SETIAP guru hebat akan selalu
terpatri dalam ingatan. Segala hal baik yang dilakukan seorang guru akan selalu
menjadi monumen. Dengan cara itu saya ingin mengenang Mansyur Semma. Dalam
ketiadaan penglihatan, dia datang ke kampus dengan tertatih-tatih. Dia merasakan
bagaimana sulitnya mendapatkan angkutan umum karena beredar stigma di Makassar
kalau memuat tuna netra di angkot akan membawa sial.
Tapi ia tak pernah patah
arang. Ia memilih datang mengajar, apapun risikonya. Tak hanya mengajar, ia
bergaul dengan aktivis
dari berbagai kalangan. Ia dikenal kelompok kiri, kelompok kanan, dan semua
mahasiswa yang suka diskusi koridor. Dia selalu datang setiap kali diundang. Bisakah
kau bayangkan, dalam keadaan tuna netra, ia meluangkan waktu demi menyalakan
pijar kecil di pemikiran mahasiswa yang kelak akan menerangi jalan hidup sang
mahasiswa itu.
Saya mengenalnya pada akhir
reformasi, saat baru kembali studi magister. Ia masih sehat. Matanya masih
terang. Di masa ini ia sudah menjadi dosen hebat. Dia meladeni slama apapun diskusi dengan
mahassiwa. Hingga akhirnya, kesalahan prosedur di rumah sakit telah
merenggut semua daya penglihatannya. Ia sempat melalui periode berat ketika
hanya tinggal di rumah dan tak ke kampus. Ia sempat menghilang dari ruang kelas
dan dari ruang diskusi mahasiswa.
Namun, seseorang yang hebat bukanlah dia
yang berada di puncak kejayaan, melainkan dia yang selalu bangkit di tengah
keterpurukan. Kehilangan penglihatan itu tidak membuatnya terpuruk. Ia tetap
bangkit dan memilih ke kampus. Ia
tak hanya menjadi guru yang hebat, dia menginspirasi orang lain.
Bisakah kau bayangkan bagaimana dirinya
mengambil kelas doktor dalam segala keterbatasan. Dia datang ke kampus, belajar
di kelas, lau melakukan enelitian di Jakarta. Disertasinya membahas tentang
pemikiran Mukhtar Lubis. Hal yang saya kenang adalah dalam keadaan tertatih-tatih
sembari dituntun anaknya yang masih belia, ia datang menemui Jacob Oetama di
ruang redaksi Kompas, Jalan Palmerah. Lewat seorang jurnalis Kompas, saya
mendengar kalau Jacob Oetama sampai meneteskan air mata melihat kegigihan
Mansyur. Hingga akhirnya, ia sukses meraih gelar doktor. Kompas meliput
kegigihannya di rubrik profil.
Pada diri Mansyur, saya melihat beberapa
kualitas hebat yang tak selalu dimiliki semua guru di masa kini. Pertama, ia
memperlakukan mahasiswa sebagai sahabat, adik, rekan, serta teman berdialog.
Kedua, dia seseorang yang membumikan religiusitas dalam segala
tindakan-tindakan kecil. Saya melihat caranya memperlakukan mahasiswa, bagaimana
ketenangannya menghadapi konflik, hingga caranya melejitkan potensi seorang
mahasiswa. Ketiga, dirinya adalah seorang petarung hebat yang melawan segala
keterbatasan. Setiap kali mengingatnya, saya akan merinding membayangkan
energinya untuk mengubah keterbatasan menjadi cahaya.
Dengan segala keterbatasannya, dia akan selalu
menjadi monumen cahaya di hati saya. Betapa saya bangga karena pernah diminta
oleh guru hebat untuk menjadi asisten yang pernah menggantinya mengajar di
beberapa kesempatan. Dan betapa sedihnya saya saat mendengar dirinya berpulang
ke Yang Maha Menggenggam dalam waktu yang tak terlalu lama ketika menjadi
doktor.
Hari ini, semua ingatan tentangnya muncul di
kepala saya saat menyaksikan vidio singkat tentang dirinya di media sosial.
Saya bangga pernah mengenalnya. Alfatihah untuk sang guru.
Bogor, 22 Juni 2016
0 komentar:
Posting Komentar