Tentang Diri yang Berserak-serak





BARUSAN saya tuntas membaca dua buku Hernowo yakni Mengikat Makna Update dan Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza. Dua buku itu tiba-tiba saja menyalakan sesuatu dalam diri saya. Saya dikepung hasrat yang meluap-luap untuk terus menulis dan melahirkan sesuatu. Saya ingin mengikuti jejak Hernowo, bisa menulis sebanyak-banyaknya. Bukan untuk gagah-gagahan dan agar dipuji orang. Saya menulis untuk diri saya, demi penemuan diri saya sendiri.

Dua minggu lalu --saat menyiapkan berkas beasiswa Ford Foundation--, saya menelusuri semua tulisan saya yang pernah terbit. Betapa bodohnya saya yang tidak punya arsip tentang apa-apa saja yang pernah saya tulis. Akhirnya saya lalu berkunjung ke perpustakaan Unhas demi membuka-buka kliping koran demi menemukan semua tulisan-tulisan tersebut. Saya juga berkunjung ke kantor media yang pernah memuat semua tulisan itu. Saya baru sadar kalau ternyata saya telah menghasilkan tulisan yang sangat banyak. Saya perkirakan tulisan saya sudah lebih angka seribu. Saya tidak sedang bercanda. Tulisan di blog ini saja sudah mencapai 650 tulisan. Padahal ini hanya bagian kecil dari tulisan yang pernah saya hasilkan.

Saya tidak bermaksud narsis dengan tulisan ini. Saya hanya berefleksi tentang sudah sejauh mana upaya mengikat pengertian dan jelajah makna melalui tulisan. Saya setuju dengan Hernowo. Sebuah tulisan adalah sebuah upaya untuk mengikat makna dalam kurun panjang perjalanan kita. Sebuah tulisan bukanlah artefak yang beku atau statis dan tenggelam begitu saja dalam lipatan sejarah. Sebuah tulisan adalah sesuatu yang hidup, terus bergerak, dan menjadi penanda tentang diri yang terus berubah, tentang proses berpikir yang terus bergerak dan tumbuh di sepanjang ruang dan waktu. Dan melalui tulisan-tulisan itu saya serasa menemukan kepingan-kepingan tentang diri saya. Saya menemukan jejak-jejak –tak peduli apakah itu cuma gagasan konyol ataukah gagasan cerdas—yang pernah saya torehkan pada suatu masa.

Pada mulanya, saya hanya seorang mahasiswa yang mulai belajar membaca buku. Tulisan-tulisan awal saya terpampang di Majalah Dinding Acta Diurna yang diterbitkan Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi (Kosmik). Sewaktu masih menjadi mahasiswa baru di Jurusan Ilmu Komunikasi, saya ditunjuk sebagai pemimpin redaksi (pemred) Acta Diurna. Di sinilah pertama kali saya belajar menulis. Bahkan, saya masih ingat –meskipun sudah mulai samar—tentang apa saja yang pernah saya tuliskan di mading ini. Duh! Saya menyesal kenapa tidak mengarsipkan semua tulisan itu.

Selanjutnya, tulisan saya banyak dimuat Majalah Baruga, majalah yang diterbitkan Kosmik Unhas. Di majalah ini, posisi saya adalah sebagai wakil pemimpin redaksi (wapemred). Posisi saya memang wapemred, namun sayalah yang mengendalikan semua liputan dan isi majalah. Saya mereformasi Baruga secara total. Saya mengubah Baruga menjadi majalah mahasiswa yang berkelas dan isinya adalah wacana-wacana yang memusingkan. Saya mengisi sekitar 80 persen majalah dengan tulisan saya sendiri. Saat itu adalah tahun 1998, masa-masa pergolakan mahasiswa. Kota Makassar masih pilu dengan kerusuhan sosial yang menghanguskan banyak rumah warga keturunan Tionghoa. Di semua kota, setiap hari ada demonstrasi yang ingin menumbangkan rezim. Dalam situasi itu, saya menulis edisi khusus di Baruga tentang revolusi sosial. Dalam usia semuda itu, saya sudah membandingkan beberapa revolusi di belahan dunia seperti revolusi Rusia, Perancis, dan Iran. Saya menulis dengan gaya yang memusingkan kepala tentang isu-isu filosofis tentang revolusi. Makanya, saya berani bertaruh bahwa majalah Baruga yang pernah saya bikin itu adalah Baruga yang paling berat sekaligus Baruga terbaik yang pernah dihasilkan. Kalau tak percaya, silakan bandingkan sendiri.

