Peneliti Asing dan Belantara Ketidakmampuan Kita


BARUSAN saya membeli buku baru yang ditulis Thomas Gibson berjudul Kekuasaan Raja, Syekh, dan Ambtenaar: Pengetahuan Simbolik & Kekuasaan Tradisional Makassar 1300-2000. Buku ini adalah terjemahan dari The Sun Pursued the Moon: Symbolic Knowledge and Traditional Authority among the Makassar. Tadi, saya sengaja singgah ke Penerbit Ininnawa untuk membeli buku ini. Harganya cukup mahal Rp 70.000, namun tidak semahal bagaimana perjuangan penulisnya untuk menghadirkan buku sejenis.

Sebelum membeli buku ini, bulan lalu saya juga membeli sejumlah buku bagus. Di antaranya adalah Kuasa dan Usaha di Sulawesi Selatan (diedit oleh Roger Tol dan Heather Sutherland), serta buku Navigasi Bugis (karya Gene Ammarell). Kesemua buku ini ditulis oleh para ilmuwan asing tentang Sulawesi Selatan. Karya mereka sangat mumpuni sebab menampilkan hal-hal yang selama ini jarang disentuh oleh ilmuwan setempat.

Setiap kali melihat karya penulis asing tentang Indonesia, saya selalu sakit hati. Saya iri karena kenapa karya sehebat itu tidak dihasilkan oleh para penulis bangsa ini. Apakah kita sama tidak menyadari bahwa kekayaan bangsa kita sendiri telah dinarasikan oleh bangsa lain? Apakah kita tidak punya ‘nasionalisme’ untuk menuliskan sendiri semua hal-hal yang menarik di bangsa ini? Mengapa dalam dunia humaniora, kita masih saja menjadi pemamahbiak atas karya-karya ilmiah yang dituliskan bangsa lain tentang bangsa kita sendiri?

“Kita para peneliti lokal tidak setekun peneliti asing,“ demikian kata kawan seorang staf penerbit Ininnawa. Menurut saya, alasan seperti ini terlalu dibuat-buat. Bukankah ilmu pengetahuan memiliki metode yang bisa dipelajari siapapun yang intens mengkaji fenomena sekitar? Jika soalnya adalah ketekunan, lantas apa sih yang dilakukan oleh para profesor yang saat ini gajinya Rp 13 juta di negara ini?

Mungkin ini bukan cuma soal ketekunan. Tapi ini adalah hasil interaksi dari berbagai unsur yang membuat kondisi dunia riset sosial dan humaniora di negara ini menjadi demikian parah. Soal ketekunan hanyalah satu dari begitu banyak aspek yang saling melengkapi, seperti kinerja para ilmuwan yang lebih sibuk mengurusi dunia politik, ketimbang membikin jejak di dunia ilmiah. Para ilmuwan lokal kita terlalu merasa di atas angin sehingga mereka tidak menyadari bahwa pada field penelitian yang sama, ada sejumlah ilmuwan asing dari berbagai penjuru yang kian menyempurnakan sejumlah kajian dengan berbagai tema. Kita terlalu pongah seolah kitalah ahli waris yang berhak menginterpretasikan suatu kebudayaan.

Di tengah kepongahan itu, kita tak mampu menghasilkan publikasi dengan kualitas sehebat para peneliti asing itu. Publikasi ilmiah kita demikian parah. Karya-karya terbaik di bidang ini justru dilahirkan oleh mereka yang berasal dari negeri lain yang datang meneliti dengan penuh ketekunan dan kesungguhan.

Hal lain yang juga memperparah kondisi ini adalah karena tiadanya kultur akademik yang memadai di kampus-kampus. Seorang ilmuwan di kampus tidaklah diukur dari seberapa banyak publikasi risetnya, namun sedekat apa dia dengan seorang penguasa. Ini negeri yang aneh. Kehebatan seorang ilmuwan bukan dari publikasi akademis, melainkan dari kedekatan dengan politisi. Makanya, saya seringkali menemui para ilmuwan yang sangat bangga karena dekat dengan pejabat dan punya banyak proyek riset pesanan. Riset pesanan itu justru tidak memperkaya body of knowledge dalam diskursus intelektual di Indonesia. Riset itu hanya untuk menambah pundi-pundi keuangan dan hasilnya hanya untuk sekedar legitimasi bahwa satu instansi pemerintah telah menyelenggarakan riset.

Makanya, jangan berharap akan lahir seorang intelektual yang mumpuni di kampus-kampus di tanah air. Pastilah jumlah mereka sangat minoritas, jika dibandingkan berapa kuantitas para pengajar perguruan tinggi. Jangan kaget pula ketika datang serbuan para peneliti asing yang mengkaji kebudayaan kita sendiri. Sementara kita –sebagai pemilik kebudayaan itu—hanya bisa pasrah, termangu dan tak bisa berbuat apa-apa. Kaciaaann deh lo.....!



0 komentar:

Posting Komentar