Perih Perempuan saat Kampanye Pilpres

MANOHARA dan Sitti Hajar adalah perempuan yang sama-sama menjadi korban keberingasan para majikan di Malaysia. Meskipun keduanya berbeda latar sosial, namun sama-sama mengalami beban penderitaan yang sama sebagai perempuan. Keduanya adalah potret dari perempuan negeri ini yang merantau ke negeri asing, kemudian menjalani nasib yang mengenaskan.

Betapa tak adilnya jika kita harus mengabaikan mereka. Keduanya adalah puncak gunung es dari banyaknya kasus serupa yang menimpa warga Indonesia. Sedemikian banyaknya kasus sehingga membuat kita tidak peka pada penderitaan sesama anak bangsa. Anehnya, pemerintah negara ini seperti tutup kuping dan tutup mata atas banyaknya kasus serupa. Idealnya, pemerintah harus melindungi warganya tanpa pandang bulu, dan di saat apapun. Bukankah perlindungan itu menjadi esensi utama mengapa kita bernegara? Ketika negara tidak lagi melindungi warga, lantas untuk apa kita hidup bernegara? Bubarkan saja negara jika hanya menjadi ladang korupsi dan memperkaya sejumlah orang. Mendingan kita bikin negara baru dengan sistem yang jauh lebih adil.

Saya melihat kasus Sitti Hajar --yang tengah hangat di media massa—sangatlah menarik. Betapa tidak, kasus penyiksaan TKI ini mencuat, saat Indonesia tengah memasuki masa-masa kampanye pemilihan presiden (pilpres). Kasus Sitti Hajar mencuat ketika Presiden SBY tiba-tiba menelepon dan memberikan simpati. Andaikan Sitti Hajar tidak menangis perih di ajang kampanye, mungkin soalnya akan lain. Mungkin saja kasusnya akan tenggelam sebagaimana yang pernah dialami Nirmala Bonat, seorang TKW yang disiksa majikannya di Malaysia hingga luka parah.

Jika kesadaran pemerintah untuk melindungi warga hanya lahir pada monetum tertentu, lantas apakah semua TKW yang selanjutnya disiksa akan mendapat perlindungan yang sama? Saya khawatir jika jawabannya adalah tidak. Bangsa kita belum bisa menjelmakan laku kebajikan sebagai bagian dari kewajiban bersama. Solidaritas sosial untuk membantu sesama lebih peka dirasakan oleh warga biasa, ketimbang pemerintah. Buktinya, ketika kasus Prita mencuat, maka masyarakat yang lebih dahulu ribut-ribut dan memaksa negara segera turun tangan.

Artinya, di negara ini, peran negara adalah sebagai “pemadam kebakaran” atau pemadam sebuah isu yang sudah menyebar. Negara tidak bisa memprediksi atau mengkalkulasi apa yang seharusnya menjadi kewajibannya. Negara ini bisa hadir tatkala kita sama-sama mencambuk atau menghardiknya dengan cara demonstrasi ramai-ramai sambil meneriakkan kalimat desakan pada negara. Ini negara keledai yang harus dicambuk dulu baru mau meringkik.(*)


0 komentar:

Posting Komentar