Mengenang Mansyur Semma (2)


SETIAP guru hebat akan selalu terpatri dalam ingatan. Segala hal baik yang dilakukan seorang guru akan selalu menjadi monumen. Dengan cara itu saya ingin mengenang Mansyur Semma. Dalam ketiadaan penglihatan, dia datang ke kampus dengan tertatih-tatih. Dia merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan angkutan umum karena beredar stigma di Makassar kalau memuat tuna netra di angkot akan membawa sial.

Tapi ia tak pernah patah arang. Ia memilih datang mengajar, apapun risikonya. Tak hanya mengajar, ia bergaul dengan aktivis dari berbagai kalangan. Ia dikenal kelompok kiri, kelompok kanan, dan semua mahasiswa yang suka diskusi koridor. Dia selalu datang setiap kali diundang. Bisakah kau bayangkan, dalam keadaan tuna netra, ia meluangkan waktu demi menyalakan pijar kecil di pemikiran mahasiswa yang kelak akan menerangi jalan hidup sang mahasiswa itu.

Saya mengenalnya pada akhir reformasi, saat baru kembali studi magister. Ia masih sehat. Matanya masih terang. Di masa ini ia sudah menjadi dosen hebat. Dia meladeni slama apapun diskusi dengan mahassiwa. Hingga akhirnya, kesalahan prosedur di rumah sakit telah merenggut semua daya penglihatannya. Ia sempat melalui periode berat ketika hanya tinggal di rumah dan tak ke kampus. Ia sempat menghilang dari ruang kelas dan dari ruang diskusi mahasiswa.

Namun, seseorang yang hebat bukanlah dia yang berada di puncak kejayaan, melainkan dia yang selalu bangkit di tengah keterpurukan. Kehilangan penglihatan itu tidak membuatnya terpuruk. Ia tetap bangkit dan memilih ke kampus. Ia tak hanya menjadi guru yang hebat, dia menginspirasi orang lain.

Bisakah kau bayangkan bagaimana dirinya mengambil kelas doktor dalam segala keterbatasan. Dia datang ke kampus, belajar di kelas, lau melakukan enelitian di Jakarta. Disertasinya membahas tentang pemikiran Mukhtar Lubis. Hal yang saya kenang adalah dalam keadaan tertatih-tatih sembari dituntun anaknya yang masih belia, ia datang menemui Jacob Oetama di ruang redaksi Kompas, Jalan Palmerah. Lewat seorang jurnalis Kompas, saya mendengar kalau Jacob Oetama sampai meneteskan air mata melihat kegigihan Mansyur. Hingga akhirnya, ia sukses meraih gelar doktor. Kompas meliput kegigihannya di rubrik profil.

Pada diri Mansyur, saya melihat beberapa kualitas hebat yang tak selalu dimiliki semua guru di masa kini. Pertama, ia memperlakukan mahasiswa sebagai sahabat, adik, rekan, serta teman berdialog. Kedua, dia seseorang yang membumikan religiusitas dalam segala tindakan-tindakan kecil. Saya melihat caranya memperlakukan mahasiswa, bagaimana ketenangannya menghadapi konflik, hingga caranya melejitkan potensi seorang mahasiswa. Ketiga, dirinya adalah seorang petarung hebat yang melawan segala keterbatasan. Setiap kali mengingatnya, saya akan merinding membayangkan energinya untuk mengubah keterbatasan menjadi cahaya.

Dengan segala keterbatasannya, dia akan selalu menjadi monumen cahaya di hati saya. Betapa saya bangga karena pernah diminta oleh guru hebat untuk menjadi asisten yang pernah menggantinya mengajar di beberapa kesempatan. Dan betapa sedihnya saya saat mendengar dirinya berpulang ke Yang Maha Menggenggam dalam waktu yang tak terlalu lama ketika menjadi doktor.

Hari ini, semua ingatan tentangnya muncul di kepala saya saat menyaksikan vidio singkat tentang dirinya di media sosial. Saya bangga pernah mengenalnya. Alfatihah untuk sang guru.

Bogor, 22 Juni 2016




0 komentar:

Posting Komentar