Tergila-gila dengan PNS

SEBUT saja namanya La Umara (32). Dalam keadaan mabuk, ia lalu mendatangi gedung Badan Kepegawaian Daerah (BKD) di Kulisusu, Kabupaten Buton Utara. Hari itu adalah hari pemberkasan bagi mereka yang lulus seleksi pegawai negeri sipil (PNS). Saat banyak orang yang datang, La Umara lalu menuding mereka satu per satu. Sambil menghembuskan aroma minuman keras, ia lalu bertanya, ”Kamu bayar berapa? Lima puluh juta yaa...!!” Semua orang ketakutan.

Sementara di tempat lain, Muhtar (35) menggeram dengan penuh kemarahan. Ia mencak-mencak di hadapan kepala BKD Kabupaten Buton di Pasarwajo. Ia kesal karena tidak lulus dalam seleksi PNS. Padahal, setahun yang lalu, dirinya lolos, namun tiba-tiba saja namanya tercoret. Ia dijanjikan akan lolos sebagai prioritas pada tahun ini. Ternyata, janji itu adalah isapan jempol. Ia hanya bisa marah-marah di hadapan Kepala BKD dan melaporkan kasusnya pada para wartawan.

Dua keping realitas di atas adalah gunung es dari tumpukan permasalahan usai pengumuman tes PNS. Keduanya sama-sama stres sebab berharap bisa lulus seleksi dan mengayam masa depannya. Apa daya, mereka harus dipaksa kalah, tanpa tahu apa yang menjadi sebab kekalahannya. Mereka tidak pernah tahu apa hasil seleksi sebab tidak pernah diumumkan. Tiba-tiba, berhembus rumor bahwa mereka yang lulus adalah mereka yang menyiapkan uang sogokan. Ironis.


Realitas di atas sungguh menarik untuk disimak. Di Pulau Buton termasuk Wakatobi, profesi PNS adalah profesi yang amat prestisius. Untuk lulus, banyak orang yang siap habis-habisan. Mereka menjual banyak aset demi mengumpulkan uang agar dipakai menyogok. Ini sudah menjadi rahasia umum. Seolah-olah, tanpa sogok, maka seseorang tidak bisa menjadi PNS. Malah, di satu kabupaten di Sulawesi Tenggara (Sultra), saya mendengar rumor tentang biaya untuk lulus PNS adalah sekitar Rp 60 juta.

Saya hanya bisa merinding ketika mendengar informasi tersebut. Andaikan saya punya uang Rp 60 juta, maka saya akan mengelola uang tersebut menjadi bisnis yang menggiurkan. Mendingan saya buka warung kecil di dekat rumah, ketimbang harus dipakai menyogok. Akan jauh lebih terjormat jika uang itu digunakan untuk berderma pada orang lain yang lebih membutuhkan, ketimbang diserahkan kepada sejumlah pejabat.

Tapi, masalahnya PNS bukan sekedar jaminan masa depan yang aman. Profesi PNS juga identik dengan level kuasa tertentu yang memberi kuasa kepada seseorang untuk berbuat banyak hal. Dengan seragam PNS, seseorang merasa dirinbya demikian hebat dan seolah punya otoritas untuk memandang seseorang dengan sebelah mata. Ia berhak angkuh, sementara yang lain tidak berhak. Inilah sebentuk kesombongan di daerah-daerah.

Kasus yang menimpa La Umara dan Muhtar menjadi tanda betapa prestisiusnya profesi PNS di daerah. Seolah-olah tanpa profesi itu, mereka tak bisa hidup. Ini juga diperparah dengan dunia sosial yang selalu mendefinisikan kiteria sukses tidaknya seseorang dengan cara yang tidak adil. Ketika seseorang belum menjadi PNS, maka seseorang tersebut seolah tidak bekerja, sementara ketika seseorang sudah menjadi PNS, maka seseorang tersebut sudah memiliki masa depan yang cerah.

Mungkin kita memang masih belum lepas dari era kerajaan di mana para pegawai kerajaan memiliki posisi istimewa di masyarakat. Kita menginjakkan kaki di dunia modern, namun pikiran kita masih berpijak di dataran tradisional. Mungkin pula, dunia sosial kita memandang bahwa para PNS identik dengan para pejabat yang bersukacita dengan mobil mewah dan menilep uang rakyat. Ini juga diperparah dengan tidak menggeliatnya iklim ekonomi di daerah, sehingga tidak ada pekerjaan lain selain menjadi abdi negara.

Saya hanya bisa menimbang-nimbang dan mencatat. Saya lebih suka memikirkan andai uang Rp 60 juta itu ada di tangan saya, mungkin akan saya belanjakan sepuas hati. Saya kan menyewa sebuah ruko dan membuat bisnis di situ. Atau, mungkin akan saya pakai buat menikah. Hehehe...(*)

1 komentar:

chumank mengatakan...

beginilah daerah,, nonPNS dianggap sebelah mata. banyak orang tua yang menginginkan anaknya jadi PNS dan banyak calon mertua yang menolak lelaki non PNS.
60 juta masih sedikit bang, saya pernah dengan ada yang sudah bayar 120 juta tapi gagal lolos. masih di wilayah Sulawesi tenggara juga.

Posting Komentar