Bugis, Laut, dan Kearifan Tradisi


SELAMA seminggu ini, saat berada di Bau-Bau, saya mengisi waktu dengan membaca dua buah buku baru yaitu Navigasi Bugis karya Gene Ammarell, serta Kuasa dan Usaha di Masyarakat Sulawesi Selatan yang diedit oleh Roger Tol, Kees van Dijk, dan Greg Accioli. Kedua buku itu sangat menarik sebab ditulis oleh para peneliti asing yang rata-rata mumpuni dalam hal riset sehingga data-datanya sangat kaya.

Buku Navigasi Bugis berisikan etnografi tentang para nelayan Bugis yang tinggal di Pulau Balobaloang, di tengah-tengah perairan Sulawesi dan Nusa Tenggara. Buku ini adalah rekaman perjalanan yang memaparkan kekayaan tradisi dan pengetahuan para nelayan Bugis. Di dalamnya saya menemukan deskripsi yang tajam tentang pengetahuan nelayan, mulai dari membaca perbintangan, membaca ombak, hingga mengamati binatang laut demi menentukan posisi sebuah kapal di tengah samudera.

Gene Ammarell memaparkan bahwa sejak ratusan tahun silam, nelayan Bugis telah memiliki pengetahuan bagaimana menaklukan ombak, serta membaca semua tanda-tanda alam. Pengetahuan itu sedemikian kaya sebab telah ditempa oleh sejarah yang panjang dan diasah melalui pertautan dengan berbagai bangsa-bangsa besar di dunia.

Pantas saja jika pelaut Bugis bisa berkelana hingga tempat-tempat yang jauh, bisa bergerak mengikuti apa yang dikatakan Raja Gowa, Sultan Alauddin, bahwa “Tuhan menciptakan darat dan laut, maka lautan adalah milik semua orang. Belum pernah saya dengar ada orang yang dilarang karena melayari lautan.” Maka berkelanalah para pelaut Bugis dan Makassar sejauh kapalnya terbawa angin. Di sepanjang pesisir itu, mereka membangun peradaban, beranakpinak dengan penduduk setempat, dan menyebarkan pengetahuan navigasi yang sangat kaya itu hingga bertahan selama beberapa generasi.

Saya tercengang dengan kemampuan sang penulis –yang kini menjabat sebagai Ketua Departemen Kajian Asia di University of Ohio, Amerika Serikat-- mendeskripsikan kearifan tradisi tersebut. Saya paham bahwa pemaparan itu lahir dari riset yang cukup panjang untuk menemu-kenali realitas, kemudian memahami realitas itu sesuai dengan perspektif warga lokal. Sebagaimana lazimnya sebuah etnografi, Gene Ammarell tidak menawarkan hal yang baru. Ia juga tidak bermaksud menjelaskan (to explain) sesuatu secara runtut. Ia hanya berupaya memahami (to understand) bagaimana pengetahuan navigasi itu hadir di benak para nakhoda Bugis. Ia seolah mengajak kita untuk memasuki pikiran sang pelaut, berkelana dalam upayanya menaklukan ombak, memahami bagaimana kemampuannya membaca bintang, hingga fenomena alam lainnya. Di akhir perjalanan itu, sesaat kita termangu kala menyadari betapa kayanya pengetahuan lokal bangsa ini.

Penegtahuan lokal yang hidup di negeri ini sejak ratusan tahun lalu demikian kaya, namun pengetahuan itu perlahan mulai tergerus karena ketakjuban kita pada pengetahuan ala barat. Pengetahuan lokal mulai ditinggalkan dan perlahan tersaput angin modernisasi. Mungkin kita terlalu takjub dengan kemewahan artifisial yang dipamerkan orang barat, dan di saat bersamaan kita mengabaikan kekayaan tradisi kita sendiri. Hingga akhirnya, datang kembali orang barat seperti Gene Ammarell atau Christian Pelras untuk menulis tentang kearifan tradisi laut bangsa kita sendiri. Sementara kita sendiri, hanya menjadi pecundang yang terkagum-kagum dengan semua pencapaian bangsa barat.(*)


0 komentar:

Posting Komentar