Duel Para Jenderal

PEMILIHAN Presiden 2009 ini adalah pesta demokrasi yang boleh jadi paling mencekam ketimbang sebelum-sebelumnya. Pilpres ini adalah pilpres yang paling sulit ditebak. Betapa tidak, dari tiga pasangan kandidat yang hendak maju berlaga, tiga di antaranya adalah para jenderal yang sudah kenyang asam garam di dunia kemiliteran Indonesia. Panggung politik negeri ini seolah panggung milik para jenderal yang adu strategi, adu taktik, dan adu kelihaian dalam peperangan.

Gelar jenderal adalah tingkatan di mana seseorang sudah dianggap mumpuni dalam hal strategi dan taktik. Pada masa kerajaan, penyandang gelar ini adalah mereka yang telah membuktikan kehebatan dan kelihaian tempur selama skeian lama dan memiliki pasukan yang siap mati ketika titah ditegakkan. Dalam situasi ketika musuh sedang menyerbu, jenderal adalah sosok yang memberikan perintah dan tahu apa yang harus dilakukan. Lantas bagaimana halnya ketika sang jenderal akan berhadapan dengan sang jenderal lainnya?

Saya membayangkan sebuah arena perang yang penuh dentuman meriam dan desingan peluru. Ketika para jenderal yang sama-sama makan asam garam di dunia tempur itu memasuki arena yang sama, maka akan nampak sebuah tontotan yang sangat menarik. Bukan hanya soal adu strategi dan debat visi-misi, namun juga soal bagaimana mereka mengendalikan pasukan untuk saling melemahkan kekuatan lawan. Kata filsuf Sun Tzu, pemenang perang itu adalah mereka yang mengenali kekuatan lawan, mengenali kekuatannya sendiri, serta tahu bagaimana menyusun tahapan strategi demi melemahkan lawan.

Saya sedih karena membayangkan bangsa ini yang hanya bisa pasrah menyaksikan pergumulan para jenderal. Lebih sedih lagi ketika bertemu dengan banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa seolah-olah hanya militer yang layak untuk memimpin bangsa. Padahal sejarah bangsa ini mengajarkan bahwa mereka yang disebut militer itu adalah mereka yang selama ini menyebar terror dan ketakutan di kalangan warga. Meski militer berdalih bahwa mereka punya banyak jasa telah memberi kemerdekaan, namun dalil itu nampaknya terlalu lemah. Sebab yang menghantarkan kemerdekaan bagi bangsa ini adalah rakyat semesta yang rela melawan penjajah dengan energi terbaik yang ada pada dirinya. Tatkala bambu runcing dihunus, maka rakyat menjelma menjadi kekuatan yang mengalir laksana air bah. Yang berjuang untuk bangsa ini bukanlah tentara, melainkan rakyat luas.

Apa yang terjadi ketika para jenderal saling serang? Sebuah peperangan yang akan menguras energi, biaya, dan lagi-lagi kembali menjadikan rakyat sebagi penonton yang bodoh. Serasa menyaksikan pergumulan para gladiator demi meraih mahkota bahwa merekalah para jagoan yang terkuat di senatero negeri. Lantas, di mana posisi rakyat? Sssttt!!!! Jangan bertanya jika masih ingin melihat matahari besok.(*)



0 komentar:

Posting Komentar