Setya Novanto, Peta Politik Baru, dan Kuda Troya Jokowi



Setya Novanto (foto: cnnindonesia)


TERPILIHNYA Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar menyisakan banyak tanda-tanya dan desas-desus di kalangan publik. Di mata para politisi Senayan, peta politik ini menjadi semakin dinamis. Namun ada pula yang menganggap politik menjadi kehilangan greget. Mengapa harus Setya Novanto? Mengapa bukan Ade Komaruddin?

Sosok Setya Novanto (Setnov) telah mengubah banyak hal. Kita bisa membuat list. Mulai dari Wapres Jusuf Kalla yang semakin kehilangan taji, rasa was-was dan ketar-ketir yang menghinggapi PDIP dan PKB yang akan semakin terpinggirkan, hingga Ahok dan Luhut Panjaitan yang semakin di atas angin.

Di atas semuanya, Joko Widodo telah menjadi sosok paling perkasa di jagad politik kita. Sosoknya lebih kuat dari politisi manapun, termasuk jauh mengungguli para mantan presiden. Dia bukan lagi boneka yang dikendalikan partai banteng. Dia adalah pemain utama dari orkestra politik, yang dahulu menganggapnya plonga-plongo dan petugas partai. Bahkan Setnov yang dahulu mencatut namanya, kini tunduk takzim, lalu “serahkan leher” demi menjadi kuda troya untuk kepentingan Jokowi.

Bagaimanakah memahaminya? Marilah kita mengurai beberapa peta yang terlihat lusuh dan susah dimaknai.

***

RAUT wajah lelaki itu nampak muram. Di satu ruangan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), lelaki itu lebih banyak diam. Bersama beberapa orang rekannya sesama kader partai banteng, mereka tengah membahas peta politik terkini. Layar televisi menampilkan sosok Setnov sedang berbicara atas nama Ketua Umum Partai Golkar. Lelaki itu tiba-tiba mengepalkan tangan. “Bisa karam ini kapal.”

Lelaki itu bekerja sebagai salah seorang tenaga ahli di Fraksi PDIP. Ia mencermati politik yang terus berubah. Naiknya Setnov sebagai ketua umum partai beringin telah mengubah lanskap peta politik yang selama beberapa tahun ini dianggapnya seimbang. Betapa tidak, pernyataan partai berwarna kuning yang ingin bergabung dengan pemerintahan menjadi pukulan telak. Lebih telak lagi saat Setnov mengatakan bahwa partainya akan mendukung Jokowi di arena pilpres tahun 2019 mendatang.

Ia wajar khawatir. Selama ini, partainya memosisikan Jokowi hanya sebagai “petugas partai.” Memang, partai itu memberi rekomendasi bagi Jokowi untuk menjadi presiden, akan tetapi sepanjang perjalanannya, pamor Jokowi berada di bawah bayang-bayang Megawati. Posisi Jokowi sering ditarik-tarik serupa boneka yang dikendalikan. Kader partai sering mengeluarkan suara kritis pada Jokowi, yang seakan mengirimkan sinyal ancaman agar patuh, sebab jika tidak, partai akan menarik dukungan parlemen, lalu puncaknya tidak akan mendukung lelaki kurus itu di perhelatan pemilu tahun 2019.

Pada pemilu mendatang, partai banteng akan berada dalam posisi dilematis. Megawati akan memasuki fase uzur yang sudah sepatutnya mundur dari dunia politik. Ia mesti menyiapkan satu sosok yang akan menggantikannya, sekaligus meneruskan kepemimpinan trah Sukarno. Kemungkinan besar, Mega sedang menyiapkan Puan Maharani sebagai calon yang akan didukung partai berwarna merah itu.

Jokowi, lelaki yang disebut plonga-plongo dari Solo itu, bukannya tak tahu rencana besar partai itu. Saat pertama menjabat, ia sudah bisa membaca kartu politik yang akan dimainkan. Bersama Luhut Panjaitan, ia bisa memetakan apa saja kelemahan dan kekuatan beberapa partai, lalu menurunkan beberapa kartu politik yang lalu menjerat partai itu. Melalui satu sosok Yasonna Laoly, beberapa partai besar yakni Golkar dan PPP dipeta-konflikkan sehingga energi kadernya habis untuk konflik. Skenario ini berujung pada tunduknya beberapa partai besar seperti Golkar, PPP, dan PAN ke genggaman Jokowi.

Pernyataan Golkar untuk bergabung dengan pemerintah membuat semua peta politik menjadi berubah. Partai Golkar memiliki suara 18,5 persen pada pemilu 2014 silam. Partai itu berada di urutan kedua pemenang pemilu. Jika Jokowi tak didukung PDIP, maka ia mudah saja menggunakan partai lain, yakni Golkar, PPP, dan PAN. Nyaris tak ada lagi tekanan yang bisa diberikan partai merah itu kepada presiden yang dahulu dianggap sekedar menjadi petugas partai.

Dengan kekuatan seperti yang ada saat ini, Jokowi telah keluar dari bayang-bayang Mega, lalu menimbang kekuatan tiga partai besar yang sudah berkomitmen untuk mencalonkan dirinya. PDIP hanya punya sepenggal kenangan kalau Jokowi dahulu dicalonkan oleh partai itu. Tapi seiring waktu, PDIP merasa jumawa sebab menaikkan kadernya di posisi puncak, lalu perlahan memosisikan kader itu sebagai petugas partai. Dengan kekuatan seperti saat ini, serta dukungan kuat dari semua tentara masih bisakah klaim petugas partai itu dipertahankan?

***


“Ah, kenapa harus Setya Novanto?
Mengapa Jokowi mendukung papa yang minta saham?


DI satu ruangan di hotel tempat dilangsungkannya Munaslub Golkar di Bali, beberapa pendukung Ade Komaruddin (Akom) menatap layar televisi dengan wajah tak percaya. Hingga sebelum pemilihan, mereka masih mengklaim akan memenangkan pertarungan. Tim Akom mengklaim didukung lebih separuh peserta penuh. Mereka memetakan kandidat lain berdasarkan dukungan figur dan finansial.

Akom didukung kebanyakan faksi jebolan HMI di Partai Golkar. Sejak jauh hari, tim ini sudah memetakan siapa saja yang mendukung maupun tidak. Akom lebih dahulu sowan ke Jusuf Kalla selaku wapres dan senior Golkar, seteah itu menemui Jokowi lalu menyatakan siap mendukung Jokowi di tahun 2019. Saking percaya diri, tim Akom juga mendatangkan gadis-gadis cantik Sales Promotion Girl (SPG) di Bali untuk meneriakkan yel-yel dukungan kepada Akom. Beberapa tokoh senior Golkar tak malu-malu menyatakan dukungan penuh kepada Akom.

Tadinya, mereka menanggap Azis Syamsuddin sebagai lawan berat. Azis didukung penuh oleh Aburizal Bakrie. Komitmen itu ditunjukkan Aburizal selama munaslub. Calon lain yang dianggap pesaing serius adalah Airlangga Hartarto, sebab didukung penuh oleh Akbar Tandjung. Politisi senior Golkar ini hadir di acara munaslub, mengampanyekan Airlangga sebagai sosok paling cerdas dan bisa membawa gerbong Golkar ke arah yang lebih baik.

Yang tak dihitung adalah Setnov. Lelaki dari dapil Nusa Tenggara Timur (NTT) ini sudah dianggap cacat moral. Setnov juga dianggap tidak cakap, serta punya rekam jejak yang jauh dari kata mengensankan. Terdapat banyak kasus yang bisa menjerat Setnov kapan saja. Apa kata dunia jika ketua partai itu menjadi tersangka?

