DI berbagai survei dan lembaga konsultan
politik, nama Ahok terus melaju di posisi terdepan sebagai kandidat kuat
Gubernur DKI Jakarta. Sejatinya, Ahok tak sedang melaju sendirian. Ia
diuntungkan karena lawan-lawannya malah terjebak pada irama dan tarian yang
dimainkan Ahok. Lawan-lawannya memakai jurus dan lagu lama yang sudah terbukti
kalah telak.
Padahal, Ahok bisa dikalahkan jika
menerapkan strategi dan taktik yang jitu. Bisakah?
***
SAHABAT itu seolah punya energi meluap-luap
saat membahas Ahok, Gubernur DKI saat ini. Ia selalu memosting berbagai berita
ataupun link yang isinya selalu membahas hal-hal negatif tentang Ahok. Ia
menjadikan kanal media sosialnya sebagai ajang kampanye negatif atas semua yang
dilakukan Ahok. Tahukah anda di mana sahabat itu tinggal? Ia tinggal di
Kendari, Sulawesi Tenggara.
Rupanya, di luar Jakarta, Ahok adalah trending topic yang tak pernah habis
untuk dibedah. Semua orang suka membicarakan segala hal tentang sosok ini, baik
itu melihatnya dari sisi positif maupun negatif. Lucu saja saat melihat fakta
tentang mereka-mereka yang sibuk mengampanyekan sisi negatif Ahok, padahal
berumah di luar Jakarta.
Kehadiran Ahok membuat orang luar Jakarta
lupa kalau mereka juga punya pemimpin lokal yakni gubernur dan bupati yang
seharusnya juga diawasi dan dikritik kinerjanya. Sahabat di Kendari itu lupa
kalau gubernurnya sendiri masih Nur Alam, dan walikotanya masih Asrun, yang
kinerjanya tak mocer-moncer amat. Biasa saja. Benar kata seorang kawan, Ahok
itu serupa gubernur untuk Indonesia. Ia adalah magnet yang dibicarakan di
banyak pelosok. Tiba-tiba saja semua kinerjanya hendak dibedah.
Dikarenakan para pembenci itu tinggal di
luar daerah, satu-satunya yang menjadi rujukan adalah kliping atau link berita tentang
Ahok. Apapun itu, sepanjang itu bisa menjadi counter atas ucapan Ahok langsung disebar. Tujuannya satu: memberi
tahu semua orang kalau kinerja Ahok tidak bagus. Para pembenci itu mengabaikan
fakta kalau semua berita dan media tak pernah netral. Berita selalu terkait
konstruksi berpikir yang bermula dari kepentingan, lalu dialirkan di
kanal-kanal media.
Saya sendiri tertarik membahas Ahok karena
berumah di Bogor, yang hanya sepelemparan batu dari Jakarta. Apapun kejadian di
Jakarta, maka akan menjalar ke beberapa daerah sekitar. Apalagi, aktivitas saya
juga banyak di Jakarta. Kalaupun saya tertarik mengamati Jakarta, semata-mata
karena menganggap kota itu adalah rumah tempat saya beraktivitas.
Ahok adalah anomali. Ia banyak melabrak
tradisi dan pakem dalam dunia politik tanah air. Dari sisi marketing, ia bisa
memosisikan dirinya secara unik di tengah barisan politisi yang berpikir
seragam. Pantas saja jika dirinya selalu diberitakan media. Ia meladeni semua
kritik dan kecaman atasnya dengan argumentasi. Beberapa kali ia mengekspresikan
kemarahan, khususnya pada politisi yang hendak menilep uang rakyat. Setiap kali
ia marah dan berkata kasar, maka segera menjadi viral di berbagai media. Yang
dilupakan media adalah memuat substansi atau alasan utama mengapa Ahok berkata
kasar. Benar kata seorang pakar, seringkali cara-cara dianggap lebih penting
ketimbang makna.
Meskipun malu-malu untuk mengakuinya, saya tersenyum saat membaca pernyataan di media sosial yang menyebut kesalahan Ahok cuma dua, yakni: (1)
Ahok seorang Kristen, (2) Ahok juga seorang Cina. Makanya, ia menggoyang
kemapanan berpikir. Di tengah masyarakat yang masih memelihara berbagai
prasangka, semua yang dilakukan Ahok akan dianggap salah. Jika di kota lain,
kepala daerah yang menutup lokalisasi dianggap pahlawan, maka ketika Ahok
melakukan tindakan yang sama, publik tenag-tenang saja. Ia tak dianggap
pahlawan. Mengapa? Sebab Ahok berbeda.
