BARUSAN saya diskusi dengan seorang teman mahasiswa. Kami bercerita tentang gay. Tiba-tiba saja, dia menampakkan raut wajah yang bernada ketidaksukaan. Ia benci dengan gay. Mengapa? "Sebab gay sering menjadikan sesama laki-laki sebagai korbannya," katanya. Lantas, berapa kali gay pernah menjadikan kamu sebagai korban? "Belum pernah. Tapi saya pernah dengar," lanjutnya.
Saya tak puas dan terus bertanya agar ia mengungkapkan pengalamannya. Ternyata, ia hanya mendengar cerita-cerita dari orang-orang tentang gay yang katanya suka "mencari mangsa". Yang bikin saya heran adalah ia tidak mampu menyodorkan bukti apakah itu benar terjadi ataukah rekaan saja. Lagian, kalaupun ada gay yang mencari mangsa, ngapain pula satu kenyataan itu harus digeneralisasi sedemikian rupa seolah-olah semua gay demikian.
Sama halnya dengan manusia --yang katanya-- normal. Setiap hari banyak juga yang berbuat jahat, namun apakah kita akan menggeneralisasi bahwa semua manusia itu jahat? Tidak khan. Begitu banyak penjara yang pernah dirikan dan diisi dengan mereka-mereka yang normal. Kita tak juga menggeneralisasi bahwa semua manusia itu jahat. Lantas, kenapa pula hanya karena seorang gay berbuat jahat, kita kemudian menggeneralisasi bahwa semua gay demikian? Bukankah itu tidak adil bagi para gay?
Saya menatap kawan ini dengan terheran-heran. Di zaman milenium speerti ini, masih saja banyak orang yang memenjarakan stigma dan stereotype dalam pikirannya. Stigma dan stereotype adalah cara berpikir yang memandang orang lain dengan cara yang tidak adil. Ada konsep tentang diri yang normal, kemudian melihat orang lain sebagai tidak normal. Apa sih defenisi normal dan tidak normal? Susahnya adalah pandangan demikian lalu dipelihara dalam benak kita seolah menyatu menjadi karakter. Dalam konteks dialog dengan teman ini, saya menemukan stigma itu terhadap kaum gay.
Kita memang kadang tak siap dengan perbedaan. Seyogyanya, kita tak boleh menyalahkan siapapun hanya karena berbeda dengan kita. Ngapain pula memandang para gay itu dengan aneh? Bukankah itu adalah pilihannya atau boleh jadi sang gay berada pada satu situasi di mana ia tak punya pilihan?
Percakapan dengan teman ini menjadi satu puncak dari gunung es dunia sosial kita. Banyak orang yang memandang sesuatu hanya dengan cara pandangnya, tanpa mau bersifat terbuka kepada sesuatu yang berbeda dari dirinya. Kita kerap memelihara keangkuhan bahwa kitalah satu-satunya yang benar dan normal, kemudian memandang remeh orang lain. Pelajaran berharga hari ini adalah lihatlah sesuatu dengan kacamata yang normal. Terimalah segala kelebihan dan kekurangan orang lain. Saya yakin, para gay itu tak ingin dipandang berbeda. Mereka juga tak ingin dikasihani, apalagi harus disanjung-sanjung. Mereka hanya ingin diperlakukan sebagaimana manusia lainnya. Saya kira demikian.(*)
3 komentar:
saya setuju dgn anda penulis.
Anda tau gay itu sesat...
Anda tau itu menyalahi kodrat....
Mungkin anda bela mereka
Karna anda termasuk bagian dr mereka juga
Itu sesat bung
Atau anda bagian dari mereka
Posting Komentar