Kasihan Soetrisno Bachir


DI tengah gegap gempita dan gemuruh kongres Partai Amanat Nasional (PAN), adakah yang sempat mengingat Soetrisno Bachir? Di tengah euforia kemenangan Hatta Radjasa, masihkah orang mengenang Soetrisno Bachir? Selama satu periode ia memimpin partai berlambang matahari itu dan berjuang mengembalikan supremasinya sebagai partai besar. Namun, jejaknya ibarat istana pasir yang perlahan tersaput ombak. Ia perlahan mulai dilupakan.

Kemarin saya membaca tulisan Sutta Dharmasaputra di Kompas yang berjudul Kehangatan yang Tersisih. Dalam ajang kongres PAN, di tengah sibuknya para kandidat bergerilya mencari kekuatan, Soetrisno membacakan puisi yang amat menyentuh. Ia mengatakan, “Aku beku dalam matahari// Awan gelap berarak mengepung angkasa yang terkoyak// Cahaya matahari memang masih bersinar// Tapi, semua ngumpet dan bersembunyi di balik dinding// Semua merasa lebih nyaman menggunakan payung dan berlindung di dalam istana agar terhindar dari cahaya matahari// Aneh, aneh,”

Soetrisno hendak mengemukakan uneg-unegnya tentang kondisi partai tersebut. Kali ini ia hanya punya uneg-uneg, tanpa bisa memaksakan sesuatu, atau minimal mempengaruhi kebijakan. Lima tahun lalu, ia hanyalah anak bawang yang diragukan ketika mengambil alih PAN dari tangan Amien Rais. Dengan segala keterbatasannya, ia berhasil membawa kemudi partai sehingga tetap bertahan pada jajaran partai besar di Indonesia. Ia mengemban amanah, dan bekerja keras untuk mewujudkan amanah tersebut.

Sebagai orang awam di dunia politik, dirinya mau tak mau harus berhadapan dengan dinamika dan tarik-menarik dalam dunia politik. Di negeri ini, politik dijelmakan sebagai bidak catur di mana para pion saling menebas. Meskipun Anda menjadi ketua, tidak serta-merta Anda memegang kendali atas organisasi itu. Anda harus siap sedia menghadapi sikut-menyikut dan saling menelikung atas nama partai politik. Pada titik inilah Soetrisno Bachir menjadi bulan-bulanan.

Ia tak kuasa dan seakan tak punya daya ketika menghadapi para politisi senior partai tersebut. Di ajang pemilihan presiden (pilpres) ia harus berhadapan dengan AMien Rais yang punya visi politik berbeda. Sayang sekali, Soetrisno harus selalu kalah dalam semua perbedaan tersebut. Kecewakah ia? Ternyata tidak. Ia selalu terkenang dengan ucapan KH Mustofa Bisri, beberapa saat sebelum diriny masuk partai politik. KH Mustofa Bisri berpesan agar siap menghadapi dan mengalami kekecewaan. ”Untuk itu bagaimana me- manage kekecewaan itu. Kalau tak di-manage dengan baik, bisa stroke, frustrasi. Bahkan, gila. Lihat pemilihan kepala daerah (pilkada). Jika ter-manage, akan jadi inspirasi baru. Orang bilang saya dizalimi. Saya tidak merasa seperti itu,” ucapnya sebagaimana dicatat Kompas.

Di ajang kongres PAN, ia seakan disepelekan. Mereka yang dulu merapat, kini menjauh. Tiba-tiba saja ia kehilangan banyak teman. Bahkan untuk membuka acara itupun ia ditinggalkan begitu saja. Mungkin inilah potret sistem politik kita. Kita jarang sekali memandang seseorang karena kontribusi dan daya tahannya dalam mengawal sesuatu. Kita lebih gampang terlena melihat kursi kekuasaan. Kita lebih suka ramai-ramai menjilat pada mereka yang dekat kursi kuasa, tanpa meletakkan bunga penghargaan pada mereka yang berdedikasi dan menyerahkan seluruh hidupnya demi sesuatu.(*)

0 komentar:

Posting Komentar