Seorang informan di Istana Negara menuturkan, beberapa hari sebelum munaslub, Aburizal datang bersama Sekjen Idrus Marham untuk menemui Jokowi.

“Siapa kandidat ketua yang paling kuat?” tanya Jokowi.
“Azis Syamsuddin. Dia yang paling berpeluang,” kata Aburizal.
“Tapi saya dengar Setya Novanto yang lebih kuat,” kata Jokowi.

Hah? Aburizal tercekat. Ia tiba-tiba saja speechless, kehilangan kata. Ia tahu bahwa presiden bisa memerintahkan intelijen untuk melacak informasi. Tapi ia tidak menyangka kalau informasi presiden bisa tiba secepat itu. Lebih terkejut lagi saat Idrus Marham, yang amat dipercayainya, tiba-tiba mengatakan: “Benar Pak Presiden. Pak Setya yang berpeluang paling besar.”

Di titik ini, Idrus mulai mengabaikan Aburizal. Tak hanya Idrus, sosok Nurdin Halid menjadi aktor kunci untuk memenangkan Setnov. Nurdin menjadi aktor kunci yang mengendalikan kondisi forum, lalu memenangkan Setya. Setya menjadi sedemikian kuat karena dukungan penuh dari dua pihak: Luhut dan Nurdin. Luhut mengeksekusi semua DPD, dan Nurdin menerjemahkannya dalam forum munaslub.

Idrus Marham dan Nurdin Halid

Terhadap Setnov, publik salah menilai. Banyak yang menulai kekuatan Setya terletak pada jumlah uangnya yang tak berseri. Anggapan ini keliru sebab semua kandidat ketua umum sama tahu kalau perhelatan itu membutuhkan dana besar. Mereka pun sudah menyiapkannya. Lantas, apakah kekuatan Setnov? Kekuatan Setnov justru terletak pada kelemahan-kelemahannya, yang kemudian menjadi kartu bagi pemerintah.

Kekuatan Setnov terletak pada positioning-nya sebagai kandidat yang dianggap penuh masalah. Dia dihantam berbagai isu, Media menulis tentang dirinya yang tertidur saat sidang, juga kasus "papa minta saham.". Fata-fakta itu  justru menguatkannya. Sebab sosoknya dianggap paling kontroversial dan paling bisa ‘dipegang’ oleh pemerintah. Walaupun semua kandidat melobi pemerintah, pilihan akan diberikan pada sosok yang diyakini akan paling patuh sebab memiliki banyak cacat politik ataupun celah yang sewaktu-waktu bisa menjerat.

Kisah penunjukkan Setnov serupa kisah dalam film mengenai seorang konglomerat yang sedang sakit, dan hendak mewariskan harta pada satu dari dua anaknya. Ia tidak memberikannya pada anak yang paling cerdas. Ia memberikannya pada anak yang paling bengal. Jika diberikan pada yang paling pintar, maka masa depan akan sangat misterius. Boleh jadi si anak akan jauh lebih besar dari ayahnya sehingga sang ayah akan kehilangan respek dan perhatian dari anaknya sendiri. Sementara jika menyerahkan harta itu kepada anak yang bengal, maka selamanya anak itu akan meminta bantuan pada ayahnya, menjadikan ayahnya sebagai idola sebab sukses mengelola usaha, dan memiliki kesetiaan yang tak lagi diragukan.

Kisah ini menjadi kisah yang menggerakkan Luhut untuk mendukung Setnov secara penuh. Dengan membawa pesan Jokowi, Luhut memanggil satu per satu DPD yang akan memberikan suara agar memindahkan suara ke Setnov. Posisi Setnov yang penuh masalah dan setiap saat menjadi tersangka adalah alasan utama mengapa pemerintah mendukung dirinya. Sebab, dia akan menjadi seorang abdi yang patuh dan setia, serta tak punya ruang untuk membangkang keinginan pemerintah. Dia akan menjadi kuda troya yang mengeksekusi permintaan pemerintah.

