Susahnya Mengajar Filsafat

TERNYATA mengajar filsafat itu tidaklah sesederhana yang sebelumnya saya bayangkan. Dua minggu terakhir ini, saya mengajar filsafat di dua kampus. Saya tak tahu apakah materi yang saya ajarkan bisa meresap dengan baik di benak para peserta mata kuliah. Soalnya, peserta mata kuliah hanya diam saja ketika ditanya apakah paham ataukah tidak.

Mengajar filsafat tanpa ada yang bertanya atau mendebat adalah sesuatu yang menjemukan. Intisari filsafat adalah pertanyaan yang sebanyak-banyaknya sehingga mentimulasi pikiran kita untuk menemukan jawaban-jawaban yang tak terduga. Filsafat tak pernah menyediakan sebuah jawaban yang sifatnya final. Semuanya bersifat tentatif atau sementara. Saya kira jawaban itu sendiri tidaklah penting. Yang paling penting adalah bagaimana berdialektika untuk menemukan beragam pertanyaan serta jawaban yang unik serta orisinil dari pikiran kita sendiri. Dalam proses menemukan jawaban itu, kita mengajukan beragam kemungkinan, mulai dari yang datar-datar saja hingga kemungkinan yang “gila” sekalipun. Di situlah letak menariknya belajar dan mengajar filsafat.

Selama beberapa minggu ini, saya kesulitan untuk mengajar filsafat. Padahal, saya selalu berinovasi pada berbagai metode pengajaran. Saya selalu setia mendengarkan apa masalah yang dihadapi peserta, mendengarkan dengan baik semua kesan-kesan maupun keluhan mereka selama belajar filsafat. Namun, sayangnya, dialog-dialog itu hanya berhenti pada tataran curhat. Ketika diajak melakukan abstraksi atau refleksi atas berbagai fenomena yang disaksikan, para peserta mata kuliah hanya diam saja. Gimana mau lahir jawaban cerdas jika tak dirangsang dengan pertanyaan-pertanyaan cerdas?

Mungkin masalah besar adalah karena sejak kita kecil, kita tak pernah diajak berpikir rumit. Kita tak pernah diajarkan berefleksi atau menarik hikmah dari pengalaman-pengalaman yang kita hadapi. Jangankan berefleksi, mengajukan pertanyaan masih saja dianggap sebagai hal yang tabu. Di negeri ini, mengajukan pertanyaan msih saja dirasakan sebagai hal yang tabu. Bahkan seorang anak kecil yang hendak bertanya, kerap dihardik dengan kalimat, “Anak kecil tahu apa!!” Kita tak pernah dewasa dalam menerima pertanyaan. Di saat bersamaan, kita memelihara keangkuhan seolah kita selalu benar dan tidak siap dengan kenyataan ketika ada yang lebih benar dari kita. Apalagi jika seseorang itu adalah anak kecil.

Apa yang saya temui belakangan ini adalah sekeping sketsa dari masyarakat kita. Mungkin inilah gambaran masyarakat yang tidak pernah siap dengan pedebatan. Makanya, proses perkuliahan menjadi proses yang menjemukan. Bagi seorang mahasiswa, kuliah hanyalah datang ke kampus, kemudian mendengar khutbah dari para dosen, setelah itu berharap dapat nilai bagus. Sementara bagi para dosen, kuliah adalah proses menghitung berapa kali masuk mengajar, dan berapa nilai honor yang bakal diterima. Sebuah lingkaran yang sungguh menjemukan.(*)



0 komentar:

Posting Komentar