Membedah ”Pelecehan” Atas JK


KEMARIN, Ruhut Sitompul menyapa JK dengan panggilan "Daeng" dengan intonasi menuding. Publik Sulawesi Selatan (Sulsel) meradang. Hampir semua koran-koran lokal menurunkan liputan yang berisi kegeraman. Panggilan itu dianggap tidak beretika. Bahkan beberapa pengurus Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS) di banyak daerah ikut-ikutan bereaksi. Semuanya menganggap bahwa Ruhut Sitompul --politisi Partai Demokrat-- telah melecehkan Jusuf Kalla (JK).

Saya pun ikut terseret dalam kegeraman itu. Apalagi saat ikut membincangkan itu bersama teman-teman di beberapa warung kopi di Jalan AP Pettarani, Makassar. Lama kelamaan, kegeraman itu mulai mencair. Saya mulai berpikir lain. Saya lebih melihat masalah ini dengan kacamata politis. Ketika sesuatu dipolitisir, maka sesuatu yang sederhana bisa menjadi rumit dan dianggap pelecehan. Ketika politik menjadi paradigma dalam melihat sesuatu, maka yang dikedepankan adalah konflik. Dan melalui konflik itu pulalah bisa disingkap peta realitas sosial yang sesungguhnya. Kita bisa tahu apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik sebuah fenomena.

Secara kultural, panggilan "daeng" memang ditujukan kepada seorang pria sebagai bentuk penghormatan. Ini sama saja dengan panggilan "mas" di Jawa sana. Ketika memanggil "daeng" maka seseorang tersebut akan merasa tersanjung dan dituakan. Akan tetapi, ini semua tergantung pada yang dipanggil, apakah ia merasa terhormat, ataukah merasa tersinggung dengan panggilan itu. Jika Anda sempat ke Makassar hari ini cobalah menyapa seseorang dengan panggilan "Daeng". Perhatikan reaksi orang tersebut. Boleh jadi, orang yang dipanggil tersebut akan tersinggung.

”Kau pikir saya tukang becak?” demikian kata seorang kawan yang disapa daeng. Saat ini, panggilan daeng lebih banyak ditujukan pada profesi tukang becak, sopir angkutan, atau penjual ikan.. Panggilan itu seolah menunjukkan strata sosial yang rendah dan menempati posisi buncit dalam hierarki masyarakat Bugis-Makassar. Panggilan daeng juga identik dengan sikap menutup diri pada modernisasi dan penghambaan secara berlebihan pada tradisi. Panggilan itu mulai identik dengan ketidakberdayaan ekonomi dan sosial, sesuatu yang sangat berbeda dengan masa silam. Pantas saja, di masa kini, sejumlah teman yang berdarah bangsawan dan mewarisi nama daeng justru malu memasang nama daeng di depan namanya.

Tapi, situasinya berbeda dengan saat berada di Jakarta. Saat merantau ke Jakarta, saya merasakan bahwa panggilan daeng ini menjadi sapaan yang lazim di kalangan mereka yang berasal dari Sulsel. Panggilan ini menjadi penanda, semacam penegasan bahwa kita berasal dari daerah yang sama, maka kita adalah saudara. Di Jakarta, seorang warga Sulsel yang memanggil sesamanya dengan panggilan daeng, dianggap sangat sopan dan menghargai sesamanya. Panggilan itu adalah pernyataan bahwa kita sesama saudara seperantauan yang saling menghormati. Jika kemudian warga etnis lain ikut-ikutan memanggil ”daeng”, maka itu dianggapnya sebagai panggilan kehormatan. Padahal, boleh jadi akan lain ceritanya jika orang lain yang memanggil.

Saya tahu persis bahwa JK sering disapa daeng oleh sesamanya di Jakarta. Saya pernah berbincang dengan politisi Ulla Nuchrawati, anggota DPR RI asal Partai Golkar. Ia sering bercerita tentang pertemuannya dengan JK. Saat ia berbincang dengan JK, ia akan memanggil dengan daeng. Tak ada yang salah dengan panggilan itu sebab merupakan bentuk penghormatan dan pernyataan bahwa kita sesama saudara.

Jika belakangan panggilan Ruhut menimbulkan reaksi, mungkin itu dikarenakan karena intonasinya yang seakan melecehkan. Ia seolah sedang menginterogasi, dan beberapa kali mengulang kata Daeng Jusuf Kalla. Dengan intonasi seperti itu, sah-sah saja jika orang Sulsel menganggapnya pelecehan. Orang Sulsel seperti mendengar bentuk panggilan yang mengerdilkan, seolah strata JK adalah bangsa tukang becak atau sopir angkutan. Panggilan itu seolah memandang remeh, tanpa melihat status JK sebagai seorang mantan wakil presiden, seorang yang terkemuka dalam dinamika politik Sulsel.

Tapi, lagi-lagi ini adalah soal politik. Dalam dunia politik, segala sesuatu bisa menjadi jungkir-balik sesuai dengan kepentingan. Tatkala Ruhut melecehkan, maka para politisi Sulsel ikut-ikutan mengecam Ruhut. Leceh-melecehkan dan kecam mengecam sudah lama menjadi hal yang lazim dalam dunia politik kita. Hari ini mengecam, maka besok bisa akur lagi ketika kepentingan politiknya bersisian. Itu sih biasa.

Mungkin, politisi Sulsel adalah politisi yang paling mudah tersinggung. Saya tidak asal berasumsi. Pengalaman selama puluhan tahun tinggal di kota Makassar, cukup memberi saya pelajaran tentang watak para politisi di Sulsel. Mereka mudah sekali sensitif dan tiba-tiba saja mengatasnamakan etnis Bugis-Makassar. Dan publik juga mudah sekali terseret. Nampaknya, ketika menyebut ”Bugis-Makassar” akan membawa getar dan impresi tersendiri. Publik gampang bereaksi ketika Bugis-Makassar dibawa-bawa. Mereka tidak lagi menalar apa yang terjadi. Mudah dipermainkan emosinya.

Beberapa bulan lalu, saat Alifian Mallarangeng berpidato dan mengatakan orang Bugis belum waktunya jadi presiden, tiba-tiba semuanya ribut. Seiring waktu, ”penghinaan” Alifian Mallarangeng itu cepat tersaput angin. Semuanya sudah lupa dengan apa yang diucapkannya. Malah, saat Alifian menjadi menteri dan berkunjung ke Makassar, banyak orang yang menyambut dan mengelu-elukannya. Ia disambut seperti pahlawan yang menang perang.

Saya tidak tahu, apakah ini mencerminkan kuatnya nuansa primordialisme ataukah tidak. Saya lebih melihat sentimen primordialisme ini hanya ditempatkan sebagai pengabsah atas satu tindakan politik. Elemen kultural di sini hanya menjadi unsur yang diangkat demi membangkitkan sesuatu, semacam rasa bersama bahwa kita adalah bangsa Bugis-Makassar yang mesti seiring-sejalan dan menyatakan kegeraman atas pelecehan yang kita alami. Para politisi di Sulsel cukup pandai mempermainkan sentimen tersebut.

Namun, benarkah semua warga yang menyebut dirinya Bugis-Makassar merasa dilecehkan? Saya tidak yakin. Seorang bapak asal Makassar yang menjadi penjual martabak langganan saya malah sinis dan tidak peduli dengan apa yang disebutnya ”pelecehan” itu. Ia sangat bijak ketika mengatakan bahwa seiring waktu semuanya akan cair kembali. ”Liatmi saja bulan depan. Pasti normalmi lagi itu,” katanya dengan cengengesan. Luar biasa, saya tersentuh dengan tuturannya.

Saya lebih melihat ini sebagai politik identitas. Nampaknya, hasrat yang kuat pada bidang politik yang menghinggapi sejumlah elit politik Sulsel untuk bertarung di level nasional, memunculkan tindakan yang selalu hendak menyeret orang lain –sesama etnis-- untuk masuk dalam kepentingannya. Mereka sengaja memunculkan isu identitas demi memaksimalkan dukungan publik pada dirinya. Pada titik ini, emosi kultural gampang disulut sehingga menimbulkan solidaritas. Bahkan, mereka juga dengan gampangnya mengatasnamakan warga Indonesia timur lainnya, meskipun tidak pernah ada konsensus sebelumnya dengan etnik lain. Tiba-tiba saja lahir pengklaiman yang boleh jadi mucul akibat arigansi kultural bahwa dirinya adalah yang paling maju dan paling mapan di Indonesia timur. Kita bisa lihat dalam isu Sulawesi merdeka, atau isu federasi Indonesia timur, di mana Sulsel mengklaim diri sebagai lokomotifnya.

Namun sayangnya, semuanya hanya sesaat demi melakukan bargaining politik. Di dalam negeri Sulsel sendiri, kemiskinan menjadi-jadi. Sampai-sampai ada warga yang mati gara-ara kelaparan. Para politisi sibuk mereproduksi isu. Dan sekian waktu berikutnya, isu itu akan memudar tersaput angin dan publik tidak pernah tahu apa yang selanjutnya terjadi. Apakah ada negosiasi ataukah penyelesaian lewat tawar-menawar. Entahlah. Saya lebih melihat ini sebagai pembodohan atas nama identitas etnik. Terserah, orang lain mau menilai apa.


Makassar, 16 Januari 2010

0 komentar:

Posting Komentar