Pemerintah jelas berkepentingan dengan Golkar. Makanya, ketua yang terpilih adalah sosok yang paling patuh, paling setia, paling penurut, paling menghamba, dan paling bisa dikendalikan. Semua prasayarat itu hanya ada pada diri Setnov. Sekali dia membangkang pada pemerintah, maka kesalahannya akan diungkap sehingga lantai dingin penjara akan menjadi tempat istirahatnya. Sekali Setnov membangkang pada Jokowi, polisi dan kejaksaan serta intelijen akan bergerak untuk menerungku dirinya.

Pelajarannya, seorang ketua umum tak selalu sosok yang sempurna dan paling cerdas. Di partai sebesar Golkar, ketua umum adalah dia yang paling bisa membangun posisi tawar dengan pemerintah, lalu mencari titik paling aman. Bagi Setnov, posisi ketua umum adalah posisi yang membuat dirinya aman dari bidikan penegak hukum, meskipun setelah itu, ia akan menggaransikan kesetiaannya ke pemerintah.

Publik Golkar yang idealis memang menginginkan Akom. Tapi, kesalahan fatal Akom adalah rasa percaya diri yang tinggi sebab merasa yakin akan memenangkan pemilihan. Seorang informan berbisik bahwa kesalahan fatal strategi Akom adalah menemui Wapres JK terlebih dahulu, kemudian menemui Jokowi. Strategi ini mengesankan dirinya oportunis, dan dianggap tak konsisten oleh kubu Jokowi yang memang tak ingin JK punya mainan baru bernama Golkar demi berbagai langkah politik.

Munas Golkar menjadi awal dari nyanyi lirih Wares JK. Di zaman SBY, ia mendapat julukan “the real president” karena perannya yang besar serta dukungan partai Golkar, kini ia kesunyian dengan gerak yang serbata terbatas. Luhut Panjaitan menjelma menjadi kekuatan baru. Ia layak disebut “the real vice president.” Namun seorang kawan membantahnya. “Bukan the real vice president, yang benar adalah the real president,” kata kawan itu sembari terkekeh.

***

DALAM tuturan Harold Lasswell, politik adalah siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Dunia politik kita menjadi dunia yang kehilangan gereget. Dalam waktu dekat, beberapa peristiwa bisa saja terjadi. Kita bisa menelaahnya satu per satu.

Pertama, hampir pasti reshuffle kabinet akan menyertakan kader Golkar. Info yang berkembang, Idrus Marham akan diplot sebagai menpora, demi membuka ruang bagi politisi senior Zainuddin Amali menjadi Sekjen Golkar. Masuknya Golkar juga beriringan dengan masuknya seorang kader PAN, setelah sebelumnya menyatakan setia pada pemerintah.

Kedua, masuknya Golkar akan menjadi ancaman bagi Partai Kebangkitan Bangsa. Dengan kursi parlemen yang hanya separuh dari Golkar, partai ini memiliki empat kursi kabinet. Saat wacana reshuffle menguat beberapa bulan lalu, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengancam Jokowi untuk tidak menarik kadernya dari kabinet. Kini, ia tak mungkin mengancam. Dukungan ekstra dari Setya Novanto (Golkar), Zulkifli Hasan (PAN), dan Romahurmuzy (PPP) membuat Jokowi lebih leluasa mengendalikan irama politik. Jika Idrus masuk kabinet, maka Golkar memiliki dua kursi, setelah sebelumnya menempatkan Luhut Panjaitan di kabinet.

