Kasih yang Tak Pernah Kering


DUA hari lagi mama akan tiba di Makassar. Betapa senangnya hati ini karena bisa kembali bersama-sama dengan mama yang kian sakit-sakitan. Saya senang karena bisa kembali bersama mama yang melahirkan dan membesarkan. Saya bahagia karena inilah kesempatan emas untuk kembali membahagiakannya, mencarikan makanan kesukaannya, mengantarnya ke tempat-tempat yang disukainya. Membelikannya bubur ayam, menu favoritnya.

Setiap mengingat mama, terasa ada genangan air di kelopak mata ini. Saya bisa merasakan bagaimana kasih yang menggedor-gedor dada ini. Andaikan saya bisa menggendongnya, saya ingin melakukannya. Saya ingin melindungi mama dari semua bahaya dan bencana. Saya ingin membalas semua kebajikan yang ditanamnya pada diri ini. Saya ingin mengganti butiran cinta yang dialirkan dalam darah, kemudian menyelusup ke sela-sela nadi hingga seluruh tubuh. Saya benar-benar tak sanggup menggambarkan bagaimana kasihnya. Sewaktu kecil, saya selalu teringat kata-katanya.”Yus, andaikan saya ini seperti ikan yang bisa melindungi anaknya dengan cara menelan, maka itu sudah lama saya lakukan. Saya ingin melindungi kamu dalam mulutku. Saya ingin kamu aman dari semua bahaya,” katanya.

Seorang mama adalah kisah tentang kasih yang menghampar luas dan tak bertepi. Seorang mama bukan sekedar sosok yang memberi jiwa, memberi napas, dan memberikan nyawa, melainkan sosok yang menjadi malaikat penjaga sekaligus matahari yang menuntun ke mana saya ingin bergerak. Ia tak hanya menghalau hantu-hantu di masa kecil, namun menumbuhkan sikap dan karakter saya untuk teguh mendayung di bahtera kehidupan. Ia adalah semesta yang melingkupi, satu jagad raya yang melingkupi ke manapun saya bergerak. Saya hanyalah satelit yang belajar cinta darinya. Seorang mama adalah dunia dan dimensi tempat saya tumbuh, menghirup oksigen, dan belajar melangkahkan kaki, hingga memandang dunia.

Betapa terkutuknya saya ketika mengabaikan seseorang yang terbangun di malam hari ketika saya menangis karena lapar. Betapa bangsatnya saya ketika mengabaikan seseorang yang memberi saya selimut satu-satunya ketika saya sedang kedinginan sewaktu bayi. Seseorang yang memompa semangat saya untuk melangkah menuju masa depan tanpa rasa takut. Seseorang yang datang memeluk ketika saya ketakutan di malam hari. Seseorang yang ikut menangis tersedu-sedu ketika saya sakit. Seseorang yang jika seluruh lautan dijadikan tinta untuk menulis kebajikannya, maka lautan akan mengering dan masih tetap belum bisa menggambarkan dahsyat cintanya.

Seorang mama adalah api yang membakar semua ketakutanku. Seorang mama adalah embun yang menghangatkan dahaga dalam gersangnya padang pencarian akan setetes cinta. Ia adalah kata pertama di cakrawala pengetahuan yang mengajarkan tentang aksara hidup. Ia membesarkan, namun tak pernah menuntut balas atas apa yang sudah diberikannya.

Saya memang sudah beranjak dewasa. Mestinya inilah saat bagi saya untuk melindunginya dari segala bahaya. Mungkin inilah saat yang tepat bagi saya untuk menggantikan semua tugas-tugas mulianya sebagaimana getar pernah saya dengar dalam syair lagu Buton, “Kugora kumaoge.. bolosi kangulena... palapasi dosaku.. pekangkilo karoku...“ Artinya: “Semoga saya besar ... untuk mengganti lelahnya.... melepas semua dosaku.... membersihkan ragaku…”


Jumat, 19 Juni 2009



0 komentar:

Posting Komentar