La Mane, Joged, dan Kebebasan

SEMALAM saya melintas di Jalan Betoambari, Bau-Bau. Tepat di depan Gedung Pengadilan, saya menyaksikan banyak motor yang diparkir di tepi jalan. Banyak orang yang menyemut di situ dan tatapannya mengarah ke satu titik. Mereka rata-rata adalah anak-anak muda usia 20-30 tahun. Saya penasaran lalu singgah. Ada apakah?

Ternyata di lapangan kecil di dekat situ sedang berlangsung acara joged. Pantas saja, musik dangdut mengalun keras dari sound system yang terpasang di beberapa titik. Di lapangan kecil itu, terdapat arena yang dipenuh anak muda yang sedang berjoged. Saat lagu dangdut ciptaan Rhoma Irama diputar, anak-anak muda itu langsung berjoged. Mereka berpasang-pasangan, meskipun ada juga yang pasangannya adalah sesama jenis. Mungkin mereka sangat menikmatinya. Buktinya, beberapa orang berjoged sambil menutup mata. Asyik…



Anak-anak muda itu mengenakan pakaian terbaik. Saya melihat banyak yang mengenakan pakaian mahal –yang kerap dikenakan warga kota besar. Ada merek Louis Vitton, Dolce, hingga La Coste. Saya sudah terbiasa menyaksikan merek itu dikenakan di daerah. Bahkan seorang penjual ikanpun bisa mengenakan pakaian yang merknya bisa bikin stres orang kota yang melihatnya. Maklum saja, di daerah seperti ini banyak pakaian bekas pakai yang diimpor. Biasanya pakaian itu datang dari Pulau Wanci di Wakatobi. Tak masalah, bekas pakai atau tidak. Yang jelas, mereknya gaya. So, jangan heran kalau melihat anak-anak muda di Pulau Buton yang memakai pakaian impor. Itu biasa.

Kembali ke acara joged. Anak-anak muda yang saya saksikan ini amat gembira ketika berjoged. Joged menjadi ajang untuk bertemu semua rekan-rekan sejawat, juga menjadi arena untuk mengekspresikan dirinya. Melalui joged, mereka memperkukuh kembali ikatan-ikatan sosial dan memperbaruinya ketika ikatan itu sudah mulai longgar. Melalui joged, mereka sedang meneriakkan kebebasan. Tidak mengapa meskipun gerakannya patah-patah dan asal-asalan. Yang penting bisa masuk arena dan berjoged riang. Joged menjadi arena pelepasan dari kepenatan menjalani hidup. Joged adalah ekspresi kebebasan.

Pada masa sekolah dulu, saya juga sering mendatangi acara joged seperti ini. Rata-rata teman bermain saya adalah para pejoged handal. Meskipun saya bukan pejoged handal, namun saya menikmati suasana di mana kita anak-anak muda bebas mengekspresikan diri. Di daerah kecil seperti ini, tak banyak hiburan yang ditemukan di malam hari. Makanya, saat acara joged digelar di satu tempat, maka berduyun-duyunlah para anak muda untuk menghadiri acara joged.

Di sekeliling acara joged, terdapat banyak kursi yang berjajar rapi. Di kursi itu duduklah para perempuan. Ketika seorang perempuan duduk di situ, maka ia harus siap menerima ajakan joged dari siapapun, tak peduli seperti apa tampannya yang mengajak joged. Ada semacam aturan dan etika yang mengatur acara joged ini. Seorang perempuan –bahkan yang paling manis sekalipun—tak boleh pilih-pilih ketika duduk di kursi itu. Ketika ia menolak ajakan joged seseorang dan menerima seseorang yang lain, maka sikap itu akan memicu perkelahian. Beda halnya ketika ia tidak duduk di kursi dan hanya berdiri saja di sekitar lapangan bersama sang pacar.

Yang saya herankan, informasi tentang acara joged ini tersebar cepat bak api yang membakar bensin. Entah siapa yang menyebarkan, yang jelas informasi tentang joged dengan cepat merambah kampung-kampung. Padahal, tak ada pamflet, tak ada undangan. Tak ada pula pemberitahuan tentang acara joged. Tak ada iklan di media massa. Ini kan kampung. Iya nggak? Lantas, dari mana mereka tahu tentang acara joged?

Sewaktu di bangku sekolah menengah pada tahun 1990-an, saya mengenal seorang teman bernama La Mane. Meski usianya belasan tahun, tubuhnya sudah kekar dan berkulit hitam legam. Mungkin ini pengaruh kerja kasar yang dilakukannya setiap hari. Ia tinggal di depan SMEA Bau-Bau. Ia putus sekolah di bangku SMP. Meski kerja kasar, setiap hari ia selalu punya waktu untuk bersenang-senang dan menjadi tamu tetap di semua acara joged. Gerakannya juga mantap.

Pada beberapa acara joged yang saya hadiri, La Mane selalu diundang untuk membuka acara. Bukannya berpidato pembukaan sebagaimana pejabat. Pembukaan acara joged diawali dengan musik keras, arena dikosongkan, dan disitulah La Mane berjoged sendirian. Gerakannya ekspresif seperti pemuda negro yang breakdance dalam video musik Amerika. Hebatnya, La Mane tak segan-segan melakukan atraksi akrobatik demi memancing tepuk tangan dan decak kagum para gadis. Pernah sekali waktu, saya melihat La Mane berguling-guling di lantai. Saya tak menemukan keindahan estetik dari gerakan itu. Tapi, smeua orang bertepuk tangan. Aneh.

Nah, La Mane ini adalah ensiklopedi berjalan yang selalu punya informasi tentang acara joged. Diundang atau tak diundang (lagian, tak ada undangan) ia selalu hadir. Pada masa ketika belum ada telepon genggam, La Mane menjadi gudang informasi untuk mengetahui di mana saja acara joged. Saya selalu heran dengan kecepatannya mendapat informasi. Tapi, saya sekaligus senang ketika datang bersamanya di acara joged. Meskipun di siang hari ia menjadi tukang batu, namun di acara joged, La Mane adalah superstar dengan banyak penggemar. Cewek-cewek menyapanya dan ingin joged dengannya. Banyak yang histeris menyebut namanya ketika sedang berjoged. Ia tenar, setenar vokalis Soneta Grup yang sedang manggung. Arena joged adalah catwalk di mana La Mane mengekspresikan dirinya dengan gagah.

Semalam di acara joged yang saya datangi tersebut, saya mencari La Mane. Puluhan tahun merantau dan kembali ke kampung, saya merindukan sosok La Mane di acara joged. Pastilah ia sudah berusia 28 atau 29 tahun. Saya dan dia sudah bukan lagi usia remaja yang masih suka dengan acara joged. Mungkin ia sudah menikah dan malu tampil di acara joged. Apakah ia masih menjadi tukang batu? Saya tak tahu. Tapi, di tengah arena itu saya menyaksikan seorang pria berkulit hitam legam yang berjoged dengan ekspresif. Setiap gerakannya selalu disambut dengan histeris. Ia mirip Shahrukh Khan, bintang India yang berjoged dalam film Kuch Kuch Hota Hai. Tapi pemuda yang saya saksikan ini berkulit hitam legam. Saya lalu mendekat. Tak peduli berapa orang yang saya sikut untuk bisa sampai ke tengah arena. Saya lalu memperhatikan dengan cermat. Ternyata, pria itu adalah La Mane..!!




0 komentar:

Posting Komentar