“Nak, kembalilah,”
Bapak itu menitipkan satu pesan kepada lelaki muda
yang kini berada di jeruji besi itu. Lelaki muda yang tak sedikitpun memandang
bapak itu. Lelaki muda itu lalu mengeluarkan sumpah serapah dan kutukan kepada bapak
tua itu. Ia tak ingin dijenguk siapapun. Ia mengeluarkan makian agar bapak itu
segera pergi dari jeruji besi yang memasung aktivitasnya. “Pergi kau tua bangka. Aku bukan anakmu!” teriaknya.
Anak muda itu telah divonis bersalah atas satu
tindakan kejahatan. Ia juga sudah lama meninggalkan rumah. Tak dipedulikannya
mimpi-mimpi keluarganya agar dirinya menjadi anak yang berguna. Ia ingin
merasakan bebas, sebebas merpati yang terbang ke mana-mana. Kehidupan adalah
petualangan dari kebahagiaan satu ke kebahagiaan lainnya. Persetan memikirkan
masa depan. Yang ada adalah hari ini. Yang ada adalah kemerdekaan.
Ia lepas dari segala harapan keluarga dan dunia
sosial. Bapaknya terlampau kolot dengan segala disiplinnya. Ibunya pun setali
tiga uang. Mereka berdua terlampau cerewet menanyakan segala hal yang ingin
dilakukannya. Tak henti-hentinya mereka menanyakan dari mana dan hendak ke
mana. Lebih menjengkelkan lagi karena keduanya suka menjejalkan ajaran moral.
Ah, bukankah moral hanya milik para penghotbah di masjid sana?
Anak muda itu lebih memilih jalan kebebasan
bersama sejumlah anak muda berandalan di kotanya. Dia menemukan bahagia di luar
rumah. Segala bentuk kenakalan telah dicobanya. Ia melarak semua aturan dan
menjadi manusia sebebas-bebasnya. Ia menikmati masa muda di balik minuman keras
dan berbagai kenakalan. Semakin gila, semakin bahagia. Di setiap malam ia
tertawa-tawa bersama kawannya sembari menenggak minuman keras.
Hingga suatu hari, satu peristiwa besar
terjadi. Ia terlibat dalam satu perkelahian massal yang menewaskan beberapa
orang. Ia diciduk aparat dan terpaksa menerima nasib di balik jerji besi. Ia merasakan
hari yang berubah Ia serupa burung merpati yang disekap dalam satu ruang besi.
Ia tak lagi bebas ke mana-mana.
Kedua orang tuanya terus-menerus datang
menemuinya. Mereka tak pernah kekurangan cinta untuk terus disiramkan
kepadanya. Tapi ia terlanjur menganggap diri keluar dari rumah. Di setiap
kedatangan orang tuanya, ia akan memakinya habis-habisan. Ia melolong dan
menolak kedatangan mereka. Hingga akhirnya, sang bapak mulai lelah menemuinya.
Sang bapak lalu berbisik. “Nak, pintu
rumah selalu terbuka untukmu. Kalau suatu saat kamu ingin kembali, datanglah.
Kalau kamu ragu, lihatlah di depan rumah. Jika ada sapu tangan putih melambai,
berarti kami masih merindukanmu,” katanya.
***
SEPULUH tahun berlalu. Anak muda itu telah lama
bebas dari jeruji besi. Ia tak ingin mendekati rumah. Ia malu dengan masa
lalunya. Ia merasa kalau dirinya telah terbuang dari keluarga. Ia merasa
menjadi aib yang hanya akan mempermalukan keluarganya. Ia pergi sejauh-jauhnya
dari rumah. Ia berangkat ke kota lain, lalu memulai lembar kehidupan yang baru.
Bertahun-tahun di penjara membuatnya sadar
bahwa kebahagiaannya dahulu serupa meneguk air laut. Semakin diteguk, maka rasa
haus semakin menyengat. Ia akhirnya menyadari kalau ada sesuatu yang jauh lebih
penting dari sekadar pemberontakan pada nilai. Ia menyesal dengan apa yang
terjadi. Tapi ia merasa ia terlambat untuk kembali menjadi diri yang dahulu.
Suatu hari, ia menyaksikan seorang bapak berjalan
bersama anaknya. Tiba-tiba saja, ada embun yang membasahi nuraninya. Ada
kenangan yang berdesir dalam batinnya. Ia merasakan ada satu noktah yang hilang
dalam dirinya. Satu lubang yang telah lama menganga dan kini terasa perih. Ia
menginginkan kasih sayang yang dahulu pernah menyirami batinnya. Ia rindu
keluarga.
“Apakah mereka akan
menerimaku kembali?”
Ia ragu dan bertanya dalam hati. Ia merasa sudah terlampau jauh meninggalkan
rumah. Tapi ia terngiang kembali pesan ayahnya untuk datang dan melihat
tanda-tanda berupa sapu tangan putih.
Ia kembali menelusuri kenangan lama itu. Ia
datang ke kota yang ditinggali ayahnya dengan niatan untuk melihat kalau-kalau
ada sapu tangan putih di situ. Andaikan tak ada sapu tangan putih, ia akan
tetap bahagia. Minimal ia bisa melihat rumah yang dahulu menyirami hidupnya
dengan cinta.
Saat hendak menuju rumah, langkah kakinya
sempat terhenti. Ia kembali mengenang dirinya sebagai pendosa yang setiap saat
mengeluarkan makian kepada ayah ibunya. Ah, dia tak ingin kembali ke rumah yang
pernah diabaikannya. Hanya saja, ada kesadaran kuat yang menuntun langkahnya
untuk tetap datang sembari berharap ada sapu tangan putih yang melambai di
depan rumah. Ia ingin tahu apakah dirinya masih diterima di rumah itu ataukah
tidak. Jika tak ada sapu tangan putih, ia akan menjauh dari rumah. Itu akan
semakin menguatkan kesan kalau dirinya adalah noda dan aib bagi keluarga itu.
Seratus meter dari rumah, ia tercekat. Ia seakan
tak percaya pada apa yang dilihatnya. Dari kejauhan, ia melihat bagian depan
rumahnya tertutup beribu sapu tangan putih. Bahkan di atap rumahnya, ia
menyaksikan kain-kain putih seukuran seprei bergelantungan. Dari jarak beratus
meter, kain putih itu jelas terlihat. Di pohon-pohon yang ada depan rumahnya,
sapu tangan putih bergelantungan di mana-mana. Bahkan di setiap tanaman, ia
melihat sapu tangan putih berjuntaian.
Ribuan sapu tangan putih itu seakan memanggil
dirinya agar kembali ke rumah. Banyak di antara sapu tangan itu yang nampak lusuh, namun pesannya masih kuat menancap ke dalam dirinya. Dia berharap hanya setetes, tapi yang disaksikannya ini adalah samudera
kasih sayang yang tak pernah kering untuknya. Ia merasakan cinta yang terus
bergelora, tanpa pernah mengering.Ia merasakan kasih tanpa mengharap apapun,
sesuatu yang pernah diabaikannya.
Kali ini ia kehilangan kata. Bulir-bulir air
mata mulai turun dan membasahi pipinya.
Bogor, 20 Juni 2016
terinsprasi pada satu adegan dalam film Finding
Dory
BACA JUGA:
0 komentar:
Posting Komentar