Perempuan yang Pergi Sesaat


HARI ini, perempuan itu akan meninggalkan Makassar. Ada raung yang tertahan di batu karang hati ini. Ada sedih yang tak bisa dilepas ke udara. Ada banyak suara yang tak terucap. Mungkin hari ini adalah hari yang berat untuk kulalui. Namun, apa daya. Tarikan mimpi, idealisme serta keinginan untuk bergerak ke depan jauh lebih kuat menariknya ke kota lain, kota yang jauh dari jangkauanku.

Aku berharap banyak. Pada suatu kepulangan nanti, perempuan itu tak pernah lupa dengan ikrar yang pernah kami dengungkan pada suatu saat, ketika sama-sama membuat pahatan ingatan di satu mal. Aku hanya bisa menitipkan harapan sebagaimana yang pernah kuucapkan pada seorang gadis yang belum mandi di suatu pagi. Pada seorang dara yang selalu merengek dan minta dimanjakan.

“Bukankah ini hanya sementara?” katanya. Ya benar. Ini hanya sesaat. Namun pernahkah ia sadar bahwa sesaat baginya adalah bertahun-tahun bagiku. Sesaat baginya adalah ibarat kemarau panjang yang menggersangkan semua padang hatiku, mengeringkan seluruh mata air dan sungai kebehagiaanku. Sesaat baginya adalah limit waktu yang tak bisa ditakar dengan detik demi detik serta batasan waktu yang dirumuskan para fisikawan.

Kami memang harus terus berjalan. Mungkin setelah ini, aku harus kembali memulai hari, titik nol dari rentang panjang ambisi dan rencanaku. Sebagaimana dirinya, akupun harus bergerak menuju matahari. Mungkin, hal yang tidak boleh kulalaikan adalah menyiapkan segala hal yang dibutuhkan untuk kelak sama-sama berperahu di samudera kkehidupan. Bekal yang kelak akan memadamkan haus, mengatasi lapar, mengisi tabung oksigen keceriaan kami. Pada suatu masa kelak..... Sebuah masa yang –semoga—tak lama lagi. Semoga Yang Kuasa membukakan pintu langit untuk beribu mantra yang kami rapalkan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar