Festival dan Dialog Serumpun Melayu di Benteng Rotterdam

DIIRINGI dengan tabuhan gendang dari Wagub Agus Arifin Nu'mang, akhirnya Festival Budaya Serumpun dibuka secara resmi. Hari ini, saya berada di tengah suasana yang semarak. Bertempat di Benteng Fort Rotterdam, lagu-lagu berirama Bugis Makassar mengalun lembut di tengah sepoi-sepoi anging mammiri. Rotterdam, sebuah benteng yang langsung menghadap laut dan menjadi saksi-saksi bagaimana kolonialisme mencengkeram Nusantara. Kini, bangunan tua itu kembali menjadi saksi atas sesuatu yang lain. Saksi dari dialog budaya serumpun.

Pembukaan acaranya diadakan dengan megah. Tarian dipentaskan, puisi dilantunkan. Iringan musik tradisional mengalun rancak ditingkahi bunyi pui-pui, alat tiup khas Makassar. Seorang kawan dari Malaysia mengatakan suasananya sangat elok dan seronok. Hari ini, benteng Rotterdam seakan bersolek dengan aneka pegelaran seni tradisi yang merepresentasikan denyut nadi kebudayaan masyarakat Bugis-Makassar dan Melayu di masa silam.

Festival budaya serumpun ini digelar sebagai upaya melestarikan benang merah kultural yang sudah dijalin sejak masa silam antara Bugis-Makassar dengan Melayu. Festival ini adalah kegiatan lanjutan yang digelar setelah setahun lalu dibuat acara dialog budaya yang mempertemukan beberapa ilmuwan yang concern dengan isu-isu kebudayaan. Kali ini, tak hanya dialog budaya, melainkan pagelaran tari, lomba cerita rakyat dan seni tradisi, serta lomba layang-layang. Semua pementasan itu adalah bagian dari jejak-jejak bertemunya kebudayaan Bugis-Makassar dengan Melayu pada masa silam.

Catatan sejarah banyak bertutur bahwa sejak masa silam, Bugis-Makassar sudah mengalami perjumpaan dengan Melayu melalui perdagangan. Bahasa Melayu sudah menjadi lingua franca atau bahasa internasional yang mempertemukan berbagai kalangan. Para pedagang Melayu telah merambah nusantara dan menjalin ikatan kultural dengan berbagai kebudayaan, termasuk budaya Bugis-Makassar. Kini, ikatan pertalian kultural itu kembali dijalan melalui ajang festival.

Tepat pukul 08.00 wib, saya sudah berada di benteng. Festival ini dilaksanakan oleh Pusat Studi Melayu, Unhas, dan dibiayai secara penuh oleh Pemprov Sulawesi Selatan. Saya masuk dalam tim Pusat Studi Melayu Unhas, dan mendapatkan tugas untuk menjadi moderator dalam dialog budaya serumpun. Makanya, saya sengaja datang ke benteng Rotterdam dengan pakaian yang rapi.

Meskipun kurang tidur semalaman akibat nonton partai final Liga Champion, saya tetap berusaha untuk tiba pagi-pagi sekali. Saya pikir, acaranya akan tepat waktu. Ternyata, acara itu molor juga pembukaannya. Saat bertanya sama beberapa kawan mengapa acaranya molor, dijawab kalau masih menunggu kedatangan wakil gubernur. Yah.... Maklumlah, budaya birokrasi di negeri ini masih saja harus ditunggui. Mestinya pejabat harus lebih dahulu hadir agar memberikan teladan bagi yang lain.

Seusai pembukaan yang melelahkan itu, selanjutnya saya memasuki ruang dialog. Saya akan mengisahkan dialog dalam tulisan yang lain.

Makassar, 28 Mei 2009



1 komentar:

Posting Komentar