Apapun itu, kemarahan Ahok tidak
mengurangi dukungan publik atasnya. Seorang teman yang bekerja di lembaga
konsultan politik berbisik kalau saat ini Ahok tak terbendung. Teman Ahok
mengelola ajang politik menjadi ajang yang rapi dan penuh strategi modern ala
kampanye di luar negeri. Mereka mengolah kampanye di media sosial, membuka
posko pengumpulan KTP, melakukan fundrising untuk mengumpulkan dana, lalu fokus
pada kelebihan-kelebihan Ahok.
Yang menarik buat saya, peta pertarungan
Ahok versus kandidat lain punya lanskap yang mirip dengan arena pemilihan
presiden lalu. Strategi Ahok menggerakkan relawan serta konsultan politik
memiliki kemiripan dnegan pola-pola yang digunakan Jokowi saat pilpres lalu.
Sementara lawannya terjebak dengan strategi usang, yang sudah pernah kalah
telak.
Harusnya, lawan-lawan politik Ahok punya
kajian mendalam tentang bagaimana kondisi sosial masyarakat Jakarta, evaluasi
atas beberapa pemilihan sebelumnya, lalu menggelar tahap demi tahap strategi
politik untuk mengalahkannya. Seharusnya, lawan-lawan Ahok mengidentifikasi di
mana sisi kelemahan gagasan Ahok, lalu menyusun strategi yang lebih jitu.
Belajar dari ajang pilpres, ada beberapa
hal yang bisa digunakan untuk mengalahkan Ahok. Kita akan lihat satu per satu.
Pertama, jangan pernah membawa-bawa isu
SARA. Saat pilkada DKI lalu, juga pilpres, isu ini terbukti gagal total.
Masyarakat Jakarta berisikan kelas menengah ngehek
yang gampang bereaksi saat mendengar isu ini diangkat ke permukaan. Jakarta
adalah kota yang sudah pernah diremuk beberapa konflik bernuansa SARA, sehingga
ketika isu ini diangkat, semua orang akan terbawa pada kenangan traumatik yang
tak ingin diulangi kembali. Jika dilakukan survei, hampir semua warga Jakarta
menginginkan kehidupan yang tenang dan damai. Dikarenakan akses media serta
pendidikan di kota ini lebih baik, maka kelas menengah perkotaan tak selalu
nyaman dengan isu etnik.
Nampaknya, warga kota sama paham bahwa
isu-isu SARA dianggap bisa merobek bangunan kebangsaan yang telah lama
dibangun. Di kota sebesar Jakarta, siapapun yang membawa-bawa isu SARA
berpotensi besar untuk gagal total. Kita bisa melihat sendiri pengalaman pemilihan
sebelumnya. Lihat pula perolehan suara berbasis agama di wilayah ini yang
rendah. Mengapa? Sebab kartu yang dimainkan adalah SARA.
Kedua, segera lakukan perekrutan tim
profesional untuk menangani social media,
serta counter opini di media massa. Untuk
kota sebesar Jakarta, informasi dengan cepat menyebar. Di mana-mana warga
menggunakan smartphone. Ujung jemari warga bisa menjadi alat kampanye yang
efektif hanya dengan cara meng-klik.
Tim lawan Ahok sebaiknya jangan merekrut
eks kombatan media sosial yang pernah kalah di pilpres lalu. Mengapa? Sebab
strategi menebar kebencian, sebagaimana pernah dilakukan salah satu pasangan
pilpres lalu, terbukti gagal total. Yang harus dilakukan adalah melatih tim social media secara profesional,
membentuk barisan intelektual yang mengolah isu dengan cerdas, lalu mengemas
beberapa program populer yang bsia mendingkrak elektabilitas.
Informasi harus dikemas dengan mendidik,
sekaligus menghibur. Jangan sekali-sekali merekrut tim media Aburizal Bakrie
(ARB) yang terus-menerus membobardir publik melalui media milik pengusaha itu,
sehingga menimbulkan efek jenuh. Pelajaran berharga dari pengalaman tim ARB
adalah informasi yang terus-menerus dijejalkan ke ruang visual publik bisa
berujung pada sentimen negatif. Harusnya, tonjolkan hal positif, yang tak perlu
membawa-bawa nama seseorang yang lagi punya hajatan politik. Lucunya, strategi
ARB itu tengah diterapkan Harry Tanoe untuk populer di medianya sendiri. Apakah
berhasil? Dugaan saya akan berujung pada kemuakan.
Ketiga, tebarkan jejaring sosial ke
berbagai ranah maya. Kenali siapa saja para pemantul isu yang paling lihai di
media sosial. Pelajaran dari Arab Spring adalah para fesbuker dan pemain
twitter punya peran besar untuk mendorong revolusi. Di era ini, tak begitu
sulit mengenali seberapa kuat pengaruh seseorang di media sosial. Gunakan
Klout, aplikasi yang memberi skor sejauh mana kekuatan seseorang di media
sosial. Gunakan ranking Alexa untuk mengetahui sejauh mana pengaruh dan kekuatan seorang blogger. Jangan terpengaruh dengan retorika pengaruh. Ukur kekuatan seseorang
melalui banyak aplikasi yang tersedia di dunia maya.
