Seharian Mengamati Presiden Jokowi


salah seorang warga yang menunggu Jokowi

PEKAN silam, saya berkunjung ke Denpasar, Bali, demi satu pekerjaan yakni melakukan observasi di satu pembangkit listrik. Tak disangka, Presiden Joko Widodo juga datang mengunjungi pembangkit yang sama. Selama beberapa jam, saya mencatat dari dekat semua yang dilakukan Jokowi.

Di hari yang sama, saya menyaksikan pembukaan Festival Kesenian Bali di Renon, Denpasar. Kembali, saya menyaksikan Jokowi yang ikut pawai bersama para penari dan pekerja kesenian di Bali. Dua kesempatan dalam sehari terbilang singkat untuk mengamati bagaimana keprotokoleran istana, serta bahasa tubuh presiden di hadapan rakyat. Tapi setidaknya ada makna yang bisa dipetik.

***

TEPAT pukul 09.00 pagi, Nengah tiba di kantor pembangkit listrik Pesanggaran, Bali. Ia datang bersama suami dan seorang anaknya. Hari itu, Nengah mengenakan kebaya khas Bali, serta memakai kain bermotif khas. Suaminya pun demikian. Ia tersenyum saat memasuki pelataran kantor itu, lalu menuju ke ruang utama. Di situ, banyak orang telah hadir dan menduduki kursi-kursi yang disediakan. Nengah bahagia karena dirinya akan bertemu dengan Presiden Joko Widodo, yang kerap dipanggil Jokowi.

Saya bertemu Nengah di acara yang juga akan menghadirkan beberapa menteri Kabinet Kerja. Acara itu juga dihadiri Gubernur Bali, petinggi Perusahaan Listrik Negara (PLN) di Bali, pemuka adat, masyarakat biasa, hingga mahasiswa. Saya turut senang melihat ekspresi Nengah yang sangat bahagia karena sebentar lagi akan bertemu Presiden Jokowi.

Hari itu, Sabtu, 11 Juni 2016, Presiden Joko Widodo (kerap disapa Jokowi) direncanakan  datang untuk meninjau operasional Pembangkit Listrik Tenaga Diesel Gas (PLTDG) berkapasitas 200 Megawatt (MW) di Pesanggaran. Jokowi ingin memastikan daya dukung listrik Bali dengan memantau langsung PLTDG berbahan bakar gas dari mini LNG yang diresmikan Gubernur Bali, Made Mangku Pastika beberapa waktu lalu.

Saya datang bersama rombongan satu perusahaan asing yang mengerjakan proyek pembangkit itu. Presiden Jokowi akan datang pada pukul 13.00 Wita. Tapi segala persiapan sudah dimulai sejak pukul 08.00 Wita. Saat menuju lokasi acara, saya sudah menyaksikan dua truk yang menurunkan puluhan tentara berseragam hijau di sekitar acara. Saya juga menyaksikan polisi berseliweran di sekitar lokasi.

Tak sembarang orang bisa hadir di acara ini. Semua yang hadir wajib menunjukkan undangan kepada panitia. Setelah itu, semua orang mesti melewati pintu metal detector yang dijaga polisi. Kemudian, semua undangan duduk di kursi yang disediakan oleh panitia acara.




Semuanya mengenakan batik. Beberapa di antaranya mengenakan tanda pengenal yang dipasang di dada, yang menampilkan emblem garuda. Beberapa lelaki berbadan tegap juga hilir mudik di lokasi acara. Saya melihat mereka memakai alat komunikasi serupa kabel telepon rumah yang melingkar di telinganya. “Mereka pasukan pengamanan presiden” kata seorang kawan.

Saya lalu duduk di kursi bagian belakang. Di depan saya, terdapat banyak mahasiswa dari berbagai kampus di Denpasar. Di sebelah tengah, sebelah tengah terdapat para pemuka adat yang kesemuanya berbaju putih dan memakai udeng khas Bali. Di depannya, sejumlah warga biasa baik lelaki maupun perempuan duduk menyaksikan aara itu. Kursi paling depan dibiarkan kosong. Mungkin diniatkan sebagai tempat duduk rombongan yang akan datang.

Kesan saya, komposisi mereka yang duduk di belakang presiden telah ditentukan sebelumnya. Tak hanya para pejabat PLN ataupun perusahaan di bawah PLN, tetapi disiapkan tempat yang luas bagi warga biasa. Mereka dianggap sebagai elemen penting audience yang akan disapa oleh presiden.

Saya tak mengerti apakah ini yang disebut pencitraan ataukah bukan. Akan tetapi kehadiran warga biasa sebagai audience utama adalah sesuatu yang berbeda. Beberapa tahun silam, saya punya pengalaman melihat Presiden SBY saat mengunjungi kawasan yang terkena dampak tsunami Pangandaran di Cilacap, Jawa Tengah. Masyarakat biasa duduk di satu tenda yang agak jauh dari tenda utama yang diisi para politisi dan pejabat daerah.

