KEMARIN adalah hari terakhir saya mengajar filsafat. Setelah memberikan informasi tentang tugas serta jadwal final test, saya menghembuskan harapan kepada mahasiswa agar tetap serius hingga ujian final nanti. Mereka tetap harus memelihara semangat belajar, meskipun tak lama lagi mereka akan melakukan penelitian dan meninggalkan kampus.

Saya selalu bahagia saat melihat wajah-wajah penuh keingintahuan. Hasrat ingin tahu adalah pijar pertama untuk menjelajah di dunia ilmu pengetahuan. Sikap keingintahuan yang dikepung pertanyaan-pertanyaan adalah benih yang kemudian menumbuhkan pohon pengetahuan. Kadang-kadang kita tak pernah serius memelihara sejumput tanda tanya. Padahal, pertanyaan-pertanyaan itu ibarat matahari yang menumbuhkan tanaman. Ibarat pupuk yang membesarkan tanaman. Tanpa pertanyaan, tak akan tumbuh pohon filosofis yang kokoh.

Saya tak melihat ada keseriusan di kampus-kampus di Makassar untuk menumbuhkan pohon ilmu pengetahuan. Kampus-kampus tak ubahnya lembaga pengeruk modal yang tolok ukur keberhasilannya adalah seberapa besar isi kantong untuk memperkaya lembaga atau yayasan. Kampus tak terlalu serius membesarkan para pengajar yang mencintai ilmu. Pengelolaan kampus lebih banyak diserahkan pada pemilik modal yang memiliki peran besar dan sering mengabaikan rasa haus mencari ilmu. Sementara para pengajar tak lebih dari mereka yang mencari hidup di jalur akademis. Tanpa berpikir bagaimana memberikan pencerahan pada zaman yang tengah gelap gulita.

Di negara ini, pendidikan tidak diurusi dengan serius. Begitu banyak gelar-gelar profesor di dunia kampus, namun seberapa banyak karya akademik yang bisa dihasilkan? Gelar di kampus menjadi bangsawan baru di zaman yang berbeda. Pantas saja, banyak dosen yang selalu menulis namanya dengan lengkap sesuai gelar. Padahal, gelar itu justru didapatkan di satu kampus yang jauh dari hiruk-pikuk akademis. Saya tak mau ikut latah memasang gelar-gelar itu. Nantilah ketika mendapatkan gelar doktor, baru saya pasang gelar. Itupun cuma untuk hal-hal tertentu. Bukan untuk latah dan dipasang di papan nama rumah.

Saya melihat pendidikan telah bertransformasi menjadi lembaga yang memperkaya diri dengan bangunan yang megah-mentereng dengan sederet gelar-gelar akademis. Tidak lagi menjadi jawaban atas pencarian manusia akan kebenaran dan kadilan. Kampus terlalu jauh meninggalkan misi idealisnya sebagai mata air pencerahan bagi manusia sekitarnya.

Saya selalu sedih tatkala menatap sorot mata para mahasiswa yang berharap banyak dengan perkuliahannya. Mungkin mahasiswa ini berharap sedang memasuki suatu pintu-pintu ilmu yang kelak akan melepaskannya dari belenggu ketidaktahuan. Pantas saja jika mereka rela mengeluarkan biaya hingga jutaan rupiah. Namun apakah gerangan yang mereka dapatkan? Apakah kebanggan karena gelar ataukah kebahagiaan karena akan segera bekerja di tempat mentereng?



0 komentar:

Posting Komentar