Musibah dan Kemanusiaan kita

ADA lagi perwira yang mati. Tadi aku mendengar berita duka tentang helikopter yang jatuh. Bukan karena diterjang peluru atau terkena ranjau darat. Bukan karena menyatroni sarang musuh. Bukan pula karena berkelahi secara gagah berani di medan laga hingga titik darah penghabisan. Para perwira itu tewas karena naik helikopter yang sudah tua dan karatan.

Belum usia insiden jatuhnya pesawat Hercules, kini kembali helikopter yang jatuh. Sebagai anak bangsa, kita sudah terbiasa dengan kejutan-kejutan seperti ini. Rentetan musibah tidak lagi mengejutkan. Menjadi hal yang biasa-biasa saja dalam keseharian kita. Ketika kecelakaan terjadi dan korban berguguran, mungkin kita sudah tergetar lagi. Kita sudah kebal dan menjelma sekeras batu. Tidak lagi tersentuh dengan tragedi kemanusiaan.

Hari ini, seorang kawanku mengabarkan berita duka itu. Aku melihat ekspresinya yang datar-datar saja, seolah berita biasa. Temanku itu, hanya berkomentar pendek, “Korbannya nggak banyak.” Busyet….!!! Masak, jumlah korban harus dilihat dengan cara hitungan-hitungan seperti itu. Apakah jumlah dua korban itu terlampau sedikit untuk menakar betapa sedihnya keluarga yang ditinggalkan? Jika bicara sedih dan nestapa, maka jumlah dua, tiga, atau malah seribu orang sekalipun akan sama saja. Kadar kesedihannya sama saja. Bagi keluarga yang ditinggalkan, kesedihannya tak bisa ditakar dengan hitungan computer manapun. Makanya, empati pada korban sangatlah penting buat kita sebagai sesama anak bangsa, tanpa melihat berapa jumlah korban.

Pertanyaannya adalah mengapa selalu saja ada pesawat yang jatuh di negeri ini? Dan mengapa pula korbannya adalah mereka yang pangkatnya tidak terlalu tinggi? Mungkin karena pesawat tua itu tidak untuk ditumpangi para jenderal. Pesawat tua itu hanya untuk para prajurit bawahan yang siap-siap saja ketika diberi perintah naik pesawat. Sementara mereka yang berpangkat tinggi, justru mengendarai generasi terbaru dan tercanggih dari pesawat milik negara. Yah, apa boleh buat.




0 komentar:

Posting Komentar