Perkenalan dengan Sastra dan Sejarah

HARI ini adalah hari yang cukup melelahkan. Sejak pagi sudah ke Pusat Kajian Penelitian (PKP) Unhas dan memimpin rapat tentang Festival Seni Tradisi. Aneh, saya tak punya pengalaman mengkoordinir sebuah pagelaran seni. Tiba-tiba saja ditunjuk jadi ketua panitia. Saya tak mampu menolak. Terpaksa, saya harus belajar mengkoordinir sebuah pementasan. Lagian, waktunya masih lama, Oktober nanti.

Saya ingin berbicara tentang seni dan sastra. Sejak kecil, orang tua tidak memperkenalkan dengan hal-hal yang berbau seni. Mungkin karena orang tua juga tidak berbakat seni, makanya hal itu diwariskan pada anaknya. Konsep kesenian yang saya pahami hanya menyanyi lepas di kamar mandi. Tanpa instrumen. Sekedar berteriak dengan nada yang tidak beraturan. Makanya, saya tumbuh sebagai generasi dengan apresiasi seni yang rendah.

Sewaktu masih di Sekolah Dasar (SD), ada rasa suka pada hal-hal yang menyangkut kata-kata indah. Saya mulai menyukai kegiatan baca puisi atau syair. Apalagi, beberapa buku pelajaran bahasa Indonesia di SD juga memuat beberapa petikan puisi, novel ataupun peribahasa. Sesekali, saya menggunakan kalimat-kalimat indah itu dalam surat yang dikirimkan kepada gadis-gadis. Sayangnya, surat itu tidak berbalas. Saya berprasangka positif: gadis-gadis itu cukup bodoh. Mereka tidak berselera sastra. Padahal, boleh jadi sang gadis yang tidak berselera. Hehehehe….

Saya juga cukup beruntung karena bapak adalah guru sejarah di SMA. Ia banyak menyimpan buku yang di dalamnya penuh dengan cerita rakyat bernuansa sejarah. Semua buku itu saya lahap dengan penuh keasyikan. Makanya, sejak kecil saya sudah cukup hafal bagaimana kerajaan-kerajaan besar di Jawa. Bagaimana kronik Kerajaan Gowa serta posisi Raja Bone Arung Palakka. Malah, bapak juga menceritakan perang dunia ke-2 dengan gaya yang hingga kini tak bisa saya lupakan. Serasa melihat langsung perang itu, lengkap dengan endingnya yang mencekam ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom di Hiroshima dan Nagasaki.

Jika saya mengingat bacaan itu, rasanya baru kemarin bapak menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa sejarah dan manusia di dalamnya. Bapak adalah pencerita yang hebat. Hingga kini, saya masih terkesima dengan kisah-kisahnya tentang revolusi Perancis. Andaikan saya bertemu dengan bapak hari ini, pastilah akan seru. Saya akan mempertanyakan kembali berbagai fakta sejarah yang dikemukakannya hari ini. Bacaan saya sudah jauh melampauinya, namun saya sangsi, apakah saya semempesona bapak ketika mengisahkan sejarah pada seorang anak kecil? Mungkin tidak. Kharisma itu dibawanya ke liang kubur sejak Maret tahun 1997 lalu. Sebuah peristiwa horor yang sempat menghancurkan semua mimpi-mimpi.

Kembali ke soal seni. Harus saya akui bahwa seni, khususnya sastra, adalah sesuatu yang saya temui melalui tuturan bapak dan melalui buku pelajaran. Saya berkenalan dengan Sitti Nurbaya, Layar Terkembang, hingga Atheis. Saya masih ingat, guru bahasa Indonesia di SMP bernama La Mane Masrul, yang berasal dari Pulau Siompu. Suatu hari, ia menceritakan tentang novel Tenggelamnya Kapal Van Derwick. Yang bikin saya kagum, ia menceritakan kisah itu lewat tutur katanya sendiri, mulai dari awal sampai akhir. Saya terkesima. Bahkan, saya masih ingat kalimat La Mane Masrul yang menceritakan bagaimana kalimat Zainuddin (tokoh utama dalam novel itu) kepada Hayati. “Pantang pisang berjantung dua. Pantang lelaki diberi sisa,“ kata Zainuddin sebagaimana dituturkan La Mane. Saya terkesima. Kata-kata itu saya hapal hingga kini.

Kini, saya harus mengasah kembali bakat di bidang seni. Bukan untuk memainkan seni, namun untuk mengelola pagelaran seni. Saya merasa tidak mampu. Namun jika mengingat kehebatan bapak mengisahkan sastra dan sejarah, saya jadi semangat. Setidaknya, jiwa itu masih mengalir di sini. Dalam darahku!

0 komentar:

Posting Komentar