Ketiga, di tubuh Golkar akan terjadi reposisi dan pencarian keseimbangan baru. Hampir pasti, kubu Akbar Tandjung akan menjadi monumen yang ditinggalkan. Akbar dan Airlangga yang menyatakan ketidaksukaan pada Setya akan dijauhi oleh publik yang memilih berdekatan dengan mereka yang memiliki permen dan kue pengaruh. Bahkan Aburizal Bakrie pun semakin kehilangan pesona. Kursi yang seharusnya ditempatinya di Dewan Pembina seharusnya diberikan ke Luhut, yang telah menolaknya secara halus. Aburizal menempati kursi yang kewenangannya tidak sama dengan kewenangan di zaman Orde Baru. Kekuasaannya dilucuti. Ia akan menjadi monumen, setelah prajuritnya Idrus Marham dan Nurdin Halid berpindah haluan politik.

Setya Novanto

Keempat, pertarungan di Golkar adalah awal dari penyiapan jalan lapang untuk pemilihan umum 2019. Dengan kesetiaan Setya Novanto, dukungan PAN dan PPP, Jokowi akan semakin menjauh dari PDIP, yang kini gigit jari, dan sakit hati mengapa anak macan yang dulu dibesarkan kini telah menjadi macan yang aumannya menggetarkan. PDIP mulai mencari cara baru untuk tidak semakin kehilangan muka.

Jelang pilkada DKI, PDIP sedang mencari cara agar tidak terlalu malu dan menjadi bahan tertawaan. Saat menampik Ahok, partai itu menganggap dirinya paling besar dan satu-satunya penentu. Setelah Ahok mulai didekati partai besar, mulailah PDIP ketar-ketir. Penjaringan cagubnya menjadi taktik mengulur waktu agar tidak terlalu malu jika tiba-tiba kembali mendukung Ahok. Pernyataan Setnov yang mengatakan Golkar bisa mendukung Ahok menjadi palu godam yang semakin membuat malu PDIP. Dilema PDIP adalah dilema populisme trah Sukarno, yang gagal dikelola menjadi kerja-kerja pengorganisasian. Boleh jadi, populisme ini juga yang kelak akan menjadi sandungan Jokowi jika gagal membumikan ide-idenya dalam kerja ril yang bisa dilihat oleh publik.

Kelima, pemerintahan Jokowi semakin kuat. Beberapa agenda strategis siap dijalankan, tanpa menghadapi ancaman berarti dari parlemen. Di sisi lain, kekuatan oposisi menyisakan dua partai yakni Gerindra dan PKS. Demokrat lebih dahulu realistis bahwa mereka tidak sebesar era SBY. Bahkan SBY tak lagi mengeluarkan kritik pada pemerintah sebab menyadari betapa besarnya kuasa dan pengaruh pemerintah ini. Boleh jadi, SBY sedang memikirkan album berikutnya yang akan dinyanyikan oleh Ariel Noah, atau barangkali Rio Febrian.

***

Di satu sudut gedung DPR RI, saya bertemu sahabat dekat Hasbullah Khatib. Lelaki asal Bone, Sulawesi Selatan kini menjadi salah satu tenaga ahli. Anehnya, ia tak mau larut membahas politik. Menurutnya, politik adalah arena yang bisa berubah kapan saja, sebab selalu terkait dengan kepentingan aktor. Hari ini, satu peta terhampar, besok-besok peta baru akan menimpa peta lama itu.

Bersetuju dengan Hasbullah, kita sedang menyaksikan adu taktik, adu strategi, serta saling menjegal demi menggenggam kuasa yang akan diterjemahkan dalam berbagai formasi ekonomi dan penguasaan akses sumberdaya. “Yang kita lihat di situ adalah satu kepentingan yang bertaut. Selagi tak bertaut, semua akan mencari keseimbangan baru. Itulah dinamika hidup di dunia yang penuh berbagai opsi dan kemungkinan.”

Di sudut ruang parlemen, saya merenungi pendapat sahabat ini. Ah, dia benar.



Bogor, 20 Mei 2016
Selamat hari kebangkitan nasional

BACA JUGA:






0 komentar:

Posting Komentar