AVATAR, Petaka Sains, dan Rasa Bersalah



HARI ini, ada berita yang mengejutkan di harian Kompas. James Cameron berhasil meraih penghargaan Golden Globe Awards sebagai sutradara terbaik dalam film Avatar. Ia dianggap sukses membuat sebuah film dahsyat yang pekan ini telah dinobatkan sebagai film kedua terlaris dalam sejarah perfilman dunia. Film Avatar hanya terpaut sedikit dari film terlaris sepanjang masa yakni Titanic yang juga disutradari oleh James Cameron sendiri.

Ia dianggap punya visi yang jenius dalam menggarap sebuah film. Ia rela menunggu bertahun-tahun sejak tahun 1994 untuk menggarap Avatar. Saat itu, ia sabar untuk menunda pembuatan film itu sebab teknologi perfilman yang ada belum bisa mewujudkan visinya. Setelah menunggu bertahun-tahun, barulah ia membuat Avatar dan langsung heboh sebagai film terlaris kedua dalam sejarah perfilman.

Dalam berbagai liputan tentang Avatar, terlampau sering saya membaca analisis tentang visi Cameron serta kepemimpinannya yang hebat dalam mengarahkan film ini. Terlampau sering saya menemukan berita yang membahas canggihnya animasi serta kompugrafik yang ditampilkan dalam film ini. 

Cameron seolah menciptakan dunia. Di dalamnya ada tumbuhan, spesies binatang, dan manusia yang punya kebudayaan serta visi baru tentang kehidupan yang harmoni dengan semesta. Saya juga sering menemukan berita yang menyebutkan bahwa film ini telah merevolusi cara-cara orang membuat film. Cameron telah membuat sebuah lompatan berpikir dalam dunia sinema, semacam pencapaian jejak baru yang diramalkan akan banyak diikuti para sineas lainnya.

Saya menilai analisis itu sah-sah saja, meskipun saya menganggap itu tidak substansial. Bagi saya, kecanggihan teknologi hanyalah sebuah aksesori semata yang mempercantik tampilan visual agar mencolok mata alias enak dipandang. Di luar dari kehebatan teknologi itu, ada satu hal substansial yang telah dibidik Cameron dan membuat film ini ditonton jutaan orang. Film ini telah menyentuh sisi-sisi kemanusiaan seseorang sekaligus menohok rasa bersalah bangsa-bangsa besar yang mengklaim dirinya lebih maju dan lebih beradab sehingga berhak untuk mendefinisikan mana yang layak dan mana yang tidak layak.

Avatar adalah diskusi filosofis yang menyentuh substansi posisi manusia terhadap sesamanya. Sejak manusia menemukan sains sebagai pelita peradaban, manusia didera keangkuhan dan memandang dirinya sebagai subyek dan melihat yang lain sebagai obyek. Dimulai sejak filsuf Rene Descartes mengumandangkan mantra ampuhnya Cogito Ergo Sum yang bermakna “Aku ada maka aku berpikir,” manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan mendefinisikan alam semesta dan manusia lain sebagai “sesuatu yang lain”, sebagai obyek yang harus ditundukkan. 

Pantas saja, sejarah ilmu pengetahuan (sains) modern adalah sejarah penaklukan dan peperangan atas manusia lainnya. Sains adalah petaka bagi manusia lainnya.

Atas nama sains, manusia melabel manusia lain sebagai bangsa yang bodoh dan tidak beradab. Atas nama sains, manusia menganggap dirinya sebagai pemilik otoritas untuk mengelola alam semsta dan mengendalikannya, lalu menciptakan senjata-senjata pemusnah dan menyingkirkan sesama. 

Film ini menyajikan dialog-dialog filosofis tentang kejenuhan atas sains dan lahirnya pandangan holistic yang melihat kesatuan manusia dan alam, sebagaimana pernah dikemukakan fisikawan Fritjof Capra. Di dalamnya ada ejekan atau olok-olok atas keangkuhan kita, dan betapa arifnya bangsa-bangsa –yang kita sebut primitif—namun telah mempraksiskan keselarasan dengan alam semesta.

