Bukan Negara Instant....

(Ini adalah tulisan ES Ito, salah satu novelis yang saya suka. Ia menuliskan ini di blog pribadinya yang beralamat di http://esito.web.id. Saya suka dengan tulisannya. SIlakan menyimak!)


Tuan Presiden kita beriklan. Meminjam jingle mie instan. Negara apakah yang kita angankan? Tentu saja negara karbitan. Visi pembangunan ditentukan oleh reaksi spontan, bukan lagi oleh sebuah gagasan. Kritik dianggap tidak sopan. Kelak demonstrasi akan mudah saja diamankan Keberhasilan pembangunan ditentukan oleh statistik angka-angka yang dipublikasikan. Sementara rakyat tetap saja menjadi korban. Dalam jingle mie instan, presiden kita tampil dengan segala kelebihan, tiada cela tanpa kekurangan. Polesan citra diri lewat iklan menjadikan dirinya seorang megaloman.

Bila citra iklan telah menjadi komandan, maka gagasan hanya akan menjadi sampiran. Pemimpin hanya akan akan memikirkan penampilan ketimbang dampak pembangunan. Fungsi negara mengalami pergeseran, sebab hanya menjadi manifestasi kepentingan. Maka semua masalah kenegaraan pun diserahkan kepada konsultan. Hanya pada saat-saat keberhasilan pemimpin tampil ke depan. Bila keadaan genting, presiden akan ber-akting layaknya bintang opera sabun, tampil dengan wajah tertekan. Simpati didapatkan, masalah tidak terpecahkan. Beginilah nasib negara karbitan. Pada saat gagasan dikalahkan oleh mie instan, kita menjadi negara Indonesia Instan. Semua masalah dipikirkan spontan, diatasi dengan cara-cara juragan. Menekan mereka yang lemah sembari menyelamatkan mereka yang mapan.

Kami tidak butuh pemimpin yang senantiasa tampil menawan. Sementara rakyat bawah terkucilkan. Kami juga tidak perlu mulut yang sopan, bila itu semua digunakan untuk menutupi ketidakjujuran. Kami tidak bangga punya pemimpin jenderal bintang empat, bila dia tidak pernah jadi komandan. Kami malu punya Doktor Pertanian bila untuk mendapatkan pupuk saja petani kelabakan. Kami tidak butuh pemimpin yang mendapatkan penghargaan sebagai tokoh dunia terdepan bila bergandengan tangan dengan rakyat saja dia enggan. Kami benar-benar tidak butuh pemimpin yang dipoles lewat iklan dengan meminjam jingle mie instan sebab negara kami bukanlah negara instan. Negara kami lahir dari sebuah gagasan, dibangun dengan perjuangan dan kami menjaganya lewat angan-angan sebuah kemakmuran. Itu bukanlah sebuah proses yang instan. Berbeda sekali dengan apa yang Tuan lakukan dengan jingle iklan.

Tuan yang beriklan, kami bukan mie instan. Bisa Tuan remas hingga hancur berantakan. Bisa Tuan rendam hingga lemas tidak berkekuatan. Kami adalah rakyat kebanyakan. Tetapi kami belajar dari mereka yang jadi korban iklan. Cukup sudah semua polesan, rasa bosan akan menghentikan. Dan kami sekarang sudah bosan. Kami butuh pemimpin yang satu kata, satu perbuatan. Kami tidak butuh pemimpin yang gila penghargaan tetapi miskin teladan. Kami akan meninggalkan pemimpin yang mengandalkan konsultan dan bukan menjaga kepercayaan. Karena kami sadar bahwa kami yang menentukan, maka jangan harap Tuan bisa mengubah Indonesia menjadi negara Instan.


0 komentar:

Posting Komentar