Surat ARA untuk AYAH

Ara (paling kanan) di satu acara sekolah

SEBAGAI seorang ayah, momen yang paling membahagiakan dalam sehari adalah saat-saat hendak pulang kantor. Saya akan tersenyum-senyum sendiri seperti orang yang mulai kurang waras. Pada teman sekantor, saya bercerita kalau saat tiba ke  rumah, saya akan disambut dengan teriakan gembira dari anak saya Ara. Dia akan berteriak senang, “Ayah datang.” Kadang-kadang, dia sengaja bersembunyi saat mendengar kendaraan memasuki halaman rumah. Ketika saya turun lalu membuka pintu rumah, ia akan berteriak, “Surprise…!!!”

Di setiap momen kepulangan ke rumah, selalu ada bahagia yang memenuhi dada ini. Namun, hari ini ada sesuatu yang beda. Ia tetap gembira. Ia tetap histeris. Akan tetapi, tangan mungilnya mengulurkan sesuatu. Ia menyodorkan amplop yang entah apa isinya.

Saya lalu memeriksa amplop itu. Ternyata ada surat yang tadi dibawa oleh Pak Pos. Di sampl depan tertera nama saya. Namun di sampul belakang, tertera nama anak saya sendiri, yang alamatnya adalah TK Islam, tempatnya belajar. Ia lalu berdiri di samping saya sembari tersenyum-senyum. Rupanya isinya adalah kartu Lebaran yang dikirimkannya dari sekolah. Kartunya berisikan pesan Selamat Idul Fitri. Hati saya mekar.

Beberapa hari lalu, ia bercerita tentang kegiatannya di sekolah. Ia melipat amplop dan mengisinya dengan kartu. Ia juga bercerita kalau semua teman sekolahnya ke kantor pos bersama gurunya. Saat bercerita, ia tidak secara persis menyebut kantor pos. Ia bilang “kantor bos.” Saya tertawa-tawa mendengar celotehnya. Meskipun saya ralat, ia tetap menyebut kantor bos. Akhirnya saya membiarkannya. Lagian, ngapain pula bahasa harus dibuat seragam. Selagi saya mengerti dan dia mengerti, tak ada masalah dengan caranya menyebut kata itu. Yang penting dia selalu nyaman dan gembira.

Saat dia bercerita, saya sedang tidak fokus. Ternyata, ia diminta mengirimkan surat. Ia tak sempat membahas surat itu berisi apa dan ditujukan kepada siapa. Jangan-jangan dia sengaja merahasiakannya. Saya menduga, dia ingin memberikan kejutan. Apapun itu, saya sangat terharu. Untuk pertama kalinya saya menerima surat dari anak saya sendiri. Saya membayangkan dirinya menyiapkan surat, memasukannya ke amplop, lalu tersenyum-senyum saat membayangkan bagaimana ekspresi ayahnya saat menerima surat. Kejutan yang disiapkannya berhasil.

surat Ara untuk ayah

Selama ini, saya yang selalu memberikan kejutan untuknya. Setiap kali pulang dari kantor, saya akan membawakannya sesuatu. Saya mengambil teladan pada seorang teman di kampus Unhas, Makassar. Di saat saya masih kuliah di level sarjana, teman itu sudah menikah dan punya anak. Ketika pulang ke rumah, ia selalu membeli satu atau dua permen yang lalu disimpan di sakunya. Mengapa? “Harapan seorang anak adalah doa. Ketika saya sering membawakannya permen, maka setiap hari dia akan menanti kedatangan saya. Harapannya itu sama dengan doa agar saya datang dalam keadaan baik, sembari membawakannya sesuatu.”

Kalimat teman itu masih terasa hingga kini. Inilah sebab mengapa saya selalu berusaha membawakan sesuatu untuknya. Kalau bukan mainan, sering kali donat dan kue. Dia tak pernah memilih-milih. Apapun yang saya bawa, akan disambutnya dengan riang gembira. Saya pun tak pernah bosan membawakannya apapun. Di tengah berbagai aktivitas yang mulai padat, keriangannya jauh melebihi apapun. Demi tawa dan bahagia itu, saya rela melakukan apapun.

Hari ini, giliran saya yang dberi kejutan. Saya senang melihat dirinya yang sudah bisa memberi kejutan bagi ayahnya. Meskipun kartu itu dibuat bersama guru, saya percaya ketulusan dan kebahagiaannya menyiapkan kartu. Pada setiap bahagianya, saya tahu kalau ada banyak doa dan harapan yang terselip di situ. Pada setiap keriangannya, saya merasakan dunia akan selalu mengerjap indah.

Terimakasih Nak.


Bogor, 27 Juni 2016


1 komentar:

wijatnikaika mengatakan...

Wahhh Ara manis sekali ;)

Posting Komentar