Sepucuk Surat dari Leiden


BEBERAPA hari ini, saya menjalin korespondensi dengan Dr Suryadi, seorang ahli filologi dan peneliti naskah kuno dari Universitas Leiden, Belanda. Ia sudah beberapa kali mempublikasikan sejumlah risetnya tentang surat-menyurat Sultan Buton di beberapa jurnal internasional yang terbit di luar negeri.

Saya meminta bantuan padanya untuk mengirimkan beberapa publikasinya tentang Buton, untuk diterbitkan kembali dalam buku yang akan diterbitkan Respect. Katanya, mempublikasikan ulang naskah yang sudah terbit di jurnal internasional, justru tidak menarik sebab tulisan itu sudah diketahui orang lain. Mendingan, menerbitkan apa yang belum pernah terbit di jurnal internasional. Saya kira dia benar juga. Namun, seberapa banyak sih orang yang tahu tentang publikasi internasional itu? Apakah masyarakat Buton tahu bahwa kekayaan budayanya di-publish sedemikian rupa untuk kepentingan akademik, sementara mereka tidak mengetahui lagi warisan berharga dari nenek moyangnya?

Saya tidak hendak membahas Suryadi. Tidak sama sekali. Diskusi dengannya menjadi sepenggal cerita yang sangat menarik jika hendak dikaitkan dengan sikap kebanyakan ilmuwan sosial kita. Tiba-tiba saja saya terinspirasi dan berpikir kalau-kalau sebagai peneliti, saya pun ikut terjebak pada arus yang lebih mengutamakan capaian akademis, tanpa memperlihatkan riset itu kepada masyarakat. Kisah di atas hanyalah pintu masuk untuk melihat lebih jauh, apa yang sebenarnya terjadi di dunia ilmiah, sebuah dunia bagi mereka yang berumah di atas awan.

Ada begitu banyak riset dan publikasi tentang suatu masyarakat, namun masyarakat itu justru tidak tahu sama sekali tentang publikasi itu. Mereka hanya tahu bahwa pada suatu saat, seorang peneliti datang, kemudian mengumpulkan data, mewawancarai, dan setelah itu terbang entah ke mana. Masyarakat Buton hari ini tidak banyak tahu bahwa ada begitu banyak naskah kuno yang tersimpan di Universitas Leiden. Naskah itu menjadi harta karun yang berharga dan menjadi inspirasi bagi generasi hari ini. Naskah itu juga menjadi sesuatu yang menantang bagi komunitas peneliti yang kemudian mengurai misteri di balik naskah itu, selanjutnya mempublikasikannya di beberapa jurnal. Lantas, apa imbal baliknya pada masyarakat yang bersangkutan?

Saya memposisikan ilmu pengetahuan sebagai cahaya yang memberi terang bagi peradaban hari ini. Ilmu pengetahuan membantu kita untuk memisahkan terang dari gelap, dan secara bersama-sama kita bergerak menuju terang. Ilmu pengetahuan bisa memercikkan semangat pembebas sehingga memberikan napas dan identitas bagi suatu masyarakat. Seorang peneliti yang berkecimpung di dunia ilmiah, akan berhadapan dengan dilema etis apakah risetnya bisa memberi terang pada masyarakat ataukah tidak. Ia juga mesti memberitahukan kepada masyarakat tersebut bahwa pada suatu saat, pernah diadakan riset, dan seperti apa hasil risetnya.

Dilema etis ini mesti dipertimbangkan sedemikian rupa sebab riset itu bisa terjerembab menjadi alat eksploitasi pada masyarakat yang bersangkutan. Sebagai peneliti, kita seolah mengambil apa yang menjadi kekayaan sejarah masyarakat tersebut, kemudian menerbitkannya di satu jurnal, dan setelah itu kita mendapatkan bayaran dari jurnal tersebut. Sementara masyarakat yang diteliti, justru tidak tahu-menahu dan tetap berpijak pada lingkaran pengetahuannya yang itu-itu saja, tanpa ada satu jalan terang baru bagi mereka.

Riset, sebagaimana yang dilakukan Suryadi, seyogyanya bisa mengemban fungsi yang sama tatkala diarahkan tidak sekedar untuk kepentingan akademis semata. Riset itu mestinya bisa diketahui oleh masyarakat secara luas sehingga bisa memperkaya khasanah pengetahuan mereka tentang masa silam.

Saya teringat kisah seorang wartawan senior di majalah National Geographic. Sebegitu telitinya ketika meliput sesuatu. Saat turun lapangan, ia mencatat semua informasi dari siapapun, dan menjelang majalah itu terbit, ia akan mengirimkan berkas tulisan itu pada semua informan, bahkan seorang penjual roti keliling pun, mendapat berkas itu. Ia ingin memastikan bahwa semua informasi yang dikutpnya tidak salah kutip, dan diketahui oleh semua orang yang hendak diwawancarai.

Bagi saya, kisah ini sangat luar biasa sebab memberitahukan bagaimana disiplinnya seseorang ketika menulis. Wartawan senior itu ingin memastikan bahwa masyarakat tahu apa yang ditulisnya, kemudian memberikan inspirasi serta masukan berharga bagi apa yang sedang ditelitinya. Saya kira, disinilah letak tanggung jawab seorang ilmuwan. Ia dituntut untuk tidak sekedar mengeksploitasi masyarakatnya. Namun memberikan sepercik pengetahuan melalui satu publikasi yang dikenal secara luas sehingga menginspirasi masyarakat kebanyakan. Saya kira demikian.(*)




0 komentar:

Posting Komentar