Mengalir Seperti Pramoedya

MENGUNJUNGI Toko Buku Gramedia Makassar, terasa ada yang berubah. Lay out-nya berubah 180 derajat dengan kali terakhir mengunjungi toko ini. Toko ini telah direnovasi sedemikian rupa sehingga lebih nyaman dan koleksinya juga semakin banyak. Saat singgah ke koleksi ilmu-ilmu sosial, saya tak melihat satupun buku yang baru.

Mungkinkah publikasi ilmu sosial di Tanah Air sangat langka sehingga kita jarang menemukan buku baru yang bagus? Mungkinkah para ilmuwan sosial kita sedemikian pengecut untuk menunjukkan pada orang lain sejauh mana pencapaiannya di dunia akademik? Mungkinkah mereka takut kalau orang-orang akan menilai bahwa kemampuan mereka hanya sebatas itu? Bahwa pada dasarnya mereka biasa-biasa saja, cuma merasa hebat karena suka mengutip ahli-ahli asing serta sederet gelar akademik yang mentereng di namanya. Rasanya aneh membayangkan fakta ada ribuan alumnus perguruan tinggi bergengsi, namun tak banyak lahir karya-karya baru ilmu sosial.

Selanjutnya saya singgah ke koleksi novel. Saya tercengang melihat banyaknya novel baru. Ternyata para penulis novel jauh lebih produktif dibanding para ilmuwan sosial kita. Mereka banyak melahirkan karya-karya baru yang bagus-bagus dari berbagai genre. Sempat berlama-lama di situ, saya menemukan begitu banyak novel baru yang bagus-bagus. Mulai dari dua novel terbaru dari Michael Crichton yaitu State of Fear dan Next. Saya tertarik dengan dua novel itu. Jika state of fear berkisah tentang bencana alam sebagai wacana yang dikreasi oleh manusia, maka Next berkisah tentang bagaimana rekayasa genetika di abad ke-21 menjadi bencana baru bagi peradaban manusia. Saya penggemar semua novel Crichton seperti Sphere, Congo, Timeline, hingga Jurrasic Park. Saya ingin memiliki dua novel baru itu, namun tiba-tiba saja niat itu jadi urung.

Selain novel Crichton, ada lagi novel yang bikin saya kepincut. Saya lupa apa judulnya. Tapi berisikan tentang petualangan seorang penjelajah waktu. Saat melihat kemasannya, saya sangat tertarik. Keduanya sudah saya pegang dan hendak beli, tiba-tiba saya singgah ke koleksi sastra dan melihat novel Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan ulang. Saya melihat ada novel Arok Dedes. Saat itu juga, saya simpan novel tentang penjelajah waktu itu, kemudian menggantikannya dengan novel karya Pramoedya.

Harga novel ini cukup mahal yaitu Rp 95.000. Tapi saya tak peduli dengan harganya. Sejak dulu, ada dua novel Pramoedya yang ingin saya miliki dan koleksi yaitu Arok Dedes dan Arus Balik. Saya memang pernah memiliki Arok Dedes pada tahun 1998. Saya begitu menyenanginya. Baru sekali baca, teman Nunung meminjam novel itu. Katanya, ia juga penggemar Pramoedya. Lama meminjam, ia tak juga mengembalikannya. Setiap kali diminta, Nunung selalu berdalih. Hingga suatu hari, ia memberitahu informasi yang bikin saya jengkel. “Yus, saya tidak tahu apa yang terjadi. Tapi buku Arok Dedes yang saya pinjam, tidak ada di kamar. Mungkin ada yang curi buku itu,” katanya. Saya langsung jengkel, namun tak bisa berkata apa-apa. Saya kesal karena sebuah karya yang saya sayangi dan sukai kalimat-kalimatnya, tiba-tiba lenyap dan hanya diganti dengan permaafan singkat seperti itu. Seolah-olah tak ada empati sama sekali. Saya jengkel berat, namun tak bisa berbuat apa-apa selain merutuki.

Kini, novel Arok Dedes itu sudah saya miliki. Jika sebelumnya novel ini diterbitkan oleh Hasta Mitra, kali ini diterbitkan oleh Lentera Dipantara. Bukunya lebih ringan dan tidak terlalu tebal karena huruf-hurufnya jadi lebih kecil. Desainnya juga lebih cantik dibanding sebelumnya. Novel ini bergambarkan pemuda berpakaian ala Jawa kuno dan mengacungkan sebilah keris. Mungkin ini adalah gambar Ken Arok sebagai tokoh utama dalam novel itu. Target saya, novel ini harus tuntas dibaca selama beberapa hari ini.

Bagi saya, Pramoedya adalah maestro besar yang tak ada bandingannya. Karya-karyanya tak lekang oleh waktu dan menjadi puncak tertinggi dari pencapaian orang Indonesia di dunia sastra. Saya paling suka dengan kalimat-kalimatnya yang mengalir, bernas dan menyentuh. Saya tak habis pikir tentang apa yang ada di pikirannya ketika menyusun kalimat-kalimat yang demikian memukau. Membaca karyanya, kita seolah tidak sedang membaca novel, namun kita terlontar memasuki suatu dunia baru yang diciptakannya. Suatu kosmos di mana di dalamnya ada kisah orang-orang yang bergulat dengan waktu. Jika dalam Bumi Manusia ia mengajak kita memasuki suasana ketika Indonesia tengah diperjuangkan, maka dalam Arok Dedes, Pramoedya seolah menyeret kita ke dalam suasana Jawa kuno, pada masa ketika intrik pertama kali dihelat di panggung sejarah.

Ia memang bukan sekedar pengarang. Ia seorang penyihir yang memaksa kita untuk berlama-lama membaca karyanya, tanpa kenal rasa bosan. Ia seperti penyihir Albus Dumbledore yang membawa kita masuk ke dalam pensieve ingatannya dan kita tiba-tiba saja melihat sebuah dunia yang hidup dan berdenyut. Saya teringat kata-kata Ignas Kleden saat kuliah di Depok. “Yus,... kehebatan Pram adalah dia bisa menjelaskan modes of production dari suatu zaman. Makanya, kita bisa paham apa kekuatan-kekuatan produksi yang menggerakkan zaman itu,” katanya.

Sayang sekali, Pramoedya sudah tak bisa ditemui lagi. Salah satu obsesi saya yang rasanya sudah tak mungkin tergapai adalah bisa ngobrol dan minum teh pada suatu sore dengan Pramoedya. Sayang, sastrawan besar itu sudah terbaring di bawah sebuah pohon kamboja di Pekuburan Karet, Jakarta. Kata seorang teman, ia terbaring tak jauh dari peristirahatan terakhir Chairil Anwar, sastrawan besar di negeri ini. Bagi saya, mereka sesungguhnya tak pernah mati. Pramoedya terus abadi di sini. Di hatiku.(*)


1 komentar:

maria mengatakan...

i like the blog and the images

Posting Komentar