BULAN ini layak kunobatkan sebagai bulan buku buatku. Betapa tidak, volume belanja buku bulan ini sungguh banyak jika dibandingkan biasanya. Setelah minggu lalu membeli buku, kemarin lagi-lagi aku membeli dua buku. Kali ini, dua buku motivasi yang kuharapkan bisa melecut semangat untuk tetap membaca dan menulis. Kedua buku itu adalah Ngeblog dengan Hati (Ndoro Kakung), dan Simfoni dalam Diri (Gede Prama).
Aku tak paham, kekuatan apa yang menggerakkanku untuk membeli buku tentang motivasi. Mungkin aku butuh sesuatu yang beda. Aku butuh suntikan motivasi untuk menantang samudera hidup. Mungkin pula, aku sedang ingin berkarib dengan sepi, menyelam ke dalam lubuk hati demi menemukan air jernih dan membasuh diriku. Entahlah.
Buku karya Ndoro Kakung adalah buku pertama yang kubeli tentang blog. Dari sekian banyak blogger yang berseliweran di dunia maya, Ndoro Kakung adalah blogger yang istimewa buatku. Tulisannya singkat, namun pernuh makna. Ia menulis dengan passion dan empati yang dahsyat terhadap sesuatu. Mungkin karena latar belakangnya sebagai jurnalis, memungkinkannya untuk selalu melihat sesuatu dengan mata hati. Dalam pandanganku, seorang jurnalis adalah penyaksi yang setiap hari mengamati lalu-lintas peristiwa. Seorang jurnalis adalah seseorang yang menautkan setiap kepingan peristiwa kemudian mengolahnya menjadi makna. Itulah kekuatan Ndoro Kakung.
Sayangnya, buku ini tidak seperti ekspektasiku. Isinya lebih banyak kiat tentang bagaimana menghasilkan tulisan-tulisan yang bermakna di blog. Padahal, aku mengharapkan sesuatu yang lebih. Aku berharap ada kisah-kisah di balik setiap kejadian. Aku berharap ada inside story atau kisah-kisah behind the scene yang hanya bisa diketahui oleh para jurnalis senior. Mereka bisa membantu kita untuk mengetahui duduk perkara sesuatu secara jelas sekaligus menjadikan sesuatu peristiwa sebagai cermin untuk diambil hikmahnya buat kita semua.
Namun, aku tetap harus salut pada kepiawaiannya memotivasi orang untuk tetap menulis di blog. Ada kalimatnya yang menyentuh. “..... Mengisi blog bukan seperti ikut lomba lari jarak pendek; melejit begitu bendera start dikibaskan untuk berhenti segera dalam tempo singkat. Mengelola blog itu ibarat lari maraton, mungkin lebih jauh lagi. Begitu mulai, kita tak perlu bergegas. Atur kecepatan dan napas, juga irama. Perjalanan begitu panjang. Kita tak perlu buru-buru berhenti...“
Lain lagi dengan buku karya Gede Prama. Aku agak terlambat mengenal penulis ini. Sebelumnya, aku mengidolakan Emha Ainun Nadjib. Namun karena karya Emha sudah jarang, aku lalu berpaling ke sejumlah penulis dengan visi kuat. Nah, saat inilah aku menemukan Gede Prama. Kalau tulisan Emha punya emosi yang kuat serta keberanian menyingkap sesuatu yang tampak, maka Gede Prama seolah mengajak kita memasuki keheningan dan melihat sesuatu dengan mata lebih tajam. Tulisan Gede Prama menggugah dan usai membacanya, kita seolah bahagia karena telah menemukan makna. Jika Emha menghentak dan mengejutkan, maka Gede Prama lebih kontemplatif dan mengasah kalbu kita. Sisi inilah yang kutemukan dalam tulisan-tulisan Gede Prama.
Aku masih ingin berkisah banyak. Namun biarkanlah aku menyelami dulu buku Gede Prama hingga tuntas. Semoga ada kearifan yang bisa direguk di situ. Semoga kearifan itu mengalir masuk dalam semua nadi, menjelma dalam darah, dan menelusuri semua tubuhku hingga ke sum-sum terjauh.(*)
0 komentar:
Posting Komentar