Rasa Bersalah

Saya menganggap bahwa apa yang disajikan dalam film Avatar bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa film telah memulai tema itu, bahkan dengan bahasa yang lebih menohok. Misalnya Dances With Wolves (DWW) yang dibintangi Kevin Costner, yang telah membangkitkan rasa bersalah orang Amerika Serikat atas sejarah kelam nenek moyangnya yang membantai suku Indian. DWW telah ‘mengobrak-abrik’ tatanan berpikir bangsa Amerika tentang apa yang beradab dan tidak beradab, sekaligus menohok rasa bersalah. Ternyata, selama ini bangsa Amerika membangun peradaban yang berlumuran darah. Ternyata selama ini, para ekstrimis dari bangsa Indian –yang disebut primitif itu—adalah para pahlawan kemanusiaan yang hanya bertahan hidup dan menjaga kesatuan wilayah ulayatnya. Film lain yang segenre dengan DWW adalah The Last Mohicans, tentang bangsa Indian yang tersingkir. Juga film The Last Samurai tentang para samurai Jepang.

Berbeda dengan film-film tersebut, Avatar tidak menunjuk satu bangsa manapun yang pernah ada. Ia menyajikan konflik di Planet Pandora yang dihuni oleh bangsa Navi yang pola hidupnya masih tradisional. Pertanyaannya, mengapa pula Avatar dianggap membangkitkan rasa bersalah sementara ia tidak spesifik menyebut satu bangsa? 

Seminggu setelah Avatar tayang di bioskop, saya membaca ulasan yang menarik di yahoo.com. Saat itu, ada ulasan yang menyebut Avatar memiliki hidden message (pesan tersembunyi). Dari berbagai komentar orang-orang, saya menilai Avatar menjadi ikon yang bebas interpretasi. Semua orang menafsirkannya sesuai dengan apa yang dipikirkannya. 

Banyak yang menilai Cameron menggunakan bahasa metaphor untuk menelanjangi prilaku bangsa Amerika di negara-negara dunia ketiga. Kalimat-kalimat seperti kita lawan “teror dengan terror,” dan beberapa kalimat lainnya adalah kalimat yang sepantasnya ditujukan pada Amerika Serikat (AS) yang membuat teror atas nama perdamaian di banyak tempat.

Sebuah Template

Saya setuju dengan semua komentar tersebut. Meski Cameron tidak spesifik menunjuk ke satu bangsa, namun ia telah menyediakan sebuah template yang kemudian digunakan orang-orang untuk menuding di sana-sini, termasuk menuding diri sendiri. 

Dalam pahaman saya, sebuah metaphor memberikan keluasaan untuk melihat itu dari banyak sisi. Maka keserakahan dan keangkuhan itu bisa saja dialamatkan kepada siapa saja yang masih melihat sesamanya dengan sebelah mata. Cameron sedang menyajikan sebuah peta tindakan sosial, yang di dalamnya terdapat dongeng klasik tentang para pendatang yang lebih beradab dan merasa lebih pintar.

Saya bisa merasakan visi yang sangat kuat tentang keselarasan manusia dan alam dalam film ini. Bangsa Navi mewakili pandangan dunia yang melihat alam sebagai rumah besar di mana manusia adalah bagian kecil di dalamnya. 

Manusia tidak menjarah alam, manusia hanya meminjam sesuatu, dan kelak akan mengembalikan sesuatu tersebut kepada alam semesta. Saya tidak terkejut dengan kearifan bangsa Navi yang melihat dirinya menyatu dengan semesta. Bagi saya, gagasan seperti itu sudah banyak disuarakan para antropolog yang banyak menuliskan kearifan local (local genious) dari banyak suku bangsa yang berumah di rumah besar bernama hutan belukar. 

Pada akhirnya, seperti tadi telah saya katakan, Avatar telah membangkitan rasa bersalah dan keangkuhan manusia modern atas kemajuan sains yang kemudian dihinggapi keserakahan untuk mengeruk semua kekayaan di mana-mana. Atas nama ilmu pengetahuan, manusia modern telah menyingkirkan sesamanya yang disebut primitive, justru dengan cara-cara yang primitif pula. 

Mungkin, film ini mewakili visi baru sains yang lebih beradab, lebih mengembangkan dialog, di mana manusia saling membangun jembatan hati dengan sesamanya, dan dengan alam semesta.(*)


0 komentar:

Posting Komentar