Belajar Arif dari Parsudi Suparlan

SAYA pernah mengenal seorang dosen paling killer di Universitas Indonesia (UI). Seorang dosen yang selalu marah-marah pada mahasiswa. Namanya Prof Parsudi Suparlan. Ia memang tidak pernah mengajar saya secara langsung. Tapi namanya selalu menjadi buah bibir. Semua mahasiswa takut sama beliau. Parsudi mengajar dengan penuh disiplin. Ketika mahasiswa sok pintar langsung didampratnya habis-habisan dengan kalimat yang kasar-kasar.

Dulu, saya termasuk mahasiswa yang membenci Parsudi. Saya gabung dengan barisan mahasiswa yang menganggap Parsudi bukanlah dosen yang baik. Ia tidak mengispirasi sebab lakunya adalah marah-marah, meski tanpa alasan yang jelas. Namun, saat ini saya berbalik merindukan Parsudi. Ia memang pemarah, namun sebenarnya ia sedang mengajarkan disiplin kepada mahasiswanya yang suka menggampangkan sesuatu.

Ia memang selalu menghina mahasiswa yang sok pintar, sebab ia ingin mengajarkan sikap intelektualitas yang tidak pernah puas dengan apa yang sudah dipahami. Kepongahan bahwa kita sudah menguasai sesuatu adalah benih awal dari jatuhnya kita ke lembah kebodohan. Pada akhirnya, pengetahuan kita hanyalah tepian pantai dari samudera pengetahuan semesta yang sangat luas. Kita hanya mengais-ngais di kerikil pengetahuan itu, sembari mengintip-intip saat yang tepat untuk memperkaya pengetahuan dengan cara bergerak ke kedalaman samudera pengetahuan itu sendiri.

Saya tiba pada pemahaman ini setelah mengalami langsung bagaimana peran Parsudi. Saya bisa memahami perasaannya, karena saat ini saya juga menjadi pengajar di satu kampus kecil. Di sini, mahasiswa tidak terlalu peduli dengan pijar pengetahuan. Mereka hanya berpikir bagaimana mengejar gelar, setelah itu bekerja di satu tempat bergengsi. Sebenarnya ini tidak mengapa, asalkan mereka bekerja keras untuk mendapatkan nilai. Namun di sini, tidak demikian. Mahasiswa bekerja asal-asalan, malah sama sekali tidak bekerja alias belajar untuk mendapatkan nilai terbaik.

Betapa sulitnya menjadi seorang yang idealis di tempat ini. Betapa sulitnya menjadi seorang yang teguh di tempat ini. Hampir setiap hari saya berhadapan dengan mahasiswa yang menggampangkan sesuatu. Mereka jarang hadir di kelas, tiba-tiba saja muncul satu per satu di saat ujian final test. Banyak yang tak pernah hadir di kelas, namun tiba-tiba saja menelepon dan meminta tugas sebagai pengganti kehadiran. Padahal, saya tidak pernah mengumumkan bahwa ketidakhadiran bisa diganti dengan tugas. Ketika mahasiswa sering tidak hadir di kelas, seyogyanya mahasiswa itu bisa introspeksi dan menelisik apakah dirinya bisa memahami materi ataukah tidak.

Saya dalam posisi yang sangat dilematis dalam menghadapi mahasiswa dengan tipe seperti ini. Jika saya tetap teguh dan bersikap adil dalam memberikan nilai, maka semestinya mereka tidak lulus mata kuliah saya. Bagaimana mungkin memberikan nilai maksimal untuk seseorang yang tak pernah hadir. Sedangkan yang hadir saja belum tentu bisa memahami kuliah itu dengan baik. Apalagi kalau sampai tidak hadir?

Saya dalam posisi dilematis. Barangkali saya mesti banyak berdoa pada Tuhan untuk bisa bersikap adil. Barangkali saya harus meminjam sifat Parsudi yang killer supaya mahasiswa itu bersikap serius dan tidak menggampangkan sesuatu. Mungkin, saya harus meyakinkan diri saya bahwa memberi keadilan adalah bagian dari proses pembelajaran di kampus ini. Namun, seberapa banyak orang yang paham tentang pembelajaran? Apakah mereka-mereka yang buta hati di kampus itu paham bahwa nilai tinggi bukanlah tujuan utama, ketimbang mereguk sesuatu yang bermakna buat hidup kita sendiri?

Mungkin saya harus banyak refleksi. Selama beberapa bulan menjadi pengajar, saya makin paham bahwa sikap marah Parsudi disebabkan oleh banyak hal. Bgarangkali refleksi dan introspeksi bukan cuma sesuatu yang dituntut oleh mahasiswa pada pengajarnya. Namuns esuatu yang sifatnya timbal balik. Sang pengajar berhak menuntut sikap seperti itu kepada sang mahasiswa yang terus saja bebal dan menganggap dirinya sudah hebat setinggi langit.(*)

Jumat, 19 Juni 2009


0 komentar:

Posting Komentar