Membelenggu Amarah

"Ketika rasa stres memenuhi isi kepalamu, beristirahatlah sesaat. Tarik napas panjang, kemudian hembuskan melalui mulut"


SAYA pernah membaca tips ini di Reader Digest. Tapi betapa tidak mudahnya menerapkan itu dalam kehidupan sehari-hari. Setiap kali didera sebuah masalah, saya kadang stres. Pikiran kalut dan sekonyong-konyong ada emosi yang menggelegak. Biasanya, dalam keadaan seperti ini, saya hanya bisa terdiam, dan tak bisa melepaskan marah dengan spontan. Mungkin, marah dan stres adalah bagian dari ekspresi spontan seorang manusia. Dua sifat itu adalah hal yang manusiawi dan menunjukkan sisi yang manusiawi dalam diri kita. Namun, kebudayaan kita menempatkan marah sebagai perilaku yang negatif. Kadang kita tak punya kebebasan untuk mengekspresikan rasa marah itu. Kita lebih suka menahannya sehingga rasa marah ibarat menjadi telaga besar yang dikepung oleh bendungan.



Barangkali jalan yang paling bijak adalah melepaskan rasa marah itu. Mungkin, rasa streas dan marah harus diekspresikan agar tidak menjadi penyakit di kemudian hari. Bagaimanapun, memendam rasa amarah dalam diri bisa menyebabkan tekanan darah meninggi, jantung jadi tidak stabil. Saya pernah membaca artikel bahwa di beberapa negara, rasa stres dan marah dikelola menjadi bisnis. Seorang pengusaha menyiapkan ruangan kedap suara dan di dalamnya banyak perabotan pecah-belah. Jika anda stres, Anda bisa menyewa ruangan tersebut untuk berteriak sepuasnya, lalu menghancurkan semua barang-barang yang ada.

Tapi, cara yang paling mudah dan tidak memakan biaya adalah melepaskannya dengan bebas. Silakan mengekspresikannya, nanum harus terkontrol. Dalam artian, tidak sampai menyakiti orang lain. Pelepasan stres dan marah haruslah secara arif, dalam artian tetap pada kerangka yang tidak menyakiti orang lain. Lepaskanlah amarah, namun sekian detik berikutnya segeralah menganggap itu selesai. Salah satu sifat bapak saya yang paling saya sukai adalah ia gampang sekali melupakan rasa marah, beberapa saat setelah ia melepaskan amarah itu. Dulunya, saya pikir itu mudah. Kini, saya sadar bahwa ternyata tidaklah semudah itu. Mesti ada semacam kebijaksanaan dan kedewasaan untuk melupakan sesuatu yang keliru, kemudian memikirkan apa yang terbaik di masa depan.

Tapi, saya kira yang terbaik adalah sama sekali tidak pernah marah. Dosen saya di Universitas Indonesia (UI) Iwan Tjitradjaja mendalami ilmu reiki, semacam latihan untuk mengontrol emosi. Menurut Iwan, reiki ini banyak digali dari ajaran Buddha yang selalu menekankan upaya mengontrol emosi. Setelah mendalami reiki, ia bisa mentransformasikan emosi tersebut menjadi energi positif yang menguatkan jiwanya. Saya tak pernah tahu seperti apa reiki itu. Tapi, metode pengendalian kemarahan itu bisa pula dicoba.

Seorang kawan punya metode sendiri untuk melepaskan stres. Ia pergi nonton pertandingan sepakbola yang dimainkan PSM di Stadion Mattoanging, Makassar. Sepanjang pertandingan, ia bisa bebas berteriak-teriak, memaki atau menghina tim lawan. Keluar dari stadion, ia langsung tersenyum lega karena bebannya berkurang. Tapi, kalau PSM kalah besar, ia keluar stadion dengan stres yang semakin berlipat-lipat.

Mungkin cara terbaik adalah mengatasi sebab yang menimbulkan stres. Dengan cara menyelesaikan sumber masalah, pastilah akan memekarkan rasa bahagia dalam diri. Melalui stres dan amarah, kita bisa belajar banyak. Minimal bisa bisa menyelami karakter diri kita yang sesungguhnya.(*)

0 komentar:

Posting Komentar