Buku dan Keping-Keping Inspirasi

BUKU adalah harta karun yang amat berharga. Melalui buku, kita bisa berkelana jauh hingga mencapai tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi. Meskipun secara fisik kita hanya diam di satu tempat, namun buku memungkinkan kita untuk berjalan jauh bahkan terbang tinggi untuk mencapai tempat-tempat tersebut. Buku ibarat kendaraan canggih yang sanggup melintasi waktu. Makanya, melalui buku, kita bisa terlempar ke masa lalu, atau malah tersesat ke masa depan.

Sudah dua minggu ini, saya rajin membeli buku. Mulai dari novel Next (karya Michael Crichton), Gideon the Purpuse (Linda B Archer), Bergaya di Kota Konflik: Melacak Akar Konflik Ambon Melalui Gaya Anak Muda (Hatib Abdul Kadir), Sejarah Dunia dalam 10 Bab (Julian Barnes), Menerbitkan Buku Itu Gampang (Jonru), hingga Handbook of Qualitative Research (Norman K Denzin & Yvonna S Lincoln). Jika ditotal harga yang saya bayar untuk semua buku itu cukup mahal, namun tidak dari sisi kehausan membaca. Saya paham bahwa mungkin saja semua buku itu tidak tuntas dihabiskan dalam waktu sebulan, namun setidaknya saya bisa membacanya kapanpun saya inginkan.

Setiap kali mengunjungi toko buku, ada hasrat yang sukar saya kendalikan. Andaikan saya punya duit sebanyak Bill Gates, mungkin akan saya borong semua buku itu. Mungkin akan saya bangun perpustakaan besar dalam rumah yang koleksinya setara dengan perpustakaan di Vatikan City (sebagaimana digambarkan dalam Angel and Demons karya Dan Brown). Saya membayangkan bahwa ketika saya penat, maka saya akan berwisata secara intelektual dengan cara menenggelamkan diri dalam perpustakaan itu, membaca buku semalam suntuk, atau sekedar melihat-lihat koleksi buku yang bejibun.

Namun, tiba-tiba saja saya sadar bahwa persoalan paling penting bukan terletak pada seberapa banyak buku yang dibeli. Ngapain punya banyak buku, namun tak ada satupun kesan yang tergores di pikiran kita sebagai tanda bahwa kita pernah membaca buku tersebut. Barangkali, persoalan yang paling penting bukanlah terletak pada seberapa banyak buku yang kita miliki, namun pada seberapa banyak buku yang bisa dibaca dan memberikan inspirasi.

Batasan menginspirasi ini agak rumit untuk dirumuskan. Saya melihatnya secara sederhana. Sebuah buku bisa menginspirasi ketika meninggalkan banyak kesan dalam benak kita. Ada banyak hal yang mengiang-ngiang dalam benak kita usai membacanya. Mungkin rasa sedih, atau rasa gamang, atau malah empati pada tokoh yang ada di buku itu. Ketika membaca suatu buku dan tiba-tiba saja ada banyak kesan yang menggumpal serta hikmah yang membasahi kesadaran kita, maka saya menganggap buku itu berhasil menginspirasi. Buku itu berhasil menghanyutkan kita pada alur yang sengaja disusun sang pengarang, dan selanjutnya kita terkejut karena tiba-tiba saja serasa berada dalam dunia yang digambarkan buku itu.

Namun inspirasi bukanlah sesuatu yang instant sebagaimana muncul dalam jenis-jenis buku yang bergenre how to. Saya tidak suka dengan sesuatu yang instant seperti itu. Saya ingin menemukan inspirasi itu dalam satu setting cerita atau konteks-konteks tertentu yang kemudian menjadi ujian bagi pengambilan keputusan. Saya ingin menemukan inspirasi dari satu konteks pergulatan manusia melawan nasib atau takdir. Terkadang manusia menjadi jahat disebabkan situasi tidak adil yang mengepungnya sebagaimana yang pernah dirasakan Dr Hannibal Lecter dalam kisah Hannibal. Namun, betapa luar biasanya mereka yang berhasil keluar dari beragam masalah berat, dengan cara yang elegan. Saya mengagumi mereka-mereka yang sanggup keluar dari masalah dengan hati yang benderang sehingga membimbing yang lain untuk menuju ke jalan terang.

Saya kira, inspirasi seperti itu tak banyak ditemukan dalam buku bergenre how to. Kadang-kadang buku sejenis itu terlalu menyederhanakan persoalan yang rumit. Mungkin, kita memang berada pada suatu zaman di mana segala sesuatu dilihat secara instant, makanya kita jarang menemukan kedalaman di situ. Mungkin saja kelak, ketika kita hendak kencing, kita harus mencari dulu buku how to tentang cara kencing yang baik dan benar. Kalau saya sih, akan bersikap praktis saja. Kencing saja di pohon. Gampang khan?


0 komentar:

Posting Komentar