Selanjutnya, saya menulis di Identitas, tabloid mahasiswa Unhas. Sepanjang masa perkuliahan saya, mulai tahun 1997 sampai tahun 2003, saya telah menulis lebih dari 30 esai dan opini. Pernah, Identitas menurunkan laporan tentang Marxisme pada tahun 1999. Tulisan saya dijadikan sebagai tulisan pembuka yang mengantarkan wacana. Foto saya dipajang. Keesokan harinya, saya mulai dimata-matai oleh banyak tentara gara-gara tulisan itu. Apalagi, ada seorang dosen yang menakut-nakuti saya. Gara-gara tulisan itu, saya harus selalu sembunyi dari kampus.

Minggu lalu, saya berkunjung ke kantor Identitas demi menemukan kembali arsip-arsip itu. Tulisan itu menjadi mesin waktu yang melontarkan saya ke masa-masa kuliah dulu, saat pikiran saya masih segar dengan bacaan-bacaan. Pada masa kuliah, saya begitu tergila-gila dengan tema filsafat sampai-sampai, sebagian besar dari tulisan saya adalah menyangkut tema-tema filsafat yang memusingkan. Dulunya, tulisan saya dibimbing oleh pergulatan saya pada wacana filosofis yang berat-berat, bukannya sesuatu yang berasal dari pengalaman atau kontemplasi saya atas sesuatu.

Pada masa itu, saya punya definisi sendiri tentang tulisan yang bagus, sesuatu yang saya anggap lucu di masa kini. Pada masa itu, saya menganggap sebuah tulisan yang bagus adalah tulisan yang tidak dimengerti saking beratnya, penuh pergulatan filosofis, dan penuh kutipan. Semakin pusing membacanya, maka semakin bagus. Saya belum bisa membedakan mana tulisan yang menyentuh dan inspiratif, dan mana tulisan yang buruk karena terlalu berat. Itulah diri saya pada masa itu yang masih mendewa-dewakan hal-hal yang “berat-berat.”

Tulisan saya lebih banyak essai. Pada tahun 2002, Identitas lalu menerbitkan buku berjudul “Saya Halimah dari Pidie.” Isinya adalah jejak karya sastra yang dihasilkan mahasiswa Unhas di sepanjang periode 1990-an. Betapa bangganya saya ketika essai saya yang berjudul Hegemoni, dipilih menjadi essai pembuka. Mungkin inilah buku pertama yang pertama memuat tulisan saya.

Tahun 2003 saya keluar dari kampus dan langsung diterima bekerja sebagai jurnalis di Harian Tribun Timur, perusahaan penerbitan di bawah bendera Kelompok Kompas Gramedia (KKG). Hasrat menulis saya kian tersalurkan. Di harian ini, saya diberi kebebasan untuk menulis dengan gaya apapun yang saya suka. Malah, pada tahun 2004 hingga 2006, saya diberi wewenang untuk mengelola liputan khusus sebanyak satu halaman koran selama tiga kali seminggu. Malah pernah seminggu penuh. Bayangkan, jika dalam satu halaman saya menulis sebanyak empat atau lima tulisan, maka hitung sendiri berapa tulisan yang saya buat dalam sebulan. Dalam dua tahun saya menjadi jurnalis, kira-kira saya menulis lebih seribu tulisan. Saya tidak sedang bercanda. Inilah batas pencapaian saya yang tertinggi dalam menulis. Periode 2004-2006 saat menjadi jurnalis adalah periode paling produktif dalam rentang panjang perjalanan saya. Sayang sekali, saya tidak punya arsip atau koleksi atas tulisan itu.