Di sebelah saya, duduk seorang bapak yang juga mengenakan tanda pengenal garuda. Saya lalu berbicang dengannya. Ternyata ia bekerja di Istana Tampaksiring, Bali. Istana ini adalah salah satu istana presiden, sebagaimana Istana Bogor dan Istana Cipanas. Kata bapak itu, sejak dilantik sebagai presiden, Jokowi belum pernah datang ke Istana Tampaksiring. Padahal di masa presiden sebelumnya, istana itu menerima presiden hingga lebih tujuh kali dalam setahun. “Pemandangan di Tampaksiring jauh lebih indah dari istana manapun,” katanya sedikit berpromosi.

Saya lalu mengamai Nengah dari kejauhan. Mereka sedang di-briefing oleh petugas sekretariat Istana Negara. Ternyata, ada sejumlah perwakilan warga yang dipilih untuk menerima hadiah sembako dari presiden. Mereka yang dipilih terlihat sangat gembira. Ya iyalah, siapa sih yang gak senang bertemu dengan presiden?

***

TEPAT pukul 13.00 siang, semua petugas langsung bergegas. Saya yakin kalau Presiden Jokowi akan segera datang sebab semua anggota paspampres langsung mengambil posisi di jalan-jalan yang akan dilalui presiden. Tapi tak terlihat penjagaan yang demikian ketat.

Presiden datang dan menyalami semua orang yang berdiri di sekitar acara. Ia diikuti Menteri BUMN Rini Soemarmo, Menteri Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri ESDM Sudirman Said, dan juga Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Di belakang mereka, menyusul pihak paspampres, pihak sekretariat negara, serta rombongan jurnalis yang sedikit berlarian untuk mencari posisi yang pas lalu mengeluarkan kamera. Jokowi dan rombongan duduk di jejeran kursi paling depan.

Acara selanjutnya agak membosankan buat saya. Dimulai dari pemutaran film tentang kelistrikan di Bali dan presentasi dari Direktur PLN. Saya tak terlalu familiar dengan istilah-istilah teknis mengenai listrik dan pembangkit. Acara berikutnya adalah penyerahan sembako langsung dari tangan presiden.

Nengah dan rekan-rekannya diminta berdiri di depan. Presiden lalu datang menyalami satu per satu sambil menyerahkan sembako. Tak hanya itu, Presiden bersedia untuk ber-selfie dengan mereka. Tak bisa dibendung, warga biasa lain juga merangsak ke depan. Mereka berjabat tangan lalu berpose dengan presiden.




Anggota paspampres cukup sigap. Mereka maju ke depan lalu membentengi presiden yang diarahkan ke bahagian lain di ruangan itu. Presiden lalu memperhatikan maket pembangkit listrik itu ditemani Menteri Rini, Menteri Sudirman Said, Menteri Pramono Anung, dan Gubernur Bali. Seorang ibu dari PLN lalu menjelaskan tentang maket itu.

“Pembangkit ini dibangun oleh konsorsium yang dipimpin PT Wartsila Indonesia bekerjasama dengan salah satu BUMN yakni PT Pembangunan Perumahan,” katanya.
“Alat-alatnya dari mana?” tanya Jokowi.
“Semuanya dibuat oleh Wartsila,” kata perempuan itu.
“Kalau gasnya didatangkan dari mana?” tanya Jokowi lagi.
“Gas didatangkan oleh Pertamina. Gas itu diambil dari Bontang, Kalimantan Timur,” jawabnya.

Jokowi lalu manggut-manggut. Setelah itu ia lalu berpindah tempat. Ia diarahkan ke ruang operator. Sebelumnya, ia memakai helm putih, sebagaimana yang dikenakan oleh teknisi lapangan. Di ruangan operator, ia kembali mendapat penjelasan tentang pembangkit listrik itu. Ia tertarik mendengar penjelasan tentang mata rantai energi gas, mulai dari sumur gas di Bontang, Kalimantan Timur, yang dibawa ke Bali. Sebelum meninggalkan ruangan, ia sempat bertanya, perusahaan apa yang menyiapkan teknologi pembangkit ini? Ibu yang menjadi juru bicara PLN menjawab singkat, “Wartsila.”

***

KELUAR dari ruang operator, tanpa diduga Presiden Jokowi tidak mengikuti paspamres di depannya. Ia langsung mendatangi warga biasa yang berkerumun di tenda lain. Semuanya histeris dan bergegas datang untuk berjabat tangan lalu berfoto. Saya melihat antusiasme yang tinggi dari semua orang. Nampaknya, kehadiran presiden menjadi oase bagi mereka untuk bertemu langsung dengan pemimpinnya. Presiden Jokowi cukup lama menyediakan waktunya untuk menyalami semua orang. Ia juga beberapa kali melambai ke warga yang berada di kejauhan.

Di saat presiden telah meninggalkan acara, beberapa orang masih saja tersenyum lalu bercerita pengalamannya. Dalam bayangan saya, momen itu memang singkat namun cukup mengobati kerinduan masyarakat untuk bertemu presidennya. Akan tetapi, kehadiran itu sendiri tak membawa makna apa-apa, selain dari rasa gembira dan girang karena disapa sosok yang sering disaksikannya di televisi.

