SAYA ingin bercerita tentang film. Semalam saya nonton film Transformer 2: Revenge of The Fallen di Bioskop M-Tos Studio, Makassar. Namun, bukan filmnya yang bikin saya sangat menikmati suasana. Saya menikmati ekspresi para penonton bioskop yang rata-rata adalah mahasiswa. Mereka beberapa kali tepuk tangan dan berteriak histeris sepanjang film. Sepanjang nonton film, beberapa kali mereka juga bersorak-sorai dan bersiut-siutan. Saya juga ikut-ikutan tepuk tangan seperti mereka.
“..... Ah, kampungan semuanya,“ kata seorang kawan di sebelah saya.
Saya hendak memprotes. Namun, akhirnya saya memilih diam saja. Bagi saya, sikap yang ekspresif ketika menonton film bukanlah ciri kampungan. Justru itu adalah tanda bahwa para penonton di situ sangat menghargai seni. Mereka paham kalau adegan-adegan tertentu dalam film itu susah dikerjakan. Makanya, mereka bertepuk tangan sebagai bentuk apresiasi atau kekaguman. Jangan-jangan, mereka yang diam saja, justru tipe penonton yang tidak berselera. Buktinya, ekspresinya datar-datar saja bagaikan robot yang tak punya reaksi khas manusia.
Para penonton di M-Tos terbilang unik. Mungkin karena bioskop itu terletak di sekitar kampus Unhas, makanya rata-rata yang nonton film adalah para mahasiswa. Menonton film bagi mereka adalah aktivitas yang menyenangkan. Makanya, kalau singgah ke bioskop ini, jangan kaget kalau melihat banyaknya rombongan mahasiswa yang hendak menonton. Jangan heran pula ketika melihat mereka yang datang dengan membawa tas kuliah. Itu pemandangan biasa di M-Tos.
Nah, sikap ekspresif para mahasiswa itu mengingatkan saya pada suasana nonton film di kampung saya, di Pulau Buton. Sebelum jauh bercerita tentang bagaimana perbandingan ekspresi para penopntoin bioskop di kampung saya dan di Makassar, izinkan saya bercerita tentang bagaimana suasana menonton film di kampung. Di kampung saya, hanya terdapat dua bioskop yang bernama Bioskop Anda serta Bioskop Wolio Star (belakangan ganti nama jadi Buton Theatre). Bioskopnya tidak terlalu besar. Kira-kira hanya bisa menampung sekitar 300 orang.
Bentuknya seperti kotak. Saat berada di dalam, suasananya panas dan penuh asap. Maklumlah, di bioskop ini tak ada larangan merokok. Siapa saja bisa merokok, berteriak-teriak, atau malah kencing di tempat duduk. Pihak bioskop tak punya satpam yang patroli menyaksikan pengunjung dengan wajah galak. Kursi penonton yang ada di belakang dan depan, nyaris sama tinggi. Makanya, banyak penonton di belakang yang terganggu karena terhalang oleh kepala penonton di depan. Apalagi, saat itu banyak yang mode rambutnya mirip Achmad Albar.
Saat itu, partner nonton saya yang paling setia adalah La Satar. Kami sama-sama pencandu semua film bioskop. Saat La Sattar dihalangi seseorang lebih tinggi yang duduk di depannya, saya melihat ekspresinya yang unik. Ia akan bersungut-sungut atau menggerutu hingga orang yang menhalanginya itu gelisah dan pindah tempat duduk. Strateginya cukup kreatif.
Sewaktu kecil, hampir setiap hari saya nonton film. Bukan karena banyak uang, namun karena saya datang ke bioskop dan melobi seorang pengunjung. Dikarenakan saat itu saya masih kecil, saya melobi supaya saya bisa ikut nonton bersamanya. Aturan di bioskop itu, anak kecil boleh tidak bawa tiket ketika datang bersama ayah atau om. Nah, saya melobi agar diakui sebagai ponakan, dan setelah tiba dalam biskop, saya langsung ngacir ke dalam. Hehehehe....
Film yang paling heboh di kampung saya adalah jenis-jenis film laga yang dibintangi Barry Prima, George Rudi, ataupun jenis film-film musikal seperti yang dibintangi Rhoma Irama. Ketika saya mulai remaja, jenis film yang digandrungi adalah jenis film kungfu yang dibintangi Jet Lee. Sementara film Hollywood justru sama sekali tidak laku. Makanya, bioskop tidak mau memutar jenis film Hollywood. Sewaktu kecil saya fasih menyebut film-film laga nasional atau film kungfu, namun sama sekali bingung ketika disebutkan nama bintang film Hollywood.
Kembali ke soal ekspresi menonton. Hal yang paling saya suka adalah para penontonnya. Saat menonton film Barry Prima, ketika sang aktor muncul di layar, sontak para penonton bertepuk tangan dengan riuh. Bahkan ketika Barry Prima tiba-tiba berkelahi dan mengeluarkan jurus-jurusnya, para penonton langusng histeris dan bersiul nyaring. Teman saya La Satar langsung menjepit bibir bawahnya dan bersiul dengan suara yang paling keras yang bisa dilakukannya. Jika tiba-tiba sang aktor kalah, ia akan ikut kecewa dan sedih. Dan jika Barry Prima balas dendam, La Sattar langsung lompat-lompat kegirangan. Ia memberi semangat ketika Barry Prima sedang berkelahi. Ia tidak peduli bahwa Barry Prima saat itu tidak mendengarnya. Ia juga tidak peduli bahwa yang disaksikannya adalah sebuah film di mana aktor berperilaku sesuai skenario. ”Pokoknya harus disemangati supaya menang,” katanya.
Biasanya, ketika keluar dari bisokop, para penonton merasa puas. Namun jika sad ending, maka semua penonton langsung jengkel. “Sialan, kenapa harus begitu akhirnya,“ kata La Sattar. Saya juga marah-marah.
Puluhan tahun itu berlalu. Kemeriahan nonton bioskop di kampung langsung lenyap ketika film nasional mati suri. Bioskop kampung langsung gulung tikar dan digantikan Studio 21. Kemeriahan yang dulu menyenangkan, kini tinggal cerita.
Semalam, saya serasa kembali ke masa kecil yang girang dan bersorak-sorak. Menonton film di bioskop itu adalah nostalgia yang kembali mendengung di pikiran saya. Masa lalu serasa hadir kembali. Sangat membahagiakan.(*)
2 komentar:
buton theater bernafas ketika sa masih pio-pio...seperti apa yah dia dulu???
Membaca tulisan ini, mengingatkanku pada masa kecilku yang gemar pada film-film dalam negri. Semoga perfilman di dalam negri kembali bergairah
Posting Komentar