Bagaimanakah kita menjelaskan batasan kemelayuan?
Bagaimanakah posisi kebudayaan Melayu terhadap kebudayaan Bugis-Makassar?
Dua pertanyaan di atas adalah pertanyaan utama yang bersarang di benak saya ketika menjadi moderator Dialog Budaya Serumpun di Benteng Fort Rotterdam, Makassar, 28 Mei 2009. Empat pembicara yang hadir dalam dialog itu adalah Prof Richard Chauvel (Victoria University, Australia), Dr Wan Syaifuddin (Universitas Sumatera Utara), Dr Nuraini (UIN Alauddin, Makassar), dan Han Jeng Gon (Korea). Dengan menjadi moderator, saya bisa mengamati dialog ini dengan intens dan menuliskan catatan-catatan ini sebagai kesaksian subyektif saya atas dialog tersebut.
Richard Chauvel memulai dialog dengan presentasi yang membuat saya terkesima. Ia melabrak berbagai defenisi yang selama ini bertahta tentang apakah yang disebut Melayu. Ia mengangkat tema yang tidak biasa yaitu tentang batasan budaya Melayu di Papua dan Maluku. Tema ini tidak lazim. Selama ini kita berpikir bahwa Papua sangat jauh dari aspek Melayu. Papua seolah identik dengan kebudayaan manusia yang berkoteka dan hidup seolah di zaman batu, sebuah budaya yang jauh dari tradisi Melayu. Namun, Chauvel justru memaparkan hal yang lain. Ia memaparkan sesuatu yang sungguh menarik. Menurutnya, kebudayaan Papua sudah lama bersentuhan dengan kebudayaan Melayu, sebab Papua juga adalah bagian dari jalur perdagangan internasional.
Kata Chauvel, pada masa silam, Melayu identik dengan perdagangan dan Islam. Sejak abad ke-15, Islam juga sudah masuk ke Papua melalui Tidore dan tersebar di daerah pesisir pantai, khsusunya di daerah Raja Ampat dan Fakfak. Selain jalur ini, Chauvel mengutip Anthony Reid yang menyebut “Malayness as urban super culture”. Sejak awal abad ke-19 muncul berbagai kota besar di Hindia Belanda yang berbahasa Melayu dengan latar berbagai etnis. Kemelayuan identik dengan pendidikan misi dan zending. Jika di Indonesia barat, Melayu identik dengan Islam, maka di Indonesia timur tidak selalu demikian. Seorang beragama Kristen bisa saja menjadi Melayu.
Chauvel menunjukkan beragam foto serta bukti-bukti yang menunjukkan jejak Melayu di Papua. Sayangnya, sejak masuknya pemerintah kolonial Belanda, identitas Melayu seolah dihambat. Meskipun tetap menjadi bahasa pergaulan, namun pemerintah kolonial justru tetap memunculkan identitas manusia berkoteka pada orang Papua. Artinya, identitas Papua adalah sebuah konstruksi kolonial yang bisa ditafsir sebagai hasil dari tarikan kepentingan ekonomi politik. Chauvel seakan mempertegas pandangan bahwa identitas tidak selalu merupakan pilihan sadar masyarakat penganut budaya tertentu, namun merupakan konstruksi kolonial yang menggambarkan konfigurasi kepentingan kolonial pada tempat tertentu.
Pendapat Chauvel ini agak berbeda dengan pendapat akademisi dari Universitas Sumatera Utara (USU) Medan, Dr Wan Syaifuddin. Akademisi yang lama bermukim di Malaysia ini masih meyakini bahwa tetap ada yang disebut ruh atau inti kebudayaan Melayu. Makanya, ia membantah Chauvel yang menyebut bahwa ada persamaan antara budaya Melayu dengan budaya Papua. “Bukan ada persamaan, tetapi memang sama. Makanya, kita harus kritis pada berbagai teori barat tentang Melayu,” katanya. Ada semangat yang besar dalam penuturan Wan Syaifuddin. Ia ingin mendobrak beragam teori yang menafsirkan Melayu, dan menawarkan pandangannya sendiri yang disebutnya “melihat Melayu dari dalam.” Ia juga mengatakan bahwa inti kebudayaan Melayu itu terletak pada tradisi literasi atau pantun sebagai satu bentuk argumentasi.
Setelah Wan Syaifuddin, pembicara selanjutnya adalah Dr Nuraini. Ia banyak menjelaskan perjumpaan kebudayaan Melayu dan kebudayaan Bugis-Makassar. Orang Melayu banyak yang datang ke Makassar untuk erdagang, kemudian menetap dan beranak-pinak. Sementara orang Bugis-Makassar banyak yang ke tanah Melayu untuk merantau dan menetap di situ. Yang menarik adalah penjelasan Nuraini tentang motivasi merantau yang sudah dibisikkan pada anak sejak masih kecil. “Sejak kecil, orang Bugis sudah diperdengarkan berbagai petuah tentang merantau dan kembali sambil membawa kegemilangan,” katanya.
Saat sesi diskusi, ternyata ada banyak pertanyaan yang mempertanyakan ulang tentang konstruksi Melayu dan bagaimana melihatnya ketika berhadapan dengan Bugis-Makassar. Tak pelak, pandangan Wan Syaifuddin ini banyak dikritik dalam sesi diskusi. Seolah-olah pandangannya, memposisikan Bugis-Makassar sebagai subordinat atau taklukan dari Melayu. Ketika membahasakan Melayu sebagai inti kebudayaan, Syaifuddin memposisikan Melayu sebagai pusat dan daerah lainnya sebagai pinggiran. Seorang penanggap memprotes keras pernyataan itu. Penanggap ini mempertanyakan ulang klaim-klaim tersebut. “Bugis dan Makassar punya dunia sendiri. Bukannya taklukan Melayu,” katanya.
Posisi Bugis-Makassar
Sebagaimana sudah saya tuliskan pada pertanyaan di bagian awal, dalam diskusi ini ada dua tema besar yang selalu dipertayakan. Pertama, menyoal apa saja yang menjadi batasan Melayu. Kedua, bagaimana memosisikan Melayu ketika berjumpa dengan kebudayaan-kebudayaan yang lain. Nampaknya, dua tema besar ini menjadi hal yang tak kunjung tuntas dibahas dalam diskusi yang singkat ini.
Beragamnya batasan tentang Melayu itu menunjukkan bahwa mesti ada ikhtiar untuk selalu memperkaya makna dari setiap definisi. Apa yang kita sebut sebagai Melayu tidak lebih dari satu konsep yang lahir dari berbagai pergulatan kita dengan realitas sosial termasuk sejarak serta konteks-konteks yang kemudian melahirkan pandangan tersebut. Apa yang disebut sebagai Melayu adalah konstruksi atas sesuatu. Makanya, definisi tersebut harus...................
Dalam beberapa diskusi budaya yang saya ikuti, selalu saja muncul pertanyaan adakah sesuatu yang disebut inti kebudayaan. Dalam ranah ilmu sosial, argumen ini adalah argumen yang essensialis, yang selalu melihat adanya satu inti atau kekuatan utama yang menggerakkan satu kebudayaan.
BELUM SELESAI
0 komentar:
Posting Komentar