Merayakan Idealisme, Merayakan Lokalitas

SENANG rasanya menerima email dari teman-teman Respect di Bau-Bau. Beberapa tulisan tentang Buton sudah saya terima. Temanya banyak yang menarik-menarik, mulai dari masalah sarung Buton, sejarah, hingga seni tradisi. Saya mulai optimis dan menatap ke depan bahwa dua buku akan bisa terbit tahun ini. Saya mulai membayangkan, suatu saat singgah jalan-jalan ke toko buku dan menemukan ada buku karya teman-teman Respect di situ. Sungguh, impian yang membuat bahagia.

Sebelumnya, saya agak pesimis. Betapa tidak mudahnya menyusun buku yang isinya adalah kumpulan tulisan di mana para penulis harus dihubungi lebih dulu dan diberi waktu mempersiapkan tulisan. Ini Buton Bung!! Bukannya Jakarta atau Makassar yang para penulisnya akan sangat senang ketika dimintai tulisan. Kalau di Buton, kita butuh waktu untuk meyakinkan orang-orang bahwa menulis itu sangat penting dan sebuah tulisan akan mengabadikan sebuah gagasan. Untuk meyakinkan itu, butuh proses yang bisa panjang dan malah bisa menjemukan bagi mereka yang tidak sabaran.

Mungkin, ada saja teman yang berkomentar bahwa mengapa harus menyiapkan buku yang isinya adalah bunga rampai? Kenapa tidak menyiapkan sebuah buku utuh yang ditulis satu orang? Pastilah prosesnya akan lebih singkat dan tidak perlu menunggu seperti ini. Sebenarnya, saya dan kawan-kawan Respect merasa sanggup menerbitkan buku seperti itu. Kami punya banyak stok naskah. Namun, kami ingin memberikan ruang yang cukup luas untuk partisipasi banyak orang. Kami ingin menyediakan panggung agar banyak orang yang ikut terlibat dalam pembuatan buku, sekaligus mempublikasikan tulisan mereka. Aspek yang kami tekankan adalah partisipasi yang luas sehingga buku ini bisa menghadirkan kebanggaan bagi banyak orang.

Kami menawarkan sebuah ruang gagasan, dan memberikan kesempatan bagi banyak kalangan, tidak cuma mereka yang dari perguruan tinggi saja. Bahkan seorang imam masjid, budayawan lokal, hingga sejarawan lokal --yang tidak pernah mengenyam bangku akademis-- tetap menempati posisi yang sama dalam buku itu. Bagi saya dan teman-teman, cara berpikir dikotomis yang membedakan antara orang akademis dan bukan akademis adalah sebentuk keangkuhan intelektual. Cara berpikir itu adalah cara berpikir yang picik dan angkuh. Pengetahuan adalah sesuatu yang sebagaimana udara, bisa ditemukan di mana-mana. Mereka yang mengasah kepekaan dan membuka wawasan serta hati akan menerima limpahan pengetahuan yang lebih kaya daripada yang lain. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang hanya didapat di bangku sekolah, namun merupakan sesuatu yang dikumpulkan sepanjang perjalanan mengarungi bahtera kehidupan.

Untuk itu, kami memberikan penghormatan kepada sejumlah orang tua di daerah yang memiliki kearifan pengetahuan itu, meskipun tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Mereka belajar dari rumah besar bernama semesta, mereguk kearifan di sepanjang perjalanan kehidupan, dan betapa hebatnya mereka-mereka ketika bersedia menuliskan pengetahuan itu untuk generasi mendatang. Saya paham kalau tulisan mereka kadang tidak runtut atau tidak metodologis. Justru tanggung jawab kami untuk membantu mereka untuk memberikan masukan agar tulisan itu bisa enak dibaca banyak orang dari berbagai kalangan. Di sini, akan terjadi dialog yang sangat positif antara kami dan orang-orang tua itu. Kami belajar kearifan dari mereka, dan sebaliknya mereka belajar metodologi dari kami. Prosesnya timbal balik dan akan saling memperkaya.

Hal lain yang menjadi misi idealis kami adalah kami hendak merayakan indahnya lokalitas. Kami ingin melihat dunia dengan cara pandang lokal. Terlampau sering orang-orang Buton ditafsirkan dengan cara pandang luar. Mungkin inilah saatnya kami menatap dunia dengan cara kami sendiri dan sesekali memaksa orang lain untuk melihat dunia dengan cara kami.

Saya kira itu saja. Semoga saja, terbitnya dua buku tahun ini bisa memotivasi teman-teman untuk kembali bekerja keras dan menyiapkan buku pada tahun-tahun berikutnya. Selamat buat semua teman-teman.(*)


0 komentar:

Posting Komentar