Saat membuka arsip liputan koran di Perpustakaan Unhas, saya menyadari tentang betapa luasnya tema-tema yang pernah saya tulis. Mulai dari isu politik, sosial, budaya, hingga isu-isu agama Islam. Bahkan, saat bertugas di Jakarta, saya sering dapat liputan hiburan, liputan artis bersama para jurnalis (?) infotainment, serta liputan bencana. Satu hal yang menjadi obsesi saya yang tidak kesampaian adalah liputan perang. Duh, betapa bahagianya bila sempat meliput perang. Pasti menantang adrenalin.

Setelah berhenti dari pekerjaan jurnalis, saya melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana di UI. Mulailah blog ini saya maksimalkan. Saya mulai rajin menulis catatan harian hingga kini. Saya juga mulai menulis opini di beberapa media. Saya juga mulai keranjingan menulis di facebook. Dan betapa bahagianya saya ketika langsung terjadi interaksi dengan mereka yang membaca tulisan saya. Hingga akhirnya saya mulai berani menulis hal-hal yang menyangkut daerah. Saya lalu menjadi editor atas dua buah buku yakni Menyibak Kabut di Keraton Buton, serta buku Naskah Buton, Naskah Dunia.

Saat saya merefleksi pengalaman menulis itu, saya menemukan fakta bahwa tulisan saya bergerak dari tema-tema abstrak yang filosofis menuju pada tema-tema yang khusus atau spesifik. Saya memulai latihan menulis dari tema-tema yang demikian abstrak seperti filsafat. Mungkin ini adalah bagian dari proses penemuan diri dan pencarian bentuk-bentuk tulisan yang nyaman untuk melepaskan kepenatan berpikir. Saya banyak membaca buku tentang kiat menulis. Namun, pada akhirnya saya sadar bahwa setiap orang punya jalan sunyi masing-masing di dunia tulisan. Semua orang bisa menemukan sendiri jalannya. Makanya, diskusi tentang proses kreatif penulisan mesti dipergencar demi inspirasi dan menemukan jalan sunyi menulis tersebut.

Kini, saya ingin lebih membumi. Saya ingin membalik proses yang pernah saya jalani di masa awal belajar menulis. Saya ingin menulis kenyataan-kenyataan sehari-hari yang saya lakoni, untuk selanjutnya saya refleksi menjadi catatan-catatan ytang berharga dan mencerahkan. Ringkasnya, kalau dulu saya menulis tema filosofis, maka sekarang sebaliknya. Saya ingin memulai dari hal-hal yang sederhana, kemudian menyusun argumentasi dan penalaran dari hal-hal yang sederhana tersebut. Saya ingin mereproduksi pengetahuan melalui hal-hal yang sederhana tersebut.

Kalau ditanya kenapa suka menulis? Jawabannya adalah karena menulis adalah upaya untuk mengabadikan semua pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki. Menulis adalah proses yang tumbuh dan menjadi. Menulis adalah catatan-catatan yang mengantarkan saya pada proses penemuan diri. Menulis adalah upaya menautkan semua kepingan-kepingan tentang diri saya yang berserak-serak seiring ruang dan waktu. Menulis adalah upaya menangkap makna, menjeratnya dan mengabadikannya.

Demikian refleksi saya setelah ‘terbakar’ usai membaca buku Hernowo.(*)

2 komentar:

darmawati alimuddin mengatakan...

kak yusran di manaki beli itu buku mngikat makna karya hernowo???ada juga orang yang titip dibelikan buku itu..eh, pas saya baca di blogta' saya jadi semakin penasaran sama isi buku itu...

Anonim mengatakan...

tulisanta' bro...betul-betul menginspirasi alam bawah sadar saya untuk mencoba memulai menulis. Walaupun itu cuma sekedar menulis ala kadarnya

Posting Komentar