SEPERTI apakah posisi intelektual? Pertanyaan ini menyeruak saat menyaksikan begitu banyaknya debat antar tim sukses calon presiden (capres). Saat ini, saya sedang menyaksikan debat antara tiga intelektual yaitu Fadli Zon, Rizal Mallarangeng, dan Dradjad Wibowo. Anda tahu seperti apa posisi mereka? Saya yakin anda benar. Posisi mereka adalah membela apapun yang dikatakan oleh calonnya. Pokoknya harus bela sampai titik darah penghabisan! Salah sekalipun!
Jika dipikir-pikir, sebenarnya ada hikmah positif dari suhu politik yang kian memanas. Setidaknya, kita sebagai warga bisa setiap hari menyaksikan talkshow di televisi. Namun, apakah benar dengan tiap hari nonton tivi kita akan semakin cerdas? Saya tidak terlalu yakin. Saya justru semakin bingung. Makin sering nonton tivi, kita semakin bimbang dengan situasi yang kita hadapi. Rasanya, kebenaran yang ada di situ, selalu dipelintir ke sana ke mari oleh para tim sukses atau para intelektual. Semua membusungkan dada. Semua mengaku benar. Semua mengeluarkan angka statistik tentang negeri ini. Lantas, siapa yang benar?
Saya teringat ilmuwan Jerman, Karl Mannheim. Puluhan tahun lalu, hal ini telah menggelisahkannya. Di ujung perenungannya, ia lalu mengatakan bahwa di zaman seperti ini, kita tidak lagi menyaksikan kebenaran melawan kesalahan. Duel klasik itu sudah lama tamat. “Sekarang ini kita hanya menyaksikan kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain,“ katanya. Maknanya adalah kebenaran menjadi satu kategori yang cair. Kebenaran bisa berada di mana-mana sebab sudah menjelma menjadi kepemilikan yang diklaim oleh siapa saja. Makanya, saat menyaksikan debat capres tersebut, kita tidak sedang menyaksikan kebenaran lawan kesalahan, namun menyaksikan kebenaran yang satu melawan kebenaran yang lain.
Dalam posisi yang dilematis seperti ini, di manakah posisi seorang intelektual? Kata Mannheim, intelektual mesti melakukan pemihakan. Bukan pada satu kebenaran, sebab ada pula kebenaran yang lain. ”Kebenaran harus dikembalikan pada fungsinya untuk membebaskan. Kebenaran harus bisa membebaskan mereka yang tertindas,“ katanya. Nah, pembebasan kaum tertindas ini mestinya menjadi pemihakan. Mereka seyogyanya harus menyuarakan suara yang tertindas, kemudian menemukan formulasi untuk membebaskan mereka.
Nah, apa yang sudah dilakukan para intelektual kita dalam berbagai talkshow? Mereka memang menyebut kaum yang tertindas. Namun, itu hanya sebagai lip service untuk memikat jutaan rakyat Indonesia agar memilih calonnya. Intelektual kita lebih suka menjadi intelektual tukang yang kerjanya adalah menjadi stempel atas apapun kebijakan yang dipilih seseorang. Intelektual kita hanya menjadi alat legitimasi atas suatu kebijakan. Bahkan ketika sang calon presiden bertindak ngawur dan bodoh, para intelektual itu akan sibuk mencarikan sejumlah alasan pembenaran. Mereka tidak mencerahkan. Mereka justru menyesatkan.
Mestinya, para intelektual itu harus tetap menyuarakan kebenaran yang diyakininya. Tak usahlah menampilkan sang capres seperti Tuhan yang selalu benar. Mereka harusnya menyadari sampai batas mana sang capres benar dan pada batas mana melakukan kesalahan. Justru dengan cara mengakui kesalahan atau kebodohan, mereka mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu bersikap jernih dalam melihat seorang tokoh. Mereka menyadari bahwa sang capres adalah manusia biasa yang sangat wajar melakukan kesalahan dan dengan cara demikian, ia bisa belajar melangkahkan kaki.
Mungkin anda bisa menjawab enteng. Ini khan soal pemasaran? Jika soalnya adalah pemasaran, maka tentu saja anda dituntut untuk menjual sesuatu hingga laku sebanyak-banyaknya, tak peduli apakah anda sedang membohongi para konsumen. Jika politik adalah soal pemasaran, para intelektual kita tak beda dengan para tukang penjual obat yang menjajakan obat di pinggir jalan. Sama-sama mengandalkan retorika dan kesan penonton, sesekali melakukan atraksi ular untuk memikat penonton. Intelektual kita tak beda jauh dengan para penjual obat.
Tatkala kebenaran hanya menjadi stempel semata, maka saat itu kebenaran takluk oleh politik. Tatkala politik menjadi panglima, kebenaran menjadi nisbi dan bisa diplintir ke sana ke mari. Jika situasi kian parah dan membusuk, mungkin inilah saatnya kita menantikan seorang rasul akan turun untuk memimpin perubahan. Seorang messiah sebagaimana yang dijanjikan dalam berbagai kitab suci. Tul nggak?...(*)
0 komentar:
Posting Komentar