Makam Rasulullah di Ruang Tamu


SEBUAH foto makam Rasulullah terpasang apik di ruang tamu rumahku. Mama memasang foto besar itu dengan senyum tersungging. Beberapa kali ia menata ulang letaknya yang agak miring, kemudian mengamati gambar itu dalam diam, namun ada senyum yang merekah di wajahnya. Saya menangkap ada rona kepuasan yang terpancar di wajah yang kian keriput itu.

Ia sedang bahagia. Ia mengamati sebuah potret berukuran besar dan dibeli seharga Rp 250.000. Gambar yang berbingkai warna emas itu seakan memenuhi tembok ruang tamu rumahku. Kelihatan mewah. Saat lampu dinyalakan, nampaklah semburat cahaya yang berpendar di foto itu. Iseng-iseng, aku bertanya apakah harga itu mahal baginya?. Mamaku langsung semangat bercerita. “Ini sangat murah jika dibandingkan dengan gambar di rumah kakakmu seharga Rp 1 juta,” katanya.

Sebuah foto adalah sebuah simbol yang bertutur banyak hal. Sebuah foto adalah lautan tanda-tanda yang jika diselami akan mengungkapkan begitu banyak lapis-lapis kenyataan. Foto makam itu adalah simbol dari tujuan serta kecintaan pada tradisi yang dihidupkan Rasul di masa silam namun mengguratkan sesuatu di hari ini. Di masa kini, di saat mamaku membasahi sajadahnya dengan air mata kecintaan, di saat mamaku mengisi malamnya dengan munajat, maka ia sedang mengungkapkan kecintaannya kepada Rasulullah yang memperkenalkannya pada dunia terang. Foto itu adalah perlambang dari sebuah cara memandang dunia, sebuah horison pandang yang meletakkan rasa cinta pada Rasul sebagai sumbu utama perputaran roda nasib dan kehidupan. Dan mamaku terus menjagai poros kecintaan tersebut.

Aku bisa merasakan kecintaan tersebut. Hari ini, aku menjemput mama dari sekolah tempatnya mengajar lebih awal dari biasanya. Ia bersama seorang penjual lukisan dan sama-sama ke rumah. Gambar besar makam Rasulullah dibawa mamaku dengan berseri-seri. Bersama penjual itu, saya memasang gambar itu di ruang tamu, dan memindahkan gambar Ka’bah yang sudah usang karena bertengger selama tahunan.

Setelah memasang gambar itu, sang penjual lalu pamit dan menginggalkan mamaku yang masih mematung dengan wajah berseri. Saat aku datang mendekat, mamaku lalu bercerita banyak hal. Tanpa kuminta, ia lalu menjelaskan dengan detail bahwa makam Rasulullah terletak di dalam masjid Nabawi, pada sebuah ruangan yang disebut Raudhah. Dahulu, Raudhah adalah sebuah bilik tempat tinggal istri Rasulullah yaitu Aisyah. Ketika Rasulullah wafat, ia dimakamkan di bilik yang kemudian disekat sehingga Aisyah masih bias memandanginya. “Rasulullah memang wafat secara fisik. Tetapi semangat dan ajarannya tak pernah mati. Semangat itu abadi dan berpijar di sini,” kata mama.

Aku hanya bisa manggut-manggut. Mamaku demikian semangat ketika mengurai lapis-lapis ingatan saat beberapa tahun lalu ia mengunjungi Mekkah dan Madinah untuk sebuah perjalanan suci, menelusuri tapak-tapak kaki Rasul yang membawa jalan terang bagi manusia. Pembicaraan tentang Mekkah adalah pembicaraan yang paling disukainya. Nampaknya, ia masih ingin menginjakkan kaki di tempat agung tersebut.

Setiap mendengar kisahnya, aku selalu saja senang. Hari ini aku juga takjub dengan kebajikan yang ditanam mamaku. Hari ini ia menyuruhku membeli 10 lembar amplop. Rencananya, ia akan mengisi 10 lembar amplop itu dengan uang dan dikirimkan pada keluarga yang miskin di kampung. Ia mewakafkan kelebihan gajinya sebesar Rp 650.000 untuk membantu orang-orang. Mulai dari dua orang saudaranya, hingga sejumlah perempuan tua dan buta yang hanya bisa pasrah menghitung hari. Mamaku mengulurkan tangan. Ia berbuat sebisa-bisanya yang dia lakukan. Dan aku di sini tengah menganyam makna dari laku kebajikan yang dia lakukan.

Ia tidak tahu kalau aku menulis kebaikan itu di blog ini. Beberapa kali ia berkata bahwa kebaikan tidak untuk diceritakan pada siapa-siapa. “Nak, ketika tangan kanan memberi, maka tangan kiri tidak boleh tahu,” katanya. Aku teringat sosok Pak Harfan dalam novel Laskar Pelangi. Sosok menggetarkan dan tak akan kulupa. Pak Harfan pernah menasihati murid-muridnya. “Hidup bukan untuk meminta-minta. Hidup adalah untuk memberi. Bukan hanya orang kaya yang bisa memberi,” katanya.(*)



2 komentar:

dwia mengatakan...

nice. sangat menyentuh.....

Anonim mengatakan...

Love It So Much....

Posting Komentar