Kemiskinan Kreativitas


SETIAP kali menonton televisi, saya selalu merasa dibodoh-bodohi. Televisi kita punya banyak persamaan dengan partai politik. Keduanya sama-sama tidak punya "kelamin" yang jelas. Maksudnya: keduanya sama-sama berorientasi pasar sehingga tidak bisa memosisikan dirinya dengan baik dalam dinamika persaingan demi memenangkan pasar tersebut.

Malam ini, saya menonton dua tayangan yang sejenis di televisi berbeda. Saya menyaksikan "Pilihan Mama" di RCTI, serta "Tek Tek Bom" di stasiun Indosiar. Kedua tayangan ini mengingatkan saya pada tayangan di Indosiar yakni “Take Me Out Indonesia”. Semua acara tersebut adalah ajang cari jodoh bagi pria dan wanita singel. Perbedaannya hanya sedikit. "Pilihan Mama" tidak cuma menampilkan perempuan saja, melainkan di temani ibunya. Mama dan putri inilah yang kemudian memilih pria yang datang. Sementara tayangan “Tek Tek Bum” lebih menonjolkan nuansa komedi. Tapi sama-sama ajang pencarian jodoh.

Mungkin ada soal besar yang tengah melanda semua stasiun tivi. Semuanya sama-sama miskin kreativitas. Stasiun televisi kita tidak terbiasa menciptakan program yang baru dengan tayangan yang inovatif dan menghibur. Televisi kita hanya bisa menjiplak saja sebuah tayangan yang populer. Itupun sebuah tayangan populer itu, kadang-kadang tidak orisinil dari negeri ini. Buktinya, tayangan Take Me Out Indonesia itu adalah acara televisi yang diadaptasi dari tayangan asing.

Banyak orang yang mengatakan mungkin ini adalah pengaruh pasar. Televisi hanya mengincar program yang kira-kira diminati pasar. Jika itu asumsinya, apakah pasar memang selalu mengendaki tayangan yang dangkal? Saya tidak yakin. Saya yakin pasar cukup cerdas dalam merespon mana tayangan yang bagus dan tidak bagus. Ini adalah perkara kemiskinan kreatifitas sehingga televisi kita hanya mereproduksi acara yang seragam saja.

Lagian, jika pasar yang selalu dituding, lantas mengapa di negara seperti Amerika Serikat (AS) –yang mendewakan pasar—justru lahir banyak film berkualitas? Bukankah pasar juga punya kemampuan menyeleksi mana tayangan yang bagus dan tidak bagus? Mestinya dinamika pasar itu akan menjadi kawah candradimuka yang melahirkan karya-karya yang bagus. Tapi di negeri ini justru sebaliknya. Pasar lebih sering diperlakukan sebagai kambing hitam yang seolah-olah pasif saja ketika dijejali dengan aneka tayangan televisi.

Saya lebih sepakat dengan argumentasi tentang miskin kreativitas. Seorang teman yang bekerja di satu stasiun televisi sering menceritakan tentang minimnya para penulis skenario. Katanya, di Indonesia, para penulis skenario yang bagus makin menjadi hal yang langka. “Penulis skenario yang bertahan adalah yang itu-itu saja, dengan kualitas yang buruk,” katanya.

Mungkin juga stasiun televisi kita harus berani dalam bereksperimen dengan program televisi. Tidak cuma pasrah saja dengan tayangan yang buruk. Tidak cuma bisa berdalih bahwa ini adalah keinginan pasar.(*)

0 komentar:

Posting Komentar