Terminator Salvation: Narasi tentang Masa Depan Umat Manusia


FILM Terminators Salvation memotret bagaimana masa depan bumi pada tahun 2018. Era pertempuran antar manusia sudah tamat. Yang ada adalah pertempuran antara manusia dan ciptaannya sendiri yaitu mesin. Bagi saya, sebenarnya film ini menyandang misi filosofis yaitu diskursus tentang masa depan umat manusia serta teknologi yang secara perlahan tidak lagi dikendalikan manusia, namun seakan hidup sebab punya kehendak atau naluri. Dan secara perlahan, teknologi –dalam hal ini mesin semacam robot-- mulai berebut ruang dengan manusia.

Tema sejenis sudah menjadi kekhawatiran para ilmuwan sosial sejak tahun 1960-an, sebuah era di mana peperangan besar antar umat manusia sedang membuncah. Kata Thomas Hobbes, manusia punya sifat seperti srigala yaitu saling memangsa dengan sesamanya. Namun sejak perkembangan teknologi, manusia menubuatkan ramalan bahwa kelak di masa datang, manusia akan kembali bersatu dan menghadapi musuh yang sama yaitu ciptaannya sendiri.

Tampaknya, ramalan itu digambarkan secara apik dalam film yang agak pesimis ini. Masa depan manusia adalah sesuatu yang suram dan mengenaskan. Kota-kota hancur akibat perang nulir. Tak ada tumbuhan hijau. Yang ada adalah padang tandus dan kering serta sungai-sungai yang penuh polusi bahan radioaktif. Manusia bersembunyi di barak-barak sebab semua kota dikendalikan para robot –yang digambarkan seperti tengkorak mesin. Kemudian sisa-sisa manusia yang masih hidup, selanjutnya merencanakan misi pemberontakan untuk menegakkan supremasi manusia atas alam.

Saya melihat film ini sebagai film yang sebenarnya mengajak semua orang untuk mendiskusikan bagaimana masa depan kita kelak. Apakah manusia akan tetap mengendalikan teknologi, ataukah teknologi yang kelak akan mengendalikan manusia? Mungkin kita bisa berdalil bahwa teknologi ibarat tombol atau kenop yang tetap membutuhkan manusia untuk menekan kenop tersebut.

Namun, jika diamati peta realitas sosial hari ini, maka cara berpikir manusia pun sudah sedemikian kuat dirasuki teknologi. Kita seolah hanya meyakini kebenaran sebagai sesuatu yang dipancarkan melalui teknologi. Maka teknologi seolah mengendalikan kebenaran, mengendalikan isi kepala kita, dan mempengaruhi cara berpikir kita sendiri. Manusia menjadi layaknya mesin pencari uang yang hasratnya dikendalikan oleh keserakahan dan pemujaan diri secara berlebihan (narsis).

Kekhawatiran tentang masa depan yang suram ini sudah dikumandangan oleh para ilmuwan kita sejak tahun 1960-an. Sejak munculnya para teoritisi dari Mazhab Frankfurt --yang juga dikenal sebagai aliran kritis—maka isu tentang teknologi sudah mulai dikumandangkan. Sejumlah pemikir seperti Max Horkheimer, Theodore Adorno, hingga Herbert Marcuse menulis banyak risalah tentang masa depan manusia yang kian menceam akibat serbuan teknologi. Kekhawatiran mereka berpangkal pada satu hal yaitu cara berpikir manusia menjadi sedemikian mekanis ala teknologi. Manusia kehilangan kehangatan yang lahir dari beragam hubungan-hubungan sosial dan manusiawi disebabkan nalar bahwa segala sesuatu harus diputuskan secara rasional.

Ketika Horkheimer dan Adorno menulis tentang Dialectics of Enligthment, maka kekhawatiran pada rasionalitas teknologis itu sudah mencuat. Dmikian pula ketika Herbert Marcuse menulis tentang One Dimensional Man. Kata mereka, perkembangan teknologi membuat manusia berpikir secara mekanis ala teknologi. Cara berpikir demikian adalah cara berpikir yang sifatnya satu dimensi. Manusia seolah menjadi mesin dan tunduk pada rasionalitas teknologi.

Meski film ini banyak menyisipkan adegan peperangan, namun tema besar yang saya yakin sedang diusung adalah pertanyaan tentang bagaimana masa depan umat manusia. Sanggupkah kita mewariskan bumi ini secara utuh kepada anak cucu kelak? Ataukah bumi ini hanya diwariskan sebagaimana layaknya onggokan sampah dan puing-puing akibat benturan kita dengan mesin ciptaan sendiri. Saya kira, itulah misi yang hendak disampaikan dalam film.(*)


Sabtu, 6 Juni 2009



0 komentar:

Posting Komentar