SAYA membenci Gus Dur. Bukan karena ia mengajarkan sikap penghormatan pada siapapun yang berbeda keyakinan. Bukan karena ia mengajarkan kearifan untuk memandang semua orang punya kebaikan sendiri-sendiri dan sama di hadapan Tuhan. Bukan karena ia telah ikhlas mendedikasikan hidupnya bagi sebagian besar anak bangsa. Bukan karena ia menjadi jembatan dari pemikiran tradisional dan pemikiran modern di bumi Indonesia.
Saya membenci Gus Dur karena ia terlalu cepat meninggalkan bangsa ini, tanpa sempat menjaga tunas-tunas pemikiran yang ditanamnya untuk tumbuh besar, di mana akarnya menghujam bumi, dan dahannya menggapai mega-mega. Andaikan Gus Dur abadi, mungkin ia bisa memberi kesempatan bagi ide-idenya untuk tumbuh dan berbiak.
Saya benci dengan situasi di mana tokoh sekaliber beliau tidak seberapa banyak di negeri ini. Kita hanya dipertontonkan para politisi yang tidak punya rekam jejak emas. Mereka tidak pernah ’seberdarah-darah’ Gus Dur muda ketika membela rakyat kecil. Mereka hanya sanggup mengekor pada nama besar Gus Dur, tanpa sempat menyerap intisari semangat yang dahsyat itu untuk bangsa ini. Saya benci karena Gus Dur membiarkan mereka berkeliaran di sekelilingnya, tanpa harus menegaskan posisinya dan memberi pencerahan pada warga tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Di tangan Gus Dur, sejarah laksana dunia abu-abu yang pekat dan penuh interpretasi. Masa-masa singkat menjadi presiden hingga jatuh adalah sebuah masa paling gelap yang mengundang tanda-tanya sejarah. Ia tidak mau banyak menjelaskan posisinya saat itu. Saya tidak pernah membaca liputan media yang memuat tentang apa yang dipikirkannya, serta dirasakannya pada saat itu. Ia membiarkan sejarah bergulir laksana bola liar dan mungkin butuh waktu beberapa tahun bagi bangsa ini untuk menyingkap apa yang sebenarnya terjadi. Butuh generasi baru yang lebih arif dan siap membuka, teka-teki yang sedang terjadi di panggung kuasa hingga tokoh sekaliber Gus Dur bisa jatuh.
Yang luar biasa adalah Gus Dur tak membenci siapapun. Mungkin itu adalah bagian dari welas asihnya yang besar pada semua orang. Malah, ia yang dibenci banyak orang, khususnya mereka yang picik dan tak siap dengan perbedaan. Ia mengajak semuanya untuk membangun negeri, sesuatu yang jauh lebih besar, ketimbang sibuk berkonflik dan saling memaki sesama anak bangsa.
Saya tidak membencinya dalam artian harfiah. Saya mencintainya dalam segala keterbatasannya. Saya membenci ketidakmampuan bangsa ini untuk bisa memahami dan berjalan selaras dengan lompatan berpikir Gus Dur yang cepat dan penuh kearifan. Di tubuh yang sakit-sakitan itu, kita meletakkan harapan yang begitu besar untuk bangsa ini. Tapi Tuhan terlampau sayang dan rindu padanya hingga membebaskannya dari beban sejarah itu. Mungkin, Gus Dur tengah memasuki sebuah jagad yang tanpa konflik, di mana semua orang berposisi sama untuk menghadapi pengadilan dari Yang Kuasa. Di negeri itu, mungkin tak ada lagi yang perlu dibelanya. Mungkinkah di negeri itu ia bisa berleha-leha sejenak, tanpa harus diganggu oleh urusan fisik atau beban sejarah yang sedang dipikulnya?
Selamat jalan Gus Dur....
0 komentar:
Posting Komentar