Unsur Jawa-Sunda di Hotel Clarion Makassar


SEMUA hotel memiliki kiat sendiri untuk merebut pelanggannya. Semua menawarkan kemewahan, serta pelayanan yang memuaskan. Dari sekian hotel yang saya lihat, banyak hotel yang mengangkat sejumlah elemen-elemen kultural suatu kawasan demi membedakan dirinya dengan hotel yang berada di tempat lain.

Dalam satu kesempatan ke Yogyakarta, saya melihat banyak hotel yang nuansa pelayanannya kental dengan budaya Jawa. Mulai dari pakaian para office boy, pakaian para pelayan hotel, hingga ornamen-ornamen hotel baik berupa lukisan maupun patung-patung. Saat ke hotel itu, kita langsung bisa membayangkan bahwa saat ini kita berada di Jawa dalam hal ini Yogyakarta. Demikian pula dengan hotel-hotel yang ada di Toraja. Nuansanya sangat Toraja. Sebagai tamu hotel, kita seakan disadarkan terus bhawa kita sedang berada di Toraja, bukan di tempat lain.

Lantas bagaimana dengan Hotel Clarion di Makassar? Saya tidak menemukan elemen kultural seperti itu. Memasuki hotel ini, saya serasa tidak berada di Makassar. Betapa tidak, pakaian para pelayan hotel adalah semacam kebaya panjang. Para perempuan memakai sanggul, dan ada kembang yang diletakkan di telinganya. Demikian pula dengan musiknya. Saya tak pernah dengar musik khas Makassar. Yang saya dengar adalah musik-musik khas Jawa atau Sunda. Saat makan di lobby, ternyata hanya ada satu restoran yaitu restoran khas Bali.

Makanya, saya bertanya-tanya dalam hati. Apakah elemen budaya Bugis-Makassar tidak layak untuk ditampilkan di hotel berkelas seperti ini? Mengapa pula ada hotel di Makassar yang mengambil unsur-unsur budaya luar seolah mengingkari keberadaannya di Kota Makassar?

Awalnya saya berpikir bahwa mungkin elemen budaya Makassar tak menarik dipajang di tempat sekelas hotel berbintang. Namun setelah berkunjung ke hotel-hotel besar lainnya seperti Hotel Imperial Aryadutha, saya menemui kesan berbeda. Di Hotel Aryadutha, semua tamu disambut oleh pelayan yang memakai songkok tobone, songkok khas Bugis serta sarung khas. Kemudian para perempuan juga mengenakan pakaian setempat. Di hotel ini, saya juga melihat ornamen khas rumah Toraja terpasang di aula besar. Bahkan, nama-nama ruangan hotel juga mengadaptasi nama-nama khas lokal, seperti Maraja Ballroom, Mandar Room, hingga Masamba Room. Hotel yang mengangkat aspek kultural Bugis-Makassar ini bukan hanya Hotel Aryadutha, namun juga Hotel Makassar Golden, serta Hotel Banua, hingga Hotel Horison.

Kesimpulan saya adalah Hotel Clarion ingin menempuh jalan yang berbeda dari hotel lainnya. Mereka ingin tampil berbeda dengan hotel-hotel lain yang memajang aspek budaya Bugis-Makassar. Mungkin, ini adalah bagian dari strategi bisnis bagi mereka. Namun sayangnya, pilihan itu justru mengabaikan aspek budaya Bugis-Makassar yang smeestinya menjadi ciri serta tuan di negerinya sendiri. Pilihan untuk memunculkan Jawa dan Sunda di Makassar bisa pula dilihat sebagai strategi untuk mengget orang Jawa atau Sunda untuk menginap di situ agar selalu teringat kampung kelahirannya. Ini sah-sah saja dalam hal bisnis. Namun pilihan ini saya anggap tidak bijak sebab mengabaikan fakta bahwa hotel itu justru tumbuh di atas bumi Bugis-Makassar.(*)


Jumat, 5 Juni 2009



0 komentar:

Posting Komentar