Mengasah Musik, Mengasah Karakter


KEMARIN, Minggu (25/1), ada sesuatu yang berbeda di Mal Makassar Town Square. Di main hall pusat perbelanjaan tersebut, ada panggung besar berkarpet merah. Pada backdrop-nya tertulis ajang pementasan para peserta Purwatjaraka Music Studio. Di depan panggung itu, terdapat kursi, yang diduduki banyak orang dari berbagai lapisan usia. Mulai nenek-nenek, bapak-bapak, hingga anak kecil.

Saya melihat banyak anak-anak hingga remaja yang bergantuan menyanyi atau memainkan alat musik. Pihak Purwatjaraka Music Studio mengizinkan anak-anak tersebut untuk mengeksplorasikan bakatnya di bidang musik, baik menyanyi, bermain piano, biola, hingga drum. Semua anak tampil penuh percaya diri dan bergaya layaknya seorang penyanyi tenar yang tampil di hadapan ribuan fansnya.

Sementara para pendidik dan orang tua terus memotivasi sang anak agar tetap percaya diri. Di ajang ini, tak ada perlombaan --yang kriterianya lebih banyak subyektif. Tak ada juara-juaraan. Semuanya tampil dengan posisi sama dan menerima apresiasi yang sama. Makanya, anak-anak itu begitu bersemangat tampil dan menunjukkan sejauh mana pencapaiannya.

Saya selalu menikmati pertunjukkan seperti ini. Saya teringat dengan masa kecil saya yang sangat jauh dari hingar-bingar seperti musik. Orang tua saya tidak memberi ruang yang memadai bagi perkembangan bakat seni. Padahal, saya merasa yakin bahwa saya punya kualitas vokal yang memadai, meskipun belum pernah ada yang memuji. Saya juga merasa yakin bahwa saya punya kemampuan menggambar yang baik. Mestinya saya bisa jadi pelukis.

Tapi, saya tak mau menyalahkan orang tua. Mereka sudah menjalankan tugasnya dengan baik untuk mendidik saya hingga sampai pada kualitas seperti ini. Saya hanya berpikir bahwa seni bukan semata soal bakat. Seni adalah soal minat besar yang gemuruh dalam diri dan selanjutnya diasah secara perlahan-lahan melalui sekolah musik. Mustahil akan lahir seorang Mozart, jika tidak melalui latihan-latihan yang intens. Pelajaran berharga yang bisa dikutip dari fisikawan Albert Einstein adalah ketika ia mengatakian, "Kesuksesan ditentukan oleh 99 persen kerja keras, dan 1 persen bakat." Artinya, hal paling substansial adalah niat yang menggelagak, dan selanjutnya diasah dalam kerja keras dan upaya yang tak henti. Sedangkan bakat hanyalah 1 persen.

Mungkin itulah yang dikembangkan dalam Purwatjaraka Music Studio. Mereka mengasah bakat, menumbuhkan keberanian dan percaya diri. Pada akhirnya, musik bukan lagi soal memainkan sejumlah oinstrumen atau melafalkan lagu. Musik adalah diri sendiri. Sesuatu yang mencerminkan karakter diri kita dan keberanian untuk menunjukkan potensi tersebut di hadapan orang lain.(*)


Makassar, 24 Januari 2009

0 komentar:

Posting Komentar