Paha Putih di Satu Diskotik




SEBUT saja namanya Max (28). Ia adalah warga timur Indonesia, sebagaimana saya. Saya mengenalnya saat sama-sama menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar. Tubuhnya tegap, tidak terlalu tinggi, dan berkulit hitam legam.

Suatu hari, ia mengajak saya untuk menemaninya jalan-jalan ke beberapa lokalisasi di seputaran Jalan Nusantara Makassar. Sejak zaman Belanda, barisan kafe dan karaoke bertebaran di tempat ini. Rata-rata berisikan cewek seksi dengan dandanan menggoda.

Max tak pernah lama memilih. Ia selalu cepat menentukan pilihan. Seperti apa wanita yang disukainya? "Saya sih sembarang saja. Asal paha putih, pasti saya terangsang," katanya dengan cengengesan.

Max selalu terus terang pada saya sebagai teman akrabnya. Menurutnya, saat bercinta dengan cewek putih, ia selalu merasa puas. Ia seolah menggapai kenikmatan yang lama diimpikannya. 

"Saya tidak tahu kenapa. Yang jelas, sejak dulu saya selalu nafsu kalau lihat cewek putih," katanya. Lho, apa kaitannya antara warna kulit dan kepuasan seksual? Max tak pernah bisa menjawabnya dengan tuntas. Dan saya juga tak pernah ngotot meminta jawaban.

Malam ini saya kembali menemaninya. Mulanya saya pikir ia pasti mulai asing dengan sejumlah kafe dan karaoke di Makassar, yang hampir setiap bulan selalu berdiri. Ternyata, saat kami singgah di beberapa kafe, ia masih saja populer seperti dulu. Malah, beberapa cewek-cewek seksi sempat histeris melihatnya.

”Kaka...... kenapa baru datang?” teriak seorang gadis dengan pakaian warna merah yang hanya menutupi bagian tertentu di tubuhnya. Kulit gadis itu putih bersih. Saya menahan napas. ”Minta maaf ade. Kaka sibuk,” kata Max.

Saat gadis itu mendekat, Max langsung memeluknya seolah lama tak bertemu. Mereka berciuman di depan saya. Rasanya ingin berpaling, tapi pemandangan ini terlalu menggiurkan. Pemandangannya kontras. Hitam-Putih. Dan Max sangat menikmatinya. Ia menaikkan alis saat mengerling ke arah saya.

Saat itu, saya juga teringat dengan seorang teman bernama La Bula, yang berasal dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara. Seperti halnya Max, ia mudah tergila-gila dengan cewek berkulit putih. Wajah urusan belakangan. Ia tidak peduli dengan soal cantik atau jelek.

Asal yang namanya paha putih, saya pasti mau,” katanya. Posisinya sebagai manager penjualan di satu perusahaan rokok, memberinya kesempatan untuk berkeliling ke banyak daerah di Indonesia timur.

Yang bikin saya heran, di berbagai tempat yang didatanginya, ia tak hanya mencari cewek putih sebagai pasangan bercinta. Ia juga punya syarat lain yakni cewek itu haruslah warga setempat. Lho, apa kaitannya dengan rasa? Apakah ada perbedaan kenikmatan antara cewek setempat dan cewek dari luar? ”Saya juga tidak tahu apa bedanya. Tapi, saya merasa kalau bercinta sama cewek lokal pasti lain rasanya,” katanya.

Bagi saya, seks bukan sekedar perkara hubungan biologis. Seks adalah kebudayaan yang dikonstruksi secara kolektif oleh sebuah masyarakat, ditransmisikan secara turun-temurun dan menjadi pedoman yang mempengaruhi tindakan seseorang dalam satu masyarakat.

Seks adalah kebudayaan yang di dalamnya juga terdapat medan kontestasi kepentingan dan negosiasi makna yang tak habis-habisnya. Dalam hal seks, konsep nikmat-tidak nikmat, konsep cantik-tidak cantik, dan lain-lain adalah konsep yang dibentuk oleh seseorang dan terus dimapankan dalam kebudayaan.

Belajar pada Max dan La Bula, seks dan erotisme bisa berbentuk apa saja yang mengarah pada upaya menimbulkan sensasi seksual. Karena kebudayaan setiap orang berbeda-beda, maka nilai-nilai yang membentuk selera seksual setiap orang juga berbeda.

Seks menjadi relatif. Paha putih bagi Max dan La Bula bisa sangat merangsang. Paha putih bisa sangat erotis dan menimbulkan sensasi seksual. Namun tidak bagi sebagian yang lain. Itulah dinamika pemaknaan terhadap paha putih.

Sahabat saya Herry Yogaswara, seorang peneliti LIPI, pernah menuturkan, hampir setiap tahun terjadi migrasi para pekerja seks komersial (PSK) berkulit putih menuju kawasan Indonesia timur. Masih kata Yogaswara, pada saat gadis-gadis itu masih muda, mereka akan menyerbu Jakarta.

Saat berusia mulai lanjut, mereka lalu menyerbu Indonesia timur sebab selera kebanyakan warga di kawasan ini adalah gadis-gadis yang berkulit putih. Tidak peduli seperti apa cantiknya, dan tidak peduli setua apa usianya.

Maka jangan heran pula ketika muncul fakta-fakta tentang tingginya penderita AIDS di kawasan ini. Mungkin saja karena banyak pria yang tidak peduli bersih atau tidak bersih, sehat atau tidak sehat, sebab yang penting adalah paha putih.

Tiba-tiba saja saya khawatir kalau-kalau Max akan tertular penyakit ganas itu. Saya ingin mengingatkannya. Tapi, apa daya, ia sudah menghilang dalam satu kamar di lantai dua tempat hiburan yang saya datangi.

Tinggallah saya sendiri, duduk di satu meja yang di atasnya masih tersisa sebotol bir dan sebungkus rokok kretek.

Makassar, 18 Januari 2010 

0 komentar:

Posting Komentar