Memenggal Kepala Rutan


Mengapa dalam satu masalah, para pejabat kecil yang selalu menjadi korban? Seberapa seringkah kita menjadikan orang kecil sebagai korban? Dua pertanyaan ini adalah pintu masuk untuk menjelaskan apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran saya. Kemarin, Kepala Rumah Tahanan (Rutan) Pondok Bambu diberhentikan dari jabatannya. Tiba-tiba saja, ia seolah menjadi sebab tunggal atas sel mewah yang dihuni Artalyta. Ia dituduh bertanggungjawab atas satu kesalahan, yang belum tentu dilakukannya. Media bersorak-sorak. Publik bertepuk tangan. Satu keadilan telah ditegakkan.

Mungkin saya berbeda dengan kecenderungan suara publik. Saya lebih berempati saat melihat posisi sang kepala rutan tersebut. Saya agak sedih membayangkan bagaimana perasaannya. Lebih sedih lagi kalau membayangkan bagaimana kehidupan keluarganya selanjutnya. Mungkin, dengan menjadi kepala rutan, ada tunjangan jabatan yang bisa dibawa pulang ke rumah setiap bulannya. Namun, sejak dicopot, bisa dipastikan ia hanya menerima gaji yang kecil, lebih kecil dari yang diterima setiap bulannya.

Ada soal serius yang menggelitik nurani saya. Mengapa yang menjadi korban adalah seorang kepala rutan? Bukan berarti saya menilai kepala rutan tidak bersalah atas masalah ini. Tapi, saya menilai problem yang menghantui insitusi hukum semacam lapas adalah problem struktural atau sistemik. Artinya, problem tersebut tidak disebabkan oleh satu sebab tunggal, namun merupakan hasil interaksi dari berbagai unsur sebab yang berada dalam satu struktur sosial tertentu. Posisi kepala rutan adalah ibarat sebuah pion dalam bidak catur. Ia hanya pelengkap penderita yang lebih sering dikorbankan untuk melindungi para atasan --yang bisanya hanya ikut angin, marah-marah, tanpa menelusuri apa yang sesungguhnya terjadi pada level bawah sekrup kekuasaannya.

Selama sekian ratus tahun kesalahan itu berjalan terus sehingga menjadi sebuah kelaziman. Saya yakin, sebelum kepala rutan tersebut menerima jabatan itu, kesalahan yang sama sudah terjadi, dan seolah menjelma menjadi kelaziman dalam kebudayaan kita. Tatkala rezim berganti dengan mereka yang lebih mengutamakan citra, kepala rutan tersebut menjadi korban yang dengan mudah diletakkan di altar persembahan. Ia harus menerima hukuman sebagai simbol kejahatan yang dilakukannya. Ia menjadi korban dari satu mesin besar kekuasaan di mana dirinya hanyalah sekrup kecil yang menyangga mesin itu. Sementara ‘sang mesin besar’ yang justru menjadi pengendali utama mesin tersebut bisa melenggang kangkung. Tiba-tiba saja menggelar jumpa pers dan menyalahkan pejabat kecil, kemudian mencopotnya, dan memberikan pernyataan bahwa keadilan telah ditegakkan. Duh...

Mengapa bukan pejabat besar itu yang bersikap ksatria mengakui kesalahan institusinya, menyatakan bertanggungjawab dan --kalau perlu-- mengundurkan diri? Tampaknya, para pejabat kita bisanya hanya mengorbankan mereka yang kecil-kecil. Kita krisis orang yang berani mengakui semua kesalahan yang ada di institusinya, dan bukannya mengorbankan yang lain. Kita kehilangan nilai-nilai kesatriaan, satu nilai yang memberi kita kekuatan untuk mennakui kesalahan dan tidak lantas memenggal mereka yang di bawah kita. Secara perlahan, nilai-nilai itu menjadi istana pasir yang secara perlahan-lahan dipudarkan oleh ombak keserakahan atas jabatan, kerakusan atas materi, dan penghambaan pada kekuasaan.(*)

0 komentar:

Posting Komentar