Jika ingin membuat momen itu lebih bermakna, akan lebih baik jika presiden meluangkan waktu untuk berdialog, menanyakan apa saja yang dirasakan masyarakat sekitar pembangkit, lalu memberikan beberapa masukan atau instruksi kepada aparat pemerintah di bawahnya. Jika itu dilakukan, momen kehadirannya bisa lebih membawa makna yang sifatnya jangka panjang kepada masyarakat luas. Mungkin hal seperti ini kerap dilakukan presiden. Tapi yang saya lihat di Bali hanya sebatas apa yang tercatat di atas.

Satu hal yang tak saya temukan adalah tim kreatif atau tim komunikasi istana kepresidenan. Saya rajin memantau facebook sang presiden. Di situ saya melihat foto-foto lengkap tentang kegiatan serta kesan-kesannya saat mengunjungi satu lokasi. Saya agak penasaran karena presiden tidak mengungkapkan apapun di acara itu, akan tetapi di facebook tiba-tiba saja ada keterangan presiden mengenai acara itu.

Sebagai orang yang mendalami kajian komunikasi, bisa saya simpulkan kalau tim-tim komunikasi presiden bekerja profesional sebagai tim juru bicara, yang menyampaikan hal-hal baik tentang apa yang dilakukan presiden ke hadapan publik dengan tujuan agar publik tahu apa yang dilakukan presidennya. Tim kerja itu menjadi tim komunikasi politik yang tak hanya mengumpulkan informasi tentang satu lokasi, memberikan release tentang kedatangan presiden, tapi juga memberikan laporan kepada publik melalui postingan yang dilsalurkan ke berbagai kanal media sosial.

***

DI sore hari, saya diajak menyaksikan pembukaan Festival Kesenian Bali. Saya menyaksikan atraksi budaya yang sungguh memukau. Bali tak pernah kehabisan para penari, penampil, pemusik yang menjaga marwah kebudayaan Bali. Silih berganti para penari tampil di jalan raya itu membentuk barisan panjang serupa karnaval. Kamera saya menangkap banyak momen indah yang sayang untuk dilewatkan.

Selain para penari, mobil-mobil hias juga berseliweran. Di mobil itu, terdapat penari, pemain musik, hingga atraksi seni yang memukau. Mobil-mobil itu dihiasi dengan bunga-bunga, ornamen, dan juga hiasan-hiasan yang memanjakan mata.





Jelang barisan terakhir, saya melihat ada satu mobil yang ramai dikerubungi semua orang. Rasa-rasanya semua penonton di pinggir jalan langsung berusaha ke depan, mengelilingi mobil itu sambil memanggil-manggil nama Jokowi. Mereka serupa penonton konser musik yang megelu-elukan idolanya. Saya kembali melihat paspampres yang seakan-akan “membersihkan” jalanan. 

Di atas mobil itu, saya melihat Presiden Jokowi, Ibu Iriana, Menteri Anies Baswedan dan Gubernur Bali I Made Mangku Pastika. Posisinya adalah di belakang tembok tinggi di atas mobil. Tujuan tembok itu adalah melindungi mereka dari ancanaman pihak luar. Semuanya mengenakan pakaian adat Bali. Presiden masih dengan gayanya yang senyum-senyum cengengesan. Beberapa kali ia melemparkan kaos dari mobil itu.

Model komunikasi publik seperti ini memang mendekatkan dirinya dengan rakyat. Namun ke depannya harus dikelola dengan lebih profesional. Kehadiran seorang presiden tak harus mendatangkan histeria serupa konser musik, melainkan harus membawa makna pada banyak orang melalui sejumlah regulasi dan tindakan yang memihak pada kepentingan orang banyak. Kehadiran presiden adalah representasi kehadiran negara di tengah rakyatnya. Akan lebih bermakna jika presiden menghadiri satu momen krusial yang melibatkan gesekan antara masyarakat sipil dan aparat negara. Akan lebih bijak jika ia mendatangi reklamasi Benoa, yang menjadi monumen perlawanan bagi para aktivis di Bali. Jika ia melakukannya, kehadiran itu akan bermakna penting bagi rakyat sipil daripada menghadiri rangkaian acara simbolis yang hanya membawa bahagia sesaat bagi rakyat.

mobil hias yang dikendarai Jokowi dan rombongan

Saya masih berada di tengah aliran histeria massa. Saya teringat kalimat seorang bule yang menjadi sahabat di Bali. Katanya, di tengah kerumuman massa, saya harus menjagai dompet dan barang berharga. Di sebelah sana, saya melihat matahari telah senja. Itu juga pertanda kalau saat buka puasa sudah dekat.

Saatnya saya menepi dan mencari tempat lapang untuk berbuka puasa.



Denpasar, 11 Juni 2016

BACA JUGA:







0 komentar:

Posting Komentar