Pemisahan Jurnalistik dan Komunikasi di UIN Alauddin

PROGRAM studi jurnalistik di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, Makassar, adalah program studi jurnalistik yang paling unik. Jika di tempat lain, jurnalistik berada di bawah payung jurusan ataupun fakultas Ilmu Komunikasi, maka di UIN Alauddin justru berbeda. Di sana, Ilmu Komunikasi dan Jurnalistik adalah program yang berbeda, namun keduanya sama-sama berada di bawah fakultas yang sama.

Rasanya aneh juga membayangkan bagaimana kurikulum dan mata kuliah di situ. Apakah beda, ataukah sama saja. Saya jadi bingung. Mungkin, mereka memiliki logika sendiri yang hendak dijalankan. Selama beberapa minggu ini, saat mengasuh mata kuliah Desain Penelitian, saya tak pernah menanyakan itu pada pihak fakultas. Saya hanya menjalankan tugas sebagai pengajar yang baik, tanpa banyak tanya.

Tadi, saya kembali menjalankan tugas mengajar. Saat bertanya pada mahasiswa tentang nama fakultasnya, tiba-tiba saja mereka senyum-senyum dan tidak menjawab. Kembali saya bertanya apa nama fakultas di situ, mereka tersenyum dan malu-malu menjawab. Nama fakultasnya adalah Dakwan dan Komunikasi. Ditanya mengapa tersenyum, mereka menjawab, ”Kami malu kalau menyebut Fakultas Dakwah. Sebab orang-orang langsung berpikir bahwa kami adalah calon khatib atau penceramah.”

Pantas saja mereka malu. Sebab mereka khawatir bahwa kemampuan mereka masih sangat jauh kalau bicara tentang dakwah. Mereka ibarat pasir-pasir dn kerikil yang berada di pesisir pantai dan belum menampakkan kedalaman. Mereka tengah berproses menuju ke situ. Setelah saya tanya lebih jauh, mereka tidak berniat menjadi penceramah. Mereka justru berniat menjadi jurnalis. Mereka bertanya balik sama saya, mengapa meninggalkan status sebagai jurnalis.

Mungkin inilah dilema lembaga pendidikan seperti UIN Alauddin. Tatkala terjadi perubahan status dari institute agama menjadi univesitas, tiba-tiba saja kegamangan seakan melanda mahasiswanya. Mereka tidak terlalu tertarik lagi bekerja di Departemen Agama, atau menjadi khatib atau penceramah. Mereka lebih tertarik menjalani beragam profesi lain seperti menjadi jurnalis. Sebenanya, ini tak masalah. Asalkan pihak kampus tetap memberikan napas keagamaan dalam beragai kurikulum. Seperti halnya mata kuliah yang saya ajarkan. Mestinya diarahkan ke perspektif Islam dalam riset. Saat mereka mengkaji banyak perangkat analisis misalnya semiotika, mestinya mereka bisa mengarahkan kajian itu untuk menyingkap beragam pesan-pesan religius atau simbol-simbol Islam yang merupakan artikulasi dari kerinduan manusia untuk menggapai Tuhan. Dengan cara demikian, Islam menjadi napas atau sukma yang menggerakkan semua mata kuliah.


Sayangnya, pemikiran itu tidak digarap dengan baik. Baik mahasiswa maupun pengelola sama-sama cuek dalam menikapi apa yang terjadi. Dalam kondisi seperti ini, tak banyak harapan yang bisa dilambungkan pada lembaga pendidikan itu untuk tetap menghangatkan api Islam. Mereka ikut arus dan ramai-ramai merayakan sikap sekuler, sesuatu yang di masa silam menjadi musuh agama.(*)



2 komentar:

Unknown mengatakan...

sy juga nga ngrti...bang, cra pembagianx jd bingung...

Unknown mengatakan...

Dalam hal pembagian jurnalistik yg terpisah dari komunikasi memang sangat membuat bingung para mahasiswa..
Tapi tentang nama fakultas "dakwah dan komunikasi" sejenak mendengarkan memang membuat geli, kita memilih prodi umum, kenapa kita ada dalam naungan "dakwah"??..
Toh.. Hal itu yg membuat kita berbeda dgan universitas lain, dan patut kita banggakan juga, krna bukan hanya pngtahuan ttg jurusan yg kt dpt.kan, tp jg pngetahuan ttg agama trutama dlam segi "dakwah"..

Posting Komentar