Setelah itu, dekatilah tokoh-tokoh kunci
itu. Tawarkan satu gagasan cerdas tentang Jakarta yang lebih baik, lalu ajak
mereka untuk meramaikan ranah media sosial dnegan berita positif. Jelaskan
kepada mereka kalau kampanye politik ibarat bermain dalam game The Simps tentang mengelola kota. Katakan,
yang hendak didukung adalah figur yang punya track-record baik serta punya ide yang lebih hebat dari Ahok untuk
menata Jakarta. Rekrut kalangan muda yang terbiasa terkoneksi dunia maya ataupun
terbiasa dengan game online. Katakan, misi untuk mendukung kepala daerah yang
baik serupa game counter-strike yang
mengandalkan banyak strategi serta kiat untuk menang.
Yang membuat Ahok makin kuat adalah
lawan-lawannya kembali mengulangi lagu lama saat pilpres dulu, melakukan
berbagai strategi yang sudah terbukti gagal total, serta terbawa arus emosi dan
sentimen negatif. Lebih parah lagi karena strategi alwan Ahok adalah copy-paste
dariapa yang dilakukan Ahok. Lihat saja bagaimana Adhyaksa Dault membentuk
kawan Adhyaksa di medsos. Bagaimanapun juga, publik akan lebih mendukung soosk
yang lebih orisinil, bukan pengekor.
Keempat, fokus pada berbagai kelemahan
Ahok dalam hal gagasan. Salah satu pintu masuk untuk menggugat Ahok adalah
keberpihakan pemerintah pada lapis bawah yang tak begitu menonjol. Dalam
beberapa kasus penggusuran, pendekatan Ahok selalu saja legal-formal, yang
mengabaikan aspek dialogis yang seharunya menjadi kekuatan bagi warga kota.
Kemukakan fakta tentang posisi lapis bawah
masyarakat yang tak pernah dianggap sebagai kelas yang seharusnya punya hak
hidup dan hak untuk didengarkan. Kritik pula kebijakan memindahkan warga di
rumah susun. Sebab kebijakan itu tak selaras dengan spirit kolektivisme
masyarakat yang terbiasa menghadapi persoalan secara bersama-sama. Kepindahan
ke rumah susun justru kian mengecilkan kolektivisme, lalu membawa masyarakat ke
arah individualisme, sebagaimana terlihat pada sekat-sekat di rumah susun.
Hadapi Ahok dengan argumentasi tentang
betapa jauhnya pembangunan dari proses pemanusiaan warga Jakarta. Gali beberapa
fakta tentang pembangunan yang tidak merata, sebab hanya memihak kelompok
menengah ke atas. Angkat fakta tentang Ahok yang hanya garang di lapis bawah,
tapi berubah jadi penuh sopan santun saat bertemu warga lapis menengah atas
Jakarta.
Kelima, tetap bermain sabar dan tenang.
Jangan pernah terpancing dengan segala emosi dan kemarahan Ahok. Ahok leluasa
menggunakan strategi itu, sebab track-record-nya cukup baik, khususnya dalam hal
kehadiran di berbagai momen penting pembangunan Jakarta. Jangan terpancing
dengan emosi Ahok lalu tiba-tiba menjawab dengan sentimen SARA. Ingat,
masyarakat yang hendak dimenangkan adalah lapis menengah bawah yang tak
benar-benar diam. Mereka mencatat semua yang dilakukan, lalu menyebarkannya
secara viral.
***
TENTU saja, politik adalah seni untuk
mengolah berbagai kemungkinan. Makanya, berbagai strategi mesti ditempuh secara
kreatif demi memenangkan orang baik ke kursi kekuasaan. Kekuatan Ahok tak
selalu bermuara pada gagasan serta cara-cara baru dalam melihat pembangunan.
Kekuatan Ahok semakin menonjol dikarenakan lawan-lawannya mengedepankan
pendekatan yang sudah terbukti gagal total dalam beberapa momen pemilihan.
Dugaan saya, semakin dekat pemilihan, maka
isu etnik dan agama akan semakin massif dikampanyekan. Kembali, kita akan
melihat jualan agama untuk menjatuhkan seseorang. Jika kondisinya demikian,
saya yakin kalau Ahok akan kembali menang dan mewujudkan Jakarta baru yang
bebas prasangka, penuh dedikasi, serta transparan dalam mengelola dana publik.
Buat anda yang membenci Ahok, bersiaplah menerima fakta kalau Ahok akan kembali menjadi Gubernur DKI Jakarta.
Bogor, 12 Maret 2016
BACA JUGA:
2 komentar:
Klo punya ktp jakarta, pilih siapa mas?
saya akan pilih Ahok.
Posting Komentar