kegiatan Teman Ahok |
POLITIK adalah seni
mengelola berbagai kemungkinan. Di Jakarta, politik adalah soal siapa yang
memegang prinsip lalu kukuh menjaga prinsip itu hingga akhir. Dinamika politik
yang paling menarik belakangan ini adalah posisi PDIP yang mulai gamang dan
perlahan menawarkan berbagai cara agar Basuki Tjahaja Purnama (kerap disapa Ahok) agar kembali bersedia dicalonkan partai.
Jelas, posisi Ahok di
atas angin, berbeda halnya dengan beberapa bulan silam saat dirinya ditampik
partai banteng itu. Namun berubahnya sinyal PDIP itu bisa ditafsir sebagai
resultan dari kajian internal mereka bahwa saat ini Ahok tak terbendung lagi.
Jika PDIP tak ikut kereta ini, maka perlahan akan dilibas, dan berdampak pada
pemilu lalu pilpres. Bagi Ahok sendiri, ini momentum untuk tampil ke permukaan
sebagai politisi yang sukses melalui berbagai jeruji dan duri dunia politik.
Bukan tak mungkin,
dirinya akan terus melesat hingga kelak akan mendampingi Joko Widodo di posisi
tertinggi republik ini.
***
ANGIN itu perlahan
mulai berubah. Beberapa bulan lalu, ia menjadi bahan tertawaan saat memberikan
tenggat ke partai sebesar PDIP untuk menentukan sikap apakah hendak mendukung
dirinya atau tidak. Ia dianggap tidak tahu diri sebab berani-beraninya memberikan
batas kepada partai pemenang pemilu, partai yang melewati berbagai dinamika
zaman.
Namun, Ahok seakan
tak bergeming. Ia sudah mengkalkulasi sejauh mana peluangnya, lalu menentukan
sikap dengan cepat. Ia menyatakan sikap untuk maju sebagai calon independen,
lalu menyilahkan semua relawan untuk bergerak cepat. Ahok tak berhenti di situ.
Ia terus menjalankan berbagai agendanya untuk menata Jakarta, di tengah
berbagai kritik serta hujatan atas gaya kepemimpinannya.
Sejatinya, partai
banteng itu hendak memberi dukungan buat Ahok. Hanya saja, mekanisme internal
partai memang tidak semudah itu memberikan kursi dukungan ke arena pilkada.
Untuk momentum politik sebesar Jakarta, PDIP jelas membutuhkan restu dari
Megawati Soekarnoputri yang sejauh ini punya insting politik yang kuat. Ketika
Mega belum menyatakan dukungan pada siapapun, partai memilih untuk diam.
Dinamika politik
menjadi semakin menarik saat partai-partai seperti Nasdem dan Hanura berani
menyatakan sikap di belakang Ahok. Pernyataan sikap itu didasari kajian
internal mereka tentang popularitas Ahok yang terus menjulang. Sahabat saya di satu partai politik pernah menunjukkan hasil survei dan kajian internal mereka tentang posisi
Ahok yang semakin kokoh dalam berbagai survei. “Dia bisa kalah ketika ada
tsunami politik atau kejadian luar biasa,” katanya
Di sisi lain, PDIP
justru meradang. Ahok dianggap sebagai seseorang yang tak tahu berterimakasih.
Partai ini lalu berpaling ke sejumlah sosok yakni Ridwan Kamil dan Risma. Tak
disangka, Presiden Joko Widodo seakan membaca sinyal itu, lalu dengan segera
“mengeksekusi” Ridwan Kamil agar lebih berkonsentrasi ke Jawa Barat, sebuah
arena yang paling dikenalinya, dan paling besar peluang menangnya. Jikapun
Ridawan memaksakan diri masuk Jakarta, maka peluangnya fifty-fifty, malah bisa jadi lebih kecil dari itu.
PDIP berharap pada
Risma. Tapi resiko besar bisa menghadang. Memaksa Risma masuk arena ke Jakarta
sama halnya dengan membiarkan kandang banteng di Jawa Timur akan lengang dan
tak terisi. Menang atau kalah pasti akan berhadapan dengan risiko lenyapnya
basis suara PDIP, serta semakin merajalelanya partai-partai lain seperti PKB
dan Demokrat. Lagian, partai itu berhitung kalau agak telat mendorong Risma ke
Jakarta. Melihat tahapan pemilu sudah dekat, tak ada jalan lain bagi partai ini
selain menemukan figur lain.
Persoalannya, siapa
yang harus dicalonkan partai ini? Yusril jelas tak masuk hitungan. Dilihat dari
sisi manapun, beliau tak mungkin bisa mendongkrak kemenangan. Mendorong kader
sendiri seperti Djarot Syaiful Hidayat juga tak mungkin. Meskipun Djarot
menjabat sebagai Wagub DKI, ia tak cukup populer untuk berhadapan dengan Ahok.
Dia juga tak cukup sigap meladeni Ahok dalam hal wacana. Beberapa kali komentar
Djarot di-skakmat oleh Ahok. Tak ada pilihan lain selain kembali
mempertimbangkan Ahok.
Melalui politisi Arya
Bima dan Eva Sundari, PDIP mulai menggoda Ahok untuk kembali mengambil jalan
partai. Arya Bima memberi isyarat kalau partai itu siap mengusung Ahok. Senin
lalu, ia mengatakan, "Ahok, kembalilah ke kandangmu. Terserah mau
balik ke Gerindra atau PDIP,
tetapi tetap balik partai, jangan independen," kata Arya, Senin (6/6).
Eva Sundari juga memberikan sinyal kalau partai
itu menginginkan Ahok agar kembali ke kandang. "PDIP sudah inves dan
pasang badan banyak ke Ahok, kami lihat Ahok melakukan timbal balik enggak.
Bukan PDI-P yang harus ditekan, we did
more than enough ke Ahok," kata Eva saat dihubungi, Selasa (7/6).
Pernyataan “we did more than enough”
itu bisa dilihat sebagai upaya mengingatkan Ahok bahwa selama ini dirinya
diback-up oleh partai.
Bargaining yang dipasang adalah keluarnya Undang-Undang
Pilkada yang diyakini bakal menyulitkan Ahok. Dewan Perwakilan Rakyat
baru saja mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan
Kepala Daerah pada Kamis pekan lalu. Salah satu hal yang diperbarui dalam
undang-undang itu adalah pasal 48, yang menetapkan bahwa dukungan kepada calon
perseorangan harus diverifikasi faktual dengan sensus atau menemui langsung. Jika Ahok tak rapi menata
barisannya, ia bisa terpental dari arena menuju DKI 1.
Yang sedang kita
saksikan ini adalah satu fragmen gamang dari partai besar pemenang pemilu.
Nampaknya, politik bukan lagi arena di mana seorang pemenang akan menunggu
siapa yang datang lalu memberikan kursinya kepada yang dianggapnya tepat. Partai
politik harus melakukan jemput bola, melakukan kajian dan telaah mendalam,
sebelum akhirnya membuat keputusan sesegera mungkin, tanpa harus menunggu
momen.
Sebagai partai besar,
PDIP wajar saja memasang bargaining
dan tak bersedia diberikan tenggat oleh Ahok. Namun, langkah partai ini
harusnya lebih hati-hari sebab kesalahan melagkah memiliki pertaruhan yang
cukup besar. Jika partai itu gagal memenangkan kandidatnya di ajang pilgub DKI,
maka kekuatan partai itu akan berkurang di ajang pemilu. Bisa dibayangkan
berapa banyak kursi yang akan hilang di DPR RI.
Bisa dikatakan kalau
partai banteng itu terlambat memainkan wacana. Malah, partai ini tinggal
mencari cara paling elegan untuk tidak terlalu malu di pilkada DKI. Kajian
internal dan beberapa lembaga survei sudah memberikan sinyal kuat tentang
posisi Ahok yang semakin kokoh. Di tambah lagi fakta bahwa hingga kini tak ada
satupun kandidat yang bisa memberikan respon cerdas atas apa yan dilakukan
Ahok. Mungkin sudah saatnya partai itu belajar pada posisi cerdik yang
dimainkan Nasdem di daerah-daerah, khususnya saat jauh-jauh hari memberikan
kursi Nasdem pada kandidat yang dianggap paling berpotensi menang.
Sejak beberapa bulan
silam, publik menyaksikan bagaimana Ahok mempermainkan wacana di media massa.
Setiap hari ia dibahas dengan segala kontroversinya. Jika dirinya tak menjadi
tersangka, maka boleh jadi kansnya untuk menuju DKI 1 akan terus membesar. Di
sekitarnya terdapat banyak ahli yang memainkan spin doctors, strategi komunikasi yang menggiring semua opini dan
wacana media. Kata seorang kawan, langkah itu memang harus dilakukannya sebelum
bulan puasa. Kawan itu meyakini kalau di bulan puasa, wacana tentang Ahok bisa
memudar, juga di bulan itu, beberapa pihak yang mengklaim diri penentang Ahok bisa dengan mudah berkonsolidasi, sesuatu yang
tidak bisa leluasa dimainkan Ahok.
Sepertinya Ahok sadar
benar bahwa pendukung terbesarnya adalah kelas menengah Jakarta yang tak bisa
digoyahkan oleh berbagai isu ideologis dan SARA. Ia merawat hubungan dengan
Generasi Y yang memiliki cara berpikir yang berbeda dengan generasi sebelumnya.
Dari begitu banyak orang yang menyatakan siap maju sebgai gubernur, nilai-nilai
yang dibawa Ahok bersesuaian dengan karakter Generasi Y yang justru
menginginkan transparansi, ketegasan posisi pemerintah, serta tidak membawa
nilai-nilai lama dalam berpolitik.
Ahok paham bahwa
pendukung beratnya adalah kelas menengah, yang tak udah goyah saat dibahas
masalah agama dan keyakinan. Ia tahu kalau kelas menengah pendukungnya itu
tengah menikmati fasilitas dan bulan madu atas pelayanan yang diberikannya di
ibukota. Dibandingkan dengan kepala daerah lain, ia menawarkan sesuatu yang
berbeda.
Bagi para pemerhati
politik, kian melejitnya sosok ini bisa ditelaah dari berbagai perspektif.
Mulai dari kian memudarnya ideologi partai, fenomena relawan di era 3.0,
politik yang ditopang partisipasi, kemunculan Generasi Y, hadirnya peta-peta
kekuatan baru politik, berubahnya kultur dan tradisi politik, serta adanya
harapan baru untuk mengikis oligarki, penyakit yang tengah menggerus semua
partai politik.
Jika dinamika politik terus
berjalan linier, tanpa perubahan berarti, jika tak ada juga satu sosok yang bisa
secara arif memikat hati warga Jakarta, jika tak ada tsunami dalam politik
tanah air, jika Presiden Joko Widodo memberikan sinyal dukungan ke Ahok sembari
mengabaikan partai pendukungnya, maka bersiaplah menerima fakta Basuki Tjahaja
Purnama (Ahok) akan memimpin ibukota. Bersiaplah menerima fakta bahwa karier
politiknya akan terus melejit sebagai figur pembeda, yang kelak akan
mendampingi Joko Widodo di posisi puncak tertinggi negeri ini.
Bogor, 8 Juni 2016
Saat menjalani puasa
di hari ketiga
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar