Berkarib Sunyi di Malili

DI sini, di Kota Malili, Luwu Timur, kesunyian adalah karib yang paling setia. Pukul delapan malam, jalanan sudah sunyi senyap, hanya sesekali kendaraan melintas dengan suara yang memekakan telinga. Kota ini sesunyi kuburan cina. Meskipun sesekali nyaris terdengar desau angin pada dedaunan dan pepohonan yang ditingkahi suara jangkrik di pekatnya malam.

Di sini, waktu seakan berjalan lambat. Di siang hari, semuanya menghambur untuk menyelesaikan banyak urusan. Di sini, siang hari adalah bergegas mengumpukan uang, dan malam hari adalah terlelap sunyi di peraduan. Di Kota Malili, kesenyapan adalah sahabat paling dekat. Engkau yang terbiasa bising akan terasing di sini. Sebab tak ada suara hiruk-pikuk dari manusia-manusia yang diperkuda ambisi dan kuasa. Tak banyak deru ambisi, sebagaimana ditunjukkan manusia-manusia tambang yang berdiam di Sorowako. Manusia yang menghamba dirinya pada deru mesin uang dan berleha-leha demi mengatasi lelah memeras fisik.

Di sini, Malili adalah jantng kebudayaan Luwu yang sohor sebagai Athena bagi peradaban di SUlawesi. Luwu adalah sentrum yang memancarkan mata air nilai bagi peradaban Bugis-Makassar. Luwu adalah khasanah kekayaan tradisi yang melahirkan kisah La Galigo yang mengarungi tujuh lautan. Luwu adalah diskusi filosofis tentang manusia, semesta dan Tuhan, yang kemudian memantik lahirnya tradisi dan kearifan nilai bagi bangsa-bangsa di Sulawesi.

Di Malili, kesenyapan adalah refleksi penemuan diri, sebagaimana kisah Sawerigading yang mengarungi samudera demi menemukan diri. Filsafat adalah buah dari berkarib sunyi di malam hari. Filsafat yang menumbuhkan budaya dan jati diri sebagai manusia Bugis.(*)


Malili, 28 januari 2010

0 komentar